Rak Ke-7
Kakak ini sangat senang ketika menjadi anggota nomor satu. Meski di awal mendaftar tidak langsung meminjam, hanya datang memesan satu judul komik yang belum tersedia di Iqro. Untuk selanjutnya dia juga selalu minta antrian pertama jika ada satu seri judul komik baru terbit.
Tanpa basa-basi dia menyatakan telah menjadi anggota persewaan buku Dora dan beberapa persewaan buku yang masih hidup. Tapi menurutnya di persewaan tersebut dia selalu menjadi nomor dua atau nomor sekian saat harus mengantri komik yang sedang booming. Begitu tahu ada persewaan buku baru yaitu, Perpustakaan Iqro, dia langsung pesan agar menjadi yang pertama.
Aku sungguh heran dengan kakak ini, apa tidak ada pekerjaan lain selain membaca komik. Katanya tiap hari dia hunting komik-komik baru. Kalau di perpustakaan Ibu tidak ada komik yang dicari, dia akan terbang ke persewaan lain demi komik incarannya itu.
Kalau boleh aku bilang dia benar-benar maniak komik. Bahkan dia mengakui hal itu. Lihat saja potongan rambut si anggota nomor satu, harajuku style, punya. Setengah gondrong berlayer dengan cat warna-warni. Mata kakak ini pun bercelak hitam. Celana jeans robek-robek selutut dengan rantai terkait dompet menjuntai dari arah paha kanan melingkar ke saku belakang. Aksesoris gelang dan kalung salib besar tak ketinggalan mewarnai penampilannya.
Menurut yang aku dengar harajuku style ini lahir di Shibuya, Tokyo. Salah satu tempat yang bernama Harajuku telah menaungi para pecinta fashion dari berbagai wilayah. Ada banyak model harajuku, beberapa di antaranya berjuluk lolita, decora, cosplayer dan kogal. Unik sih, tapi kalau untuk penampilan sehari-hari rasanya terlalu berlebihan.
“Saya suka komik bukan tanpa alasan,” katanya setelah menjadi anggota Iqro beberapa minggu. “Saya ingin menjadi komikus. Ini sarana belajar saya.”
“Oh,” komentar Ibu. “Pada akhirnya sama seperti novelis. Mereka yang hobi baca pasti terbetik ingin menulis. Dari menikmati menjadi ingin punya sesuatu yang dapat dinikmati.”
“Sebab akibat,” katanya beranjak. “Oke Mbak, makasih.” lanjutnya sambil mengangkat komik seiring lambaian tangan.
Detik itu juga aku dan Ibu mengagumi kakak itu. Hobi membacanya tidak terbuang percuma. Ada hal lain yang berguna tidak sekedar memuaskan hobi semata.
Seperti halnya kemarin, dia datang lagi untuk meminjam komik terbaru. Sesekali dia sengaja membaca di tempat sebelum membawa pinjam pulang.
Akan tetapi hari ini raut mukanya tidak biasa. Ada sebentuk keresahan memancar dari gerak tubuhnya. Berkali-kali dia mendesah. Tampak tidak menikmati komik yang sedang dibacanya.
“Ah!” dia menutup buku komik dengan kasar.
Ibu menegakkan badan memandang ke arah Momo yang sudah beranjak dari duduknya.
“Ada apa? Ceritanya nggak asyik?” tanya Ibu.
“Saya tidak konsen baca, nih,” sambarnya.
“Ada yang salah? Tempatnya kurang nyaman?” Ibu sungguh peduli pelanggan.
“Bukan masalah tempat.” Kak Momo memandang Ibu gelisah. Sorot matanya terlihat bingung. “Tiga ribu ya,” katanya merogoh kantong celana belakang.
“Makasih,” sambut Ibu.
Kak Momo bergerak meninggalkan kami. Namun, tiba depan pintu langkah ragu mengganduli kakinya. Dia lalu berbalik menghampiri kami lagi.
“Ya?” sapa Ibu.
“Menurut Mbak, apa saya menarik?”
“Hah?” Ibu jelas terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari Kak Momo. Aku pun menjengit lalu memindai seluruh penampilannya yang menurutku terkesan urakan.
Sebelum anak itu bicara lagi, dan Ibu terbangun dari terkejutnya lalu membalas ucapannya, aku segera menyela dengan mengatakan bahwa dia sama sekali tidak menarik. Enak saja dia mau merayu Ibu.
“Boleh kalau saya bilang Momo itu unik?” tawar Ibu.
“Tidak menarik?” kejar Kak Momo.