Rak Ke-11
“Aneh,” gumam Ibu berkali-kali sambil terus memeriksa buku peminjaman.
“Ada apa, ada apa?” seruku.
“Terakhir yang pinjam nomor anggota 32. Tertulis sudah mengembalikan. Kenapa bukunya tidak ada?”
Aku menggeleng.
Ibu mendesah, beranjak memeriksa rak berisi novel-novel teenlit. Jarinya bergerak seperti memainkan tuts piano. Mulutnya berdengung mengiramakan loncatan jemari yang mengetuk-ngetuk lincah.
Ibu memandang berkeliling, menelaah seluruh deretan rak. Berpikir seakan mengingat-ingat sesuatu. Seolah pasrah, dia kembali duduk ke peraduan.
Kini jarinya telah sibuk menari tap pada tuts tombol ponsel. Aku melongok penasaran, gerangan apa yang Ibu tulis pada layar mini itu.
Oh, ternyata pesan kepada peminjam sebelumnya mengenai buku yang sedang Ibu cari. Dari yang aku dengar teenlit itu bukan sekedar teenlit biasa. Novel genre remaja karangan dari Luna Torashyngu ini tidak melulu bercerita tentang cinta-cintaan monyet. Ada latar belakang cerita yang kuat, seperti basket, spy_agen rahasia, hacker, dan penyelidikan detektif.
Aku melonjak-lonjak melihat deretan novel Luna yang ternyata menyisakan dua seri saja. Ke mana yang lain? Aku rasa hal itu membuat Ibu jadi risau. Apa benar tidak ada dalam buku peminjaman? Maksudnya yang belum dikembalikan?
Sok mau tahu aku turut meneliti buku daftar pinjam. Khususnya pada kolom pengembalian. Wah, banyak juga yang belum kembali. Tapi buku-buku Luna sudah tertanggali kembali semua. Artinya buku itu harusnya sudah bersarang lagi pada jajaran rak sesuai jenisnya.
Dua hari kemudian anggota nomor 32 datang. Dia mengkonfirmasi telah mengembalikan buku. Bahkan wajahnya tampak tidak senang merasa tertuduh kurang disiplin mengembalikan buku yang seharusnya telah kembali.
“Maaf ya Mbak,” kata ibu. “Saya cuma ricek saja. Kalau memang sudah mengembalikan, saya ucapkan terima kasih.”
“Lah, dibuku sudah ada tanggal kembali kan?” jengit Kak Cannia dengan pelipis yang berkedut-kedut.
“Iya, sudah. Cuma saya ingin memastikan bahwa saya tidak salah tulis saja. Siapa tahu saat itu saya keliru meletakkan tanda kembali. Maafkan saya,” ucap Ibu sungguh merasa bersalah.
“Pokoknya saya selalu tertib mengembalikan. Terus terang saya tidak suka dituduh macam ini,” kata Kak Cannia sambil berdiri. “Permisi.”
“Sekali lagi maaf, Mbak!” seru Ibu lunglai.
Dari tatapan mata Ibu terlihat bahwa dia sangat berharap Cannia tidak trauma meminjam buku di Perpustakaan Iqro. Memaklumkan klarifikasi Ibu.
“Sepertinya dia jujur, Bu,” ujarku.
“Tinggal satu orang lagi.”
Menurut Ibu ada dua orang penggemar teenlit sejati. Mereka berdua selalu rajin meminjam teenlit tak mau berpindah ke lain hati. Apalagi kalau karya Luna, Ken Terate, dan Primadona Angela. Keduanya selalu bertanya tentang novel-novel terbaru mereka. Bahkan kadang anggota 13 dan 32 tahu lebih dulu kapan rilis buku-buku penulis favoritnya itu.
Tetapi yang satu ini si anggota 13, Ibu yakin selalu mengembalikan, tidak pernah telat. Malah dia selalu bisa membaca satu hari saja. Tak sampai dua hari sesuai ketentuan pinjam novel ringan.
Pada hari Minggu berikutnya Ibu tidak membuka perpus. Hari itu sengaja Ibu khususkan untuk berburu buku-buku yang belum kembali. Satu lembar kertas penuh dengan tulisan alamat peminjam terkantongi sudah. Aku menurut saja menunggu perpus agar tidak kosong.
Selama menunggu aku bermain-main dengan buku. Kadang mengurutkan deretan komik yang meloncat tidak sesuai hitungan angka. Membaca buku cerita anak dan akhirnya tertidur.
Ibu pulang menjelang Asar. Tangannya menenteng tas kain begitu ringan. Bukankah banyak buku yang harus dia ambil. Aku mengintip isi tas hanya ada dua buku terkulai berhimpit satu-sama lain.
Ah, kasihan Ibu. Usahanya serupa menepuk lalat. Lelah namun tak berhasil mengantongi satu lalat pun.