Rak Ke-8
Jilbab lebarnya berkibar seiring kayuhan kaki memutar pedal sepeda. Begitu tiba depan Perpus Iqro, derit keras saat dia memasang standar sepeda menggerus udara. Ibu sontak menegakkan posisi duduk menanti salam hangatnya.
Gadis itu langsung mendarat pada deretan komik tema olahraga. Dua komik Hikaru’s Go telah ada dalam genggaman.
“Mbak, nomor 18 kok nggak ada?” tanya gadis berkerudung hitam.
“Sebentar saya lihat dulu,” Ibu membuka folder Iqro pada layar laptop lalu mengklik file data buku. “Wah, memang tidak ada. Maklum, beli gebuk rata. Kadang memang ada komik seri yang hilang.”
“Yah Mbak, lagi seru-serunya nih. Mendekati the end.” Gadis itu duduk depan meja Ibu.
“Bagus banget ya, ceritanya?” ujar Ibu antara mempertanyakan juga meyakinkan.
“Jadi pengin bisa main Igo nih. Di sini nggak ada yak?”
Aku pernah mengintip komik Hikaru’s Go. Komik itu menceritakan seorang anak bernama Hikaru yang gemar bermain Igo, catur Jepang. Pertandingan demi pertandingan berhasil dia menangkan. Tapi tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak lawan dengan strategi tinggi yang harus dia hadapi.
Setahuku, permainan Go atau Igo pertama muncul di Cina dengan nama Weiqi. Asal mulanya dari para pemimpin Cina yang suka mengatur strategi penyerangan dengan menggunakan batu. Lama-lama pengaturan strategi perang ala pasukan Cina menjadi sebuah permainan strategi populer di kalangan rakyat dan tersebar ke wilayah asia timur.
Meski aturan Igo sederhana tapi siasat demi memenangkan permainan memerlukan kajian yang dalam. Lebih kompleks mencakup penguasaan wilayah, pengepungan lawan, penangkapan hingga pengusiran anak Go. Semakin luas daerah kekuasaannya, titik kosong yang berhasil dikurung semakin besar peluang menangnya. Plus bonus jumlah tangkapan batu lawan. Rumit juga. Aku tidak yakin bisa main.
Bagi yang paham aneka strategi perang tempo dulu, sepertinya bisa berada di atas angin. Sebagai contoh strategi the art of war kadang ada yang menerapkan dalam permainan tersebut.
“Mirip permainan dam-daman toh?” tanggap Ibu. “Pas kecil pernah main?”
“Yang ini lebih kompleks, Mbak. Mirip perang betulan.”
Aku manggut-manggut mencoba mengingat sewaktu Ibu mengajarkan permainan itu. Batu yang harus kami siapkan berjumlah 16. Langkah penyerangan dengan cara makan-memakan batu lawan. Hampir sama dengan catur. Bedanya catur harus membuat Ratu mati, dam-daman ketentuan pemenang bagi yang berhasil mencaplok batu lawan terbanyak. Aturan jalan juga bebas, bisa maju, mundur, atau diagonal. Persamaan dari permainan ini ada pada papan medan tempur yang berbentuk kotak-kotak.
Ibu tersenyum, “Sekarang pasti banyak yang tidak tahu permainan dam-daman. Padahal banyak nilai filosofinya ya. Kalau catur seperti ada pembedaan kasta, terlihat dari langkah bidak-bidak dan bentuk buah catur. Dam-daman semua batu bebas melangkah. Bentuknya pun seragam. Hal tersebut memberi makna semua manusia di dunia sama derajad di hadapan Tuhan. Bebas melangkah tanpa ada pembatasan, hanya saja setiap langkah memang ada nilai positif dan negatifnya. Sama seperti hidup, setiap keputusan yang kita ambil pasti ada dampaknya.
Yang jelas permainan ini sangat bermanfaat untuk melatih kecepatan berpikir, ketelitian dan kecermatan dalam melakukan atau memutuskan sesuatu. Sangat bagus bagi anak-anak guna mengasah kematangan pola pikir.”