Iqro

Xie Nur
Chapter #16

Sebahat Sahabat

Rak Ke-16

Ibu manggut-manggut mendengar cerita Tante Desti. Intinya dia ketemuan dengan kenalan online-nya tetapi ternyata benang jodoh masih belum bisa terikat. Lucunya teman kenalan Tante Desti malah naksir Tante Vittra. Wah, jadi rumit. Jangan-jangan mereka berdua bertengkar gara-gara rebutan cowok. Buktinya hari ini Tante Desti hanya datang sendiri. Kebiasaan yang sangat langka nyaris punah.

“Kamu yakin tidak apa-apa?”

“Ya tentu saja. Itu hak dia. Lagian aku merasa kurang sreg juga sama orang itu.”

“Kamu sama Vittra baik-baik?” Ibu memastikan.

“Ada sedikit nyesek sih. Masa waktu ketemuan dia tak mengacuhkan aku malah memilih mengobrol sama Vittra. Keterlaluan kan?”

“Berarti sebenarnya kamu suka dia?”

“Mungkin.”

“Baiklah, misal Vittra benar jadian sama dia bagaimana?”

“Cinta tidak bisa dipaksakan. Aku ikhlas.” desahan Tante Desti terdengar pasrah.

“Dan kamu mau membalas lagi pesan-pesan dari Vittra? Tidak mengacuhkan dia?”

“Vittra cerita sama kamu?”

“He-em.”

“Menurutmu gimana?” Tangan Tante Desti saling meremas di atas meja.

“Mengulang kata-katamu, cinta tidak boleh dipaksakan. Azas suka sama suka lebih terasa indah bukan? Bertepuk sebelah tangan memang terasa hampa, tapi setidaknya kita menepuk udara yang menyegarkan kemudian.”

“Seperti pernah mengalami aja,” cibir Tante Desti.

“Menurut novel sih,” seringai Ibu.

“Dasar kau itu.”

“Berjuang lagi, kawan!” Ibu memberi kata-kata semangat picisan.

“Tentu.”

“Jadi kamu akan baikan lagi sama Vittra?”

“Iya, berapa kali aku harus bilang iya sama kamu.” Tante Desti terlihat merengut palsu.

“Kamu dengar Vit?” seru Ibu tiba-tiba.

Tante Desti menegakkan posisi duduk. Salah tingkah membuka-buka ponsel saat Tante Vittra muncul dari dalam kamar Ibu dan duduk di sebelahnya.

“Aku sama sekali tidak bermaksud memikatnya. Dan sebelum aku memutuskan untuk menerimanya, berkali-kali aku berpikir dan meminta pendapat Nove.”

“Aku tahu.” Tante Desti memandang ke arah Tante Vittra sebentar.

“Berarti kamu mau memaafkan aku?” pinta Tante Vittra penuh harap.

“Tidak ada yang harus dimaafkan, kamu tidak salah. Hanya aku yang terlalu bawa perasaan, mungkin juga egois.”

“Kalau kamu merasa tidak nyaman, aku mau memutuskan dia,” ucap Tante Vittra terdengar sangat ringan.

“Jangan! Kamu harus tanggungjawab melanjutkan,” cegah Tante Desti seraya menggerakkan pergelangan tangan dengan posisi kelima jarinya terangkat menggeleng kiri-kanan.

“Sebagai tanda akur, sebaiknya kalian berjabat tangan,” usul Ibu tiba-tiba.

Lihat selengkapnya