Seorang wanita dengan gamis panjang berjilbab lebar turun dari mobil. Senyum lebar mengembang bersamaan dengan pintu yang membuka riang.
Ceracau sambutan bersahutan bak burung kenari ikut lomba mengudara. Kepalaku mendadak pening mendengar riuh perkumpulan para tante ini. Ibu tidak pernah cerita kalau dia punya geng cicit cuit yang ramai. Dan hari ini adalah acara pertemuan mereka yang kedua. Mungkin selanjutnya akan ada acara arisan. Wah, perpustakaan yang multifungsi.
Meski demikian sesungguhnya aku cukup senang, dengan hadirnya mereka aku jadi semakin mengenal Ibu. Aku tidak kesepian sebagaimana Ibu yang kemarin hanya berteman buku-buku dan aku.
“Eh, lihat!” tunjuk Tante Vittra pakai kerlingan mata pada si pinky boy yang hari ini pun datang dan pas sekali sudah selesai baca hendak pulang dan bertemu tiga orang tante rempong. Bisikan itu tertuju pada wanita berjilbab yang baru datang tadi.
“Kenapa memang?” balas wanita berjilbab.
“Brondong manis,” bisik Tante Vittra.
“Cowok toh? Kirain cewek.” Teman Ibu yang baru datang manggut-manggut. Kalau tidak salah namanya Gita.
Memang, dengan rambut setengah gondrong ikal dari belakang cowok berbaju pink mirip seorang gadis. Hal itu didukung dengan tubuhnya yang ceking, bahasa ceweknya langsing bak model. Ini dari belakang lho ya. Penampakan depan justru bisa membuat hati cewek-cewek melumer.
“Mereka ini sungguh kegenitan. Anak bau kencur mau mereka pacarin,” lapor Ibu. “Ayo, pada duduk.” Ibu mengambilkan dua kursi yang berada pada lajur ruang baca.
“Kasihan sekali kalian. Sebegitu tidak lakukah?” tanggap Tante Gita memandang iba pada dua sekawan yang terus mengambil tempat duduk berdekatan. Mengingat ruang meja pelayanan pelanggan Ibu yang tidak terlalu lebar, memaksa mereka duduk agak berdesak-desakan.
Tante Vittra dan Tante Desti duduk depan Ibu, sementara Tante Gita duduk pada sisi samping meja sebelah kanan Ibu.
“Iya, iya yang sudah laku,” tanggap Tante Vittra.
“Bagaimana Bu, sudah berisikah?” tanya Tante Desti.
“Doanya aja ya,” jawab Tante Gita yang duduknya merapat rak yang di tengah.
“Semoga segera dapat anak banyak yang soleh dan solehah,” Ibu mengabulkan permintaan Tante Gita.
“Aamiin,” koor yang lain.
“Tidak menyangka kamu bakal buka usaha perpustakaan macam ini. Bagaimana prospeknya?” tanya Tante Gita ke Ibu membuka tema percakapan baru.
“Belum ketahuan, semoga lancar dan banyak pelanggan,” jawab Ibu diplomatis.
“Teman-teman, aku punya ide. Bagaimana kalau seminggu sekali kita kumpul-kumpul di perpus Nove?” usul Tante Desti.
Nah kan, dugaanku mendekati benar. Setelah itu mereka akan menggelar arisan.
“Setuju!” Tante Vittra langsung mengacung jari tinggi ke udara.
“Boleh juga,” balas Ibu.
“Jangan seminggu sekali dong. Sebulan sekali saja,” tawar Tante Gita keberatan. “Tahulah, posisiku.”
“Susah ya, kalau nggak kompak! Kamu sama sekali tidak sehati dengan kami yang masih jomlo,” Tante Desti sepertinya iri berat dengan status Tante Gita yang sudah menikah.
Setelah memperhatikan Tante Desti aku mendapat satu kesimpulan kalau dia ini orang yang mudah iri dengan sesuatu yang didapatkan oleh orang lain. Dalam hal ini teman-temannya.