Iqro

Xie Nur
Chapter #14

Misteri Anggota 111

Rak Ke-14

“Lho, mau pinjam lagi? Yang tadi pagi seharusnya kembali dulu,” tegur Ibu pada Kak Ega. Peraturan Perputakaan Iqro, kalau mau pinjam lagi buku yang dipinjam sebelumnya harus tercatat kembali terlebih dahulu.

“Besok sekalian, Mbak,” ucap Kak Ega nyengir. “Tolong catat saja,” katanya lagi sambil mengulurkan uang lalu pergi dari hadapan Ibu. “Makasih.” serunya sebelum keluar dari pintu.

“Tung….” Terlambat. Kak Ega telah menghempaskan pintu. Ibu hanya geleng-geleng kepala.

Tak lama kemudian datang si nomor sepuluh. Dia meminjam komik serial cantik, V.B Rose.

Tak terasa hampir dua tahun aku dan Ibu menjadi penghuni perpustakaan. Anggota Iqro telah mencapai 300 orang. Menurut Ibu sudah cukup bagus. Di zaman menuju digital seperti sekarang ini masih ada yang mau membaca buku suatu kejaiban besar. Yah, meski tidak semua menjadi anggota yang aktif melakukan peminjaman.

Beberapa anggota yang rajin sewa buku telah Ibu hafal. Kebanyakan dari mereka selain tercatat dalam buku anggota juga tertulis dalam buku biru. Banyak kisah-kisah unik anggota yang tak lepas dari ruang dengar Ibu. Aku kadang turut larut mendengar aneka cerita yang terkadang tak sesuai umurku.

Hari berikutnya Kak Ega datang sesuai janji mengembalikan semua buku yang dia pinjam. Tidak ada spesialisasi komik yang menjadi kegemarannya. Hampir semua tema dia suka, tentu kecuali seri cantik atau serial cantik ya. Kali ini dia tengah menekuni Kunimitsu, komik tentang politikus Jepang yang dipinjam pada pagi hari. Dan Shanaou Yoshitsune, komik perang jaman kuno, biasa dia pinjam sore hari.

“Assalamu’alaikum....” Kak Ega berderap ke meja Ibu meletakkan buku yang kemarin dia pinjam. Selanjutnya memilih komik, lalu balik lagi ke meja pencatatan. Tapi kali ini dia harus menunggu karena ada seorang anggota lain yang sedang melakukan transaksi peminjaman.

“Mari Mbak,” pamit nomor anggota 80 yang menyukai novel genre metropop.

“Namanya siapa Mbak?” bisik Kak Ega pada Ibu. Sudut matanya masih mengawasi kepergian cewek manis tadi.

“Twenty.”

“Serius, Mbak. Itu nomor anggotanya kali. Saya tanya nama?”

“Benar, namanya Twenty.” Ibu mengambil buku anggota. Memperlihatkan nama penghuni nomor 80, Twenty Sabrina.

“Manis, kayak orangnya. Dia tadi mirip mantan saya. Cuma bodi cewek saya eh, mantan lebih bohai.” Dia tertawa ngikik.

“Dasar! Kamu melihat wanita hanya dari fisik ya,” rutuk ibu.

“Iya lah. Mbak sendiri cari cowok pasti dari tampang dulu kan?”

Ibu tertawa. “Muka penting, tapi yang lebih penting hati yang tampan.”

“Masa?”

“Punya suami ganteng tapi tiap hari makan hati, malah enek, bikin muntah, gimana? Nggak enak banget. Kalau sudah begitu hilang deh, selera mengagumi keelokan wajah si dia. Yang ada asam lambung naik, tekanan darah juga tinggi.”

“Memang sih,” kata Kak Ega memandang keluar. “Sebenarnya saya malah suka sama cewek yang hitam-hitam manis gitu, seperti Twenty tadi. Yang paling penting bagi saya bodinya, Mbak. Bisa langsung gimana gitu, kalau lihat bemper yang besar. Horni.”

“Itu namanya menurutkan nafsu. Cinta karena fisik tidak akan abadi. Kalau tubuh pasangan mulai berubah, cinta akan turut meluruh.”

“Mungkin, tapi saya bukan tipe orang seperti itu. Biar begini sebetulnya saya tipe setia.” Pengakuan Kak Ega tidak terduga. Bagiku tentu.

“Setiap tikungan ada,” goda Ibu sungguh mewakili pradugaku.

Kesan pertama melihat Kak Ega seperti tipe cowok playboy. Matanya selalu liar kalau melihat cewek yang melek.

“Serius Mbak!” letus Kak Ega. “Bahkan dulu yang mutusin saya malah dia. Saya tidak mau putus, karena ada sesuatu yang membuat saya merasa harus bertanggungjawab.”

“Itu namanya bukan setia. Setia karena perasaan bersalah dengan setia asli dari lubuk hati terdalam beda.”

“Tapi bener, Mbak. Meski saya suka menggoda cewek-cewek, saya tidak berminat pacaran dengan mereka. Buat vitamin A aja.”

“Hati-hati bermain api, nanti bisa terbakar.”

Lihat selengkapnya