Iqro

Xie Nur
Chapter #5

Rendezvous Tak Sempurna

Rak ke-5

Ibu tersenyum lebar menyambut dua wanita berambut pendek yang berderap ke arahnya.

“Kenapa tak bilang-bilang kalau buka usaha persewaan?” tanya seorang yang memiliki tahi lalat di sudut bibir. “Kami kan bisa bantu-bantu saat pindahan.”

“Nanti merepotkan kalian. Bukankah kalian juga kerja,” sahut Ibu.

“Pindah hari minggu dong, biar kami bisa bantu,” semprotnya lagi.

“Kendaraan pengangkut yang kupesan bisanya hari itu,” kilah Ibu tidak mau kalah.

“Wah, bisa pinjam buku gratis nih,” kata wanita yang berkacamata. Dia asyik melihat-lihat deretan rak yang ada. Mata empatnya benar-benar mencerminkan bahwa dia seorang penggemar buku.

“Maaf saja, bisnis is bisnis,” lontar Ibu. “Tak ada yang cuma-cuma.”

“Ya ampun pelit amat si Emak ini!” runtuk si kacamata teriring bibirnya yang maju ke depan.

“Harus itu,” balas Ibu. “Bisa bangkrut aku jika semua orang mengaku teman dan meminjam tanpa bayaran.” Ibu tertawa.

“Kupikir kamu tidak serius dengan omonganmu dulu. Ternyata jadi juga,” ucap si kacamata. “Habis berapa untuk ini semua?”

“Ada-lah.”

“Kamu ini, bukankah kemarin enak bisa kerja di bank terkenal. Kenapa keluar?” tanya si tahi lalat.

“Rasanya seperti ada yang mencubit hatiku setiap hari Vit. Bekerja pada hal yang jauh dari minat, benar-benar menyiksa. Di sini dan ini adalah hidup yang kuingin. Bekerja dengan buku dan terus menulis.” Keterangan panjang dari Ibu membuatku semakin paham tentang wanita yang telah melahirkanku.

“Kenapa dulu tidak sekolah pustakawan saja,” celetuk si kacamata yang sudah menemukan buku favoritnya lalu ikut duduk di antara Ibu dan teman satunya.

“Dulu mana terpikir. Yang kupikir cuma asal bisa masuk universitas. Bukankah itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri, bisa mengalahkan ratusan pendaftar lain.”

“Iya sih, aku juga begitu, hehe....” tanggap si tahi lalat yang tadi Ibu sebut sebagai Vit.

“Sayang sekali, padahal aku ingin sekali bisa bekerja di bank. Kamu yang bisa masuk seenaknya keluar. Seperti sedang mengejekku saja kau ini,” keluh si kaca mata.

Ibu tertawa terkekeh, “Maaf, tapi bukan salahku kalau kamu tidak diterima kerja di sana.”

“Kamu sungguh menyebalkan!” rutuk si kaca mata dengan wajah yang ditekuk, tapi terkesan pura-pura.

“Berusaha lebih keras lagi, oke?” Ibu memberi semangat.

“Kamu sih beruntung Vit, kerja langsung jadi kepala tata usaha di sekolah. Kerja langsung jadi bos. Lha aku, aku tiap hari kerja rodi. Membuat laporan para medtrep, mengirim email, mengurus surat-menyurat sampai beliin makan supervisor,” keluh si kacamata lagi. “Kalau di tempatmu semua pekerjaan ada yang mengerjakan sendiri-sendiri. Justru kamu yang tinggal perintah, kan.”

“Kamu pikir enak jadi kepala tata usaha di sekolah? Pekerjaan berjibun, Bu. Mengurus orang lebih susah dari mengerjakan urusan yang kamu kerjakan. Apalagi aku masih muda, banyak yang memandang sebelah mata. Ada beban moral yang sedang kupikul sekarang.”

“Yah, tetap saja levelnya lebih tinggi daripada aku yang seperti babu,” si kacamata membantah.

“Ya ampun, pada curhat nih ceritanya?” kata Ibu tertawa.

“Senang sekali kamu Ve, punya pilihan hidup yang bisa kamu wujudkan,” kata si kacamata lagi.

“Desti, Desti...” Ibu menggeleng-geleng. “Ini belum apa-apa Des, justru resiko yang kuambil besar untuk masa depan. Tapi aku yakin kok, ini akan berhasil dan yang pasti menyenangkan. Apalagi aku masih bisa tetap menulis. Tunggu saja novelku terbit.”

“Serius?” si tahi lalat membelalak takjub. “Kamu kirim ke mana?”

“Belum ada? Masih dalam proses,” Ibu meringis malu.

Tiba-tiba ada pelanggan datang. Seorang anak laki-laki berbaju pink. Dua orang teman Ibu yang berjuluk Desti dan Vittra menepi memberi ruang bagi cowok pinky. Siapa tahu dia ingin bertanya-tanya mengenai keanggotaan atau perihal buku tertentu.

Cowok itu menyisir rak komik. Sebuah buku dicomotnya. Lalu bergegas ke meja Ibu.

“Harus daftar dulu?” Suara cowok itu terdengar lembut tapi tidak melambai. Vittra teman Ibu yang bertahi lalat sampai mencair mendengarnya. Terlihat dari matanya yang memandang tanpa berkedip dengan mulut menganga.

Melalui percakapan ketiganya aku mulai mencerna satu persatu nama teman-teman Ibu. Mana yang bernama Vittra, mana yang bernama Desti.

Lihat selengkapnya