Iqro

Xie Nur
Chapter #12

Pinky Boy

Rak Ke-12

Denting pintu berbunyi menandakan ada seorang pelanggan datang. Ibu menggantung lonceng kecil di pintu kaca untuk memberi kode kedatangan. Memang pintu perpustakaan selalu tertutup untuk menghindari debu nakal yang selalu ingin singgah di buku-bukunya.

Aku pun tersenyum menyambut si baju pink rambut kriwil. Dia langsung menuju rak komik. Seperti biasa dia lalu duduk takzim di ruang baca menekuri komik Fight! Ippo yang serinya sudah mencapai ratusan.

Kakak ini seperti punya dua kepribadian. Bayangkan saja, meski dia gemar memakai baju pink tapi bacaannya komik keras. Fight! Ippo, jenis komik remaja olah raga bertema tinju. Pokoknya segala komik olah raga dia lahap. Mulai Eyeshield, Dear Boys, Prince of Tennis, Attack!! dan lainnya.

Rasanya sangat klasik jika mengatakan don’t judge a book by it’s cover. Tapi ini merupakan kenyataan yang harus aku ungkapkan. Aku telah salah duga sejak perjumpaan pertama dengannya. Orang suka memakai baju pink bukan berarti orang tersebut memiliki kepribadian yang melo-melo drama. Buktinya pelanggan Ibu kali ini berbeda.

Bagaimanapun, berdasarkan pengamatanku selama ini. Bacaan buku para pelanggan sering mencerminkan jiwa, hobi, renjana, bahkan perasaan si pembaca. Perlahan aku mulai bisa memahami karakter anggota-anggota Iqro. Khusus anggota yang aktif tentu.

Denting pintu berbunyi lagi. Wah, dia itu kan teman ibu. Kalau tidak salah Tante Vittra. Langkah lincahnya senada dengan lirikan mata ke arah si baju pink.

“Sepertinya kami berjodoh,” kata Tante Vittra seraya mengerling ke arah cowok berambut kriwil.

“Seleramu ternyata benar brownis.”

“Kamu sama sekali tidak memahamiku,” Tante Vittra yang duduk depan Ibu menjawil dagu Ibu.

“Oh ya, setahuku riwayat pacarmu, tidak ada yang lebih muda darimu.”

“Makanya kami jadi cepat putus.”

Ibu tertawa menanggapi perkataan Tante Vittra. “Bisa ya....”

“Mungkin dalam jiwaku terdapat jiwa kekanakan yang selalu ingin bermain. Tentu saja bermain dengan yang unyu-unyu pasti seru. Tak cocok sama cowok bertaring.” Tante Vittra menyeringai memperlihatkan gigi taringnya.

“Aku pikir justru kamu harus mencari pendamping yang bisa mengendalikan kebiasaan hura-hura kamu.”

“Kamu selalu berpikir buruk padaku? Berhura-hura?” Tante Vittra berhenti sejenak menerawang sesuatu. “Mungkin ada benarnya. Tapi untuk sekarang yang penting siapa nama anak itu? Nomor HP sama alamat kos.” Tante Vittra menodong Ibu dengan tangan menengadah.

“Sori, tidak bisa membagi data pelanggan pada orang lain.”

“Pelit amat!” tanpa permisi teman Ibu menculik buku data anggota perpustakaan Iqro.

“Dia nomor anggota berapa?”

“Tidak ada.”

“Serius, Ve.” Mata Tante Vittra mendelik.

“Dia anggota tidak tetap.”

“Maksudnya?”

“Dia cuma membaca saja di sini, jadi tidak ada kewajiban mendaftar anggota.”

“Oh, boleh baca gratisan?”

“Bebas terarah. Ada bea, separuh harga sewa.”

Tante Vittra menghembus napas kecewa.

Bersamaan dengan itu si baju pink beranjak dari duduk. Sepuluh buah komik dia tenteng dengan kedua belah tangan.

“Berapa Mbak?”

“Sepuluh ribu.” sahut Ibu setelah menghitung jumlah buku yang dia bawa sebagai bukti baca. Memang begitu peraturannya.

Senyum menawan dia lontar sebelum melangkah menuju pintu dengan meninggalkan bunyi kelunting.

“Senyumnya asli tebu. Manis banget yak.”

“Terus kenapa?”

“Jadi pengin menghisapnya.”

“Horor sekali!” Ibu melirik ke arahku.

“Besok tolong tanyain namanya, lengkap sama kontak yang bisa dihubungi.” Permintaan tolong Tante Vittra seperti perintah.

“Tanya sendiri!”

“Kamu ini!”

Lihat selengkapnya