Iqro

Xie Nur
Chapter #9

Si Tonggak Berjalan

Rak ke-9

Langkah tegapnya senada kekakuan di wajah dan mulutnya. Benar-benar mirip robot yang terprogram. Tak perlu lama bagi dia menemukan buku incaran. Dua langkah jari meraba langsung terambillah buku tanpa perlu membaca ulasan pada sampul belakang.

Tanpa basa-basi dia langsung menyodorkan sejumlah uang tepat sesuai harga sewa. Ucapan terima kasih terluncur seiring gerak tubuh berlalu dari hadapan Ibu.

Di awal kedatangan nomor anggota 25, Ibu sempat melongo melihat bahasa tubuhnya yang seperti tonggak berjalan. Potongan rambut cepak seolah tak goyah oleh angin. Sebenarnya kakak ini manis hanya saja kebekuan senyum menyirnakan pesona yang ada.

Kegemaran akan novel horor dan detektif menambah aura suram dalam dirinya. Dia mirip Frankenstain manusia buatan dari mayat yang dihidupkan. Hanya saja, dalam versi yang pernah kubaca secara sembunyi-sembunyi, zombie Frankenstain masih punya hati. Dia masih punya rasa ingin disayangi, ingin dianggap normal seperti manusia biasa. Pada akhirnya kesendirian dan kesunyiannya membuat dia berontak mengubah hatinya yang bersih seperti bayi menjelma monster yang ditakuti.

Sedikit khawatir membayangkan anggota ke-25 bakal terdesak bertindak tanpa akal sehat seperti Frankenstain itu. Yang aku dengar orang-orang bertipe introver lebih cenderung gampang stres dan kadang bisa melakukan tindakan di luar nalar. Paling ekstrim misal melakukan pembunuhan, atau membuat hilang nyawa diri sendiri.

Ibu menanggapi dengan senyum semua diagnosaku. Dia tidak setuju ketika aku bilang dia bisa berpotensi menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Ya, tentu saja. Melihat dari kesenangannya membaca novel Agatha Christie dengan kasus-kasus pembunuhan, bisa jadi itu menjadi bahan pembelajaran untuk melakukan aksi kriminal.

“Saya dulu suka membaca Lima Sekawan,” kata Ibu suatu hari ketika dia datang lagi. Tepat sebelum Ibu menyerahkan buku yang baru saja dia tulis di buku peminjaman.

“Oh,” tanggapnya masih datar. “Saya juga suka.”

Aku pikir dia akan antusias karena menemukan sesama penggemar novel detektif.

“Turut mengasah intuisi kita dalam menebak siapa pelakunya, ya?” ujar Ibu masih menahan buku yang dipinjam si tonggak berjalan.

“Mbak, sudah baca novel Agatha Christie semuanya?” Toro dengan ragu-ragu meletakkan pantatnya di kursi.

“Tentu saja. Hampir semua buku di perpus ini pernah saya baca,” Mata Ibu berkeliling ke seluruh areal perpustakaan.

“Agatha sudah semua?” Pertanyaannya seakan menyangsikan kejujuran Ibu.

“Bagus kan? Saya paling suka yang berjudul Mayat Misterius. The Clock. Cukup berbelit tapi justru itu yang menarik. Apalagi ketika Hercule Poirot mengutip peribahasa Inggris; ‘Karena ingin paku, sepatu hilang. Karena ingin sepatu, kuda hilang. Karena ingin kuda, perang kalah. Karena ingin perang, kerajaan musnah. Dan semuanya gara-gara ingin sebatang paku sepatu kuda.’

Sangat pas dengan kasus yang sedang dia pecahkan. Kalau peribahasa Jawa jadi ‘mburu uceng kelangan deleg.’ Mencari sebutir pasir mutiara malah kehilangan sebongkah batu berlian. Ingin memburu harta besar malah kehilangan segalanya. Saya rasa itu sangat tepat dengan kondisi Mr Bland.”

“Benar,” Matanya tampak berbinar. “Hh... pernah mencoba menebak siapa si pelaku sebelum tokoh detektif memecahkan kasusnya?” Dia ganti bertanya pada Ibu. Bahkan posisi duduknya tidak lagi seperti sedang baris berbaris.

Entah kenapa aku menjadi melonjak girang. Ibu berhasil memunculkan bias cahaya dari wajahnya. Aku suka, bulan purnama telah terbit menerangi malam yang semula gelap.

“Susah ya, menebak. Saya selalu gagal menebak pelaku pembunuhan pada karya Agatha Christie,” aku Ibu terus terang.

“Kalau Sherlock Holmes?” Dia kini memburu Ibu.

“Haha.... saya tidak pintar menebak kasus misterius karya orang luar,” Ibu mendekatkan wajah ke arah nomor 25. “Kalau novel-novel misteri Indonesia, saya selalu berhasil menebak,” kata Ibu berbisik seolah pengarang novel tersebut akan mendengar suaranya.

“Betul,” Kini senyum cerah semakin terpancar. Sudah menjelang fajarkah?

“Tapi saya berhasil menebak kasus Mayat di Perpustakaan,” lanjutnya. “Yang lain hampir-hampir menyerempet.”

“Oh ya hebat,” puji Ibu bertepuk tangan.

“Tapi saat kasus Pembunuhan di Malam Natal, saya terkecoh terlalu jauh.” Raut kecewa merembes keluar.

“Hmm, iya. Apa kasus itu menjadi kasus favorit Toro?” tanya Ibu tentang kasus yang justru membuatnya terkecoh jauh.

“Tentu saja. Sementara kasus itu yang menjadi favorit saya,” balas Toro. “Entah kalau menemukan lagi. Tetapi tinggal tiga novel yang tersisa ya,” tunjuk Toro pada rak novel Agatha Christie yang telah mencapai 80 jilid buku. “Apakah masih ada seri terbaru lagi?”

“Saya belum tahu,” jawab Ibu berkata terus terang lagi.

“Baik, selagi menunggu seri baru. Saya ingin menghabiskan Sherlock Holmes,” gumamnya.

Trio Detektif sudah pernah?”

“Itu makanan saya saat SMA. Serial Pasukan Mau Tahu, Serial Sapta Siaga, pokoknya Enid Blyton sudah jadi masa lalu saya. Tapi besok kayaknya pengin coba baca lagi. Lengkap kan Mbak?” ucap Toro baru sekarang terdengar berkata-kata lebih dari sepuluh kata.

“Bisa lihat di sana,” kata Ibu menunjuk rak bawah Agatha dan Sherlock Holmes. “Kapan-kapan kamu harus coba baca karya Dan Brown.”

Lihat selengkapnya