Rak Ke-13
Rambut panjangnya berkibar menyilaukan. Belum lagi sebentuk wajah oval dengan mata berhias bulu lentik menyorotkan sinar keceriaan. Bibirnya pun mungil simetris sempurna. Lalu kulitnya putih tetapi tidak pucat, seperti memancarkan cahaya. Semuanya itu tertempel pada tubuh yang menjulang ideal. Ah, aku sungguh iri melihat kemolekan gadis cilik itu.
Jangan heran, karena anak manis itu berasal dari bibit yang cantik. Mamanya tak kalah memukau. Aku jadi berkhayal seandainya dia adalah Ibuku. Tetapi tak boleh, kan! Keputusan-Nya pasti yang terbaik.
Yang pasti aku jadi punya teman bermain baru. Tutur katanya juga begitu lembut, kadang aku tidak bisa mengimbangi kehalusannya. Intonasi suaraku meloncat-loncat cepat, sering aku tak sabar menunggu setiap butir kata yang akan keluar dari mulutnya.
Kegemaran Zahra_nama anak itu membaca buku dongeng sama seperti aku. Dongeng Putri Cinderella dan teman-teman, serta dongeng putri Islami kami lahap semua. Sesekali merambah ke komik anak Chibi Maruko Chan, Yotsubato, Doraemon, Miiko dan atas rekomendasi Ibu. Dia pun membaca Sin Chan Ilmu Pengetahuan.
Aku harap Ibu segera menambah koleksi buku untuk anak. Biar kami tercekoki bacaan bagus sesuai umur. Menurut percakapan yang aku dengar antara Ibu dan mamanya sekarang dia sudah kelas satu SD.
Terus terang aku kagum sama sepasang Ibu anak itu. Keduanya sama-sama gemar membaca. Aku jadi suka. Seolah menemukan teman sejiwa. Sudah sangat jarang kan, para Ibu yang mendidik anak agar suka membaca. Biasanya mereka lebih senang memberi anak gadget ala gimbot yang lebih praktis.
“Kenapa selalu beda antara buku dan sinetron meski sama-sama berasal dari satu sumber,” kata Mamanya Zahra saat mengembalikan buku Catatan Hati Seorang Istri.
“Lebih bagus mana?”
“Bukunya, di sinetron terlalu banyak modifikasi. Lama-lama jadi seperti sinetron yang lain, bertele-tele dan tokohnya menjadi semakin tidak masuk akal.”
“Saya jarang melihat TV,” aku Ibu. “Kalau nonton sinetron bukan pilihan utama. Ternyata begitu ya. Sayang sekali kalau begitu.”
“Yang saya herankan, kenapa si pengarang tidak memberi rambu-rambu agar sinetronnya berlandaskan buku total, tidak boleh melenceng terlalu jauh.”
“Tuntutan pasar Mbak. Saya juga pernah mengalami hal itu.”
“Mbak penulis?”
“Masih belajar. Kebetulan kala itu saya ikut lomba sinopsis untuk drama TV musikal. Alhamdulillah menang. Mungkin karena posisi saya lemah dan tidak mengerti dunia pertelevisian. Saya percaya saja, kalau sinopsis saya akan diolah sesuai cerita bahkan mungkin lebih indah. Nyatanya, drama musikal dari karya saya itu, sangat jauh dari yang saya tuliskan, bahkan nama tokoh utama diganti tidak sama dengan sinopsis. Sempat kecewa sih, padahal bayangan visual saya sedemikian megah.” Ibu menghela napas.
“Mungkin penulisnya juga terbentur tuntutan layar kaca. Atau sama seperti saya langsung memberikan saja hak cipta visual pada PH_production house yang menggarap sinetronnya tanpa berdaya.”
“Begitukah? Berarti bukan hanya penikmat buku saja yang kecewa. Penulis pun merasakan yang sama?”
“Itu yang saya rasa, Mbak. Seperti halnya film-film lokal yang berasal dari buku. Selalu beda dengan hasil imajinasi kita, bukan. Kecuali film barat, mereka sukses memuaskan imaji pembaca menjadi nyata, contohnya Harry Potter dan Twilight.”
“Dulu sih pernah ada sinetron Ketika Cinta Bertasbih yang ceritanya tidak terlalu jauh dari novel. Saya suka itu, hanya sinetron KCB 2 kok malah balik ke sinetron style. Agak kecewa.”
“Masalahnya pemirsa TV banyak yang suka cerita lebay, aneh bin ajaib. Terbukti sinetron semacam itu ratingnya selalu berada di puncak.”
Mamanya Zahra manggut-manggut sebelum menyadari sesuatu. “Jam berapa Mbak?” tanyanya sambil melongok ke arah jam. “Wah, sudah saatnya menyiapkan makan malam. Ayo, Ra pulang.”
Zahra menurut bangkit dari duduk berjalan menuju pintu. Tangannya melambai ke arahku.