Iqro

Xie Nur
Chapter #10

Renjana Nomor Tujuh

Rak Ke-10

Aku sungguh heran dengan cowok satu ini. Rasanya baru kali ini aku menemui laki-laki yang membaca novel Harlequin. Yang aku dengar Harlequin jenis novel galau orang dewasa. Isinya cinta-cintaan mendayu-dayu yang bisa membuat bulu roma meremang. Bukan meremang horor, tapi meremang romantis. Katanya sih.

Melankolis mungkin kata yang tepat. Novel itu bahkan terkadang ada selipan adegan dewasa. Aku tidak mengerti maksud dari adegan dewasa. Tentu saja, Ibu akan melarangku membaca itu, sebagaimana Ibu yang tidak suka genre Harlequin tersebut.

Lalu kenapa ada novel romantis dewasa jika memang Ibu tidak suka? Hal itu terjadi karena tidak sengaja. Ingat kan, Ibu pernah bilang melelang buku-buku bekas persewaan. Dan pembelian harus satu paket tidak bisa memilih. Jadilah, novel Harlequin bertengger pada jajaran rak paling atas. Biar anak-anak macam aku tak bisa menjangkaunya.

Pertanyaan ini juga dia ajukan ke Ibu. Dia pikir Ibu penyuka novel macam itu. Mungkin biar bisa sehati, mungkin biar bisa sharing cerita Harlequin. Tetapi sebagai pemilik perpustakaan, Ibu tetap membaca buku itu untuk mengetahui isi buku. Semisal ada yang bertanya mengenai suatu buku yang ada di perpustakaan, Ibu jadi bisa menjelaskan secara global. Semacam resensi lisan.

“Saya paling suka cerita The Wedding Night Affair. Pengantin laki-laki malah selingkuh sehari sebelum pernikahan sama mantan istri yang jadi WO-nya pula. Menggelikan, kira-kira ada nggak kisah nyatanya. Atau malah berdasarkan kisah nyata yang tersamar.”

“Bisa jadi,” sahut Ibu. “Kadang insipirasi penulis dari cerita sekitar, berita atau pengalaman pribadi.”

“Kayaknya seru ya. Aneh! Di Indonesia pasti kemungkinannya cuma satu persen barangkali,” ucapnya sambil menopang dagu dengan tangan yang menumpu di paha yang saling menopang.

Si nomor tujuh yang bernama Echo terus mengoceh tentang novel yang baru saja dia baca. Ibu yang sedikit tahu tentang novel itu menanggapi topik diskusi darinya.

“Kita orang timur masih menjunjung tinggi norma. Meski tidak dipungkiri Making Love pra nikah sudah menjangkiti anak-anak sekarang. Bagaimana dengan Echo?” Ibu mengajukan pertanyaan.

Kak Echo tertawa terkekeh.

“Benar, Mbak. Saya nggak mau munafik.” Echo menurunkan tangannya dari dagu.

“Kamu pernah?” Ibu menjengit.

“Menyerempet ke arah sana, tepatnya.” Pandangan Echo menerawang.

“Itu dosa besar lho? Walau kamu bilang cuma menyerempet.” Mata Ibu seakan menikam mata Echo.

“Iya, Mbak. Ternyata nasehat orangtua supaya jangan pacaran berduaan di tempat gelap ada benarnya.” senyum mengembang di bibirnya.

“Nah, karena yang ketiga pasti setan.”

“Tepat sekali.” Echo menjentikkan jarinya. “Kejadiannya waktu saya nonton film bareng pacar di bioskop. Meski banyak orang, tapi suasana remang-remang serta dukungan film yang menjurus sungguh pemicu ampuh untuk berbuat mesum.”

“Begitu ya?” Ibu manggut-manggut. “Seharusnya menonton film yang bersih saja.”

“Film luar mana ada yang bersih, Mbak.”

“Kenapa enggak nonton film Indonesia saja, film religi.”

“Nggak asyik!”

“Sekarang banyak film bagus dari novel bestseller. Ada Laskar Pelangi, Nagabonar. Bagi penggemar non cinta-cintaan, dua film itu sangat keren. Kalau yang suka drama romantis berbau religi ada Syahadat Cinta, Kun Fayakun dan Ayat-Ayat Cinta, lumayan bagus.”

“Iya, sih,” kata Kak Echo sambil berdiri menuju rak Harlequin yang tak jauh dari meja Ibu. Tepatnya samping kanan meja Ibu.

“Lalu kenapa suka buku Harlequin?” tanya ibu.

“Aneh sih, tapi malah jadi penasaran. Seks bebas seperti sudah jadi budaya mereka ya? Malah aneh kalau ada laki-laki atau perempuan masih virgin.” Echo memelototi samping buku Harlequin.

Ibu menggeleng. “Yang saya tahu, pergaulan bebas dalam agama apa pun dilarang. Entah ya? Mungkin karena dasar agama kurang kuat. Kita saja malah latah ketularan mereka.”

“Menurut saya, sebenarnya itu tergantung ceweknya,” kata Kak Echo sambil mencomot satu buku.

Lihat selengkapnya