Rak Ke-18
Sejak sore anak itu tekun membaca komik One Piece yang telah mencapai buku ke-100. Benar-benar kejar tayang. Tetapi satu hal yang aku suka dari Kakak yang satu ini, tiap adzan berkumandang dia bergegas pamitan untuk salat ke masjid yang tidak jauh dari perpus Iqro. Sesuai janjinya dia datang lagi membaca sampai pukul delapan malam.
Seperti halnya kemarin, begitu Ibu membuka pintu perpus selepas Magrib, si nomor 233 telah menunggu di depan dengan cengiran khasnya. Menurutku lama-lama kakak ini mirip Luffy pemimpin bajak laut di One Piece. Seorang anak yang ceria tidak takut pada apapun yang telah berbuat semena-mena serta setia kawan. Di negeri ini kalau banyak pemimpin bertipe seperti itu pasti ketertiban, keamanan dan keselarasan hidup akan tercipta.
Meski perompak, Luffy dan kawan-kawan tidak melakukan pembajakan pada kapal lain. Tujuan mereka adalah mencari pulau misterius yang menyimpan banyak harta.
“Kamu tidak mandi dulu?” tanya Ibu yang penasaran pada si nomor 233 yang selalu on time jam tujuh sudah berdiri bersandar pada sisi jendela kaca.
“Sudah dong, Mbak. salat di masjid lima belas menit, mandi plus ngantri sepuluh menit, makan plus ngantri lima belas menit. Perjalanan pulang pergi 20 menit. Pas kan. he....”
“Iya deh,” Ibu terpaksa mengalah.
Si nomor 233 yang bernama Hendi langsung menuju tempat favoritnya. Meja baca agak menyandar pada rak komik di mana deretan One Piece berada.
Sementara Ibu sibuk depan monitor menyusun huruf demi huruf membentuk kata, merangkai kalimat. Dan aku berlarian ke sana kemari mengagumi punggung buku yang tertata semakin banyak.
Ah, gelap!
Aku menjerit ketakutan. Di mana Ibu berada. Suasana perpustakaan mendadak gaduh di dalam kegelapan. Selain teriakanku ada teriakan lain, yang disusul dengan suara benda bertumbukan, beserta lolong kesakitan.
“Mbak, tolong!” seru Hendi bersamaan dengan percik cahaya lilin menebar temaram sekitar.
Aku segera berlari menghambur ke Ibu. Terengah-engah merapat pada meja tempat lilin berpendar. Ibu kemudian menuju meja baca pelanggan untuk meletakkan lilin lain. Aku menguntit langkah Ibu.
“Hendi!” pekik Ibu tiba-tiba panik.
Aku pun terkejut melihat Kak Hendi terbujur melintang menghalangi jalan masuk ke area baca. Ibu segera berlari ke kamar, sebuah botol kecil minyak aroma terapi tergenggam di tangan lalu mendekatkannya pada hidung Kak Hendi.
Mata Kak Hendi terkejap seiring geliat tubuhnya. Refleks dia memegang dahi seraya bangkit dengan bias mata ketakutan. Mendadak tubuhnya gemetar. Ibu beraksi cepat dengan menyalakan banyak lilin di sekitar.
“Tidak punya lampu emergensi, Mbak?” tanya Kak Hendi dengan suara bergetar hampir menangis.
Ibu menggeleng, “Sementara pakai lilin ya,” katanya lagi sambil membimbing Kak Hendi ke mejanya.
“Tenang, tidak apa-apa,” ucap Ibu. “Coba tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan.” Kak Hendi menurut kata-kata Ibu. “Nah, lanjutkan dengan membaca ya.”
Kak Hendi yang semula mencengkeram buku hingga hampir merusaknya, mulai tenang. Bahkan dia meminta maaf telah membuat buku Ibu kusut terlipat-lipat.
Ibu pun kembali tenggelam dalam cahaya kotak di depannya. Sebenarnya ada apa sih, pakai mati listrik segala. Tanpa aba-aba pula. Bagi yang punya usaha rentalan komputer kan kasihan. Apalagi kalau matinya tidak langsung padam pakai acara nuansa lampu disko wah, esoknya bisa langsung servis komputer.
Tanpa terdengar denting pintu, sebagai tanda ada tamu masuk, sebuah suara mengagetkan kami semua.
“Yay!” teriak aku dan Kak Hendi bersamaan.
“Ada apa?” tanya si nomor 13 yang tiba-tiba nongol di antara kami.
Kak Hendi sampai meloncat ke belakang tempat duduk Ibu. Napasnya terdengar memburu.
“Kamu itu, datang tak bersuara atau mengucap salam,” tegur Ibu setelah membantu Kak Hendi mengendalikan alur pernapasan.
“Maaf, maaf, tadi saya lihat dari luar terlihat romantis sekali. Saya hanya tidak mau mengganggu. Silakan, lanjutkan!” dalihnya menyeringai. “Saya lagi butuh hiburan. Dalam kondisi lampu mati cuma buku yang sekarang bisa diandalkan,” sambungnya sebelum beranjak meninggalkan kami.
“Romantis apaan? Serem tau!” runtuk Kak Hendi memegangi dadanya setelah berhasil menguasai kecemasan.
Berbekal senter Ara mencari buku komik kegemarannya. Kak Hendi sudah kembali ke tempat semula. Berkali-kali dia mengelus dada.
“Ikut baca sini ya?” seru Kak Ara.
“Tentu, tapi cuma bercahaya lilin. Lain kali nampaknya saya harus beli lampu emergency.”
“Tak apa Kak, remang-remang romantis,” sambarnya lalu duduk di depan meja baca.
Kak Hendi sesekali melirik ke arah gadis berambut cepak yang duduk santai sambil mengangkat satu lututnya.
“Mbak, dia orang beneran bukan sih?” bisik Hendi.
“Kenapa?”
“Kok tadi tidak terdengar suara pintu dibuka ya, tahu-tahu dia sudah nongol di sini.”