Rak Ke-19
Bunga krisan kuning bertengger di rak depan menyambut matahari pagi dengan binar merekah. Hari ini perpus Iqro ada cerita apa ya? Secerah bunga itukah? Rasanya tidak sabar menanti pengunjung yang selalu membawa sejuta cerita.
“Bunganya cantik,” sapa Kak Ega yang tidak biasa datang pagi sekali.
“Tumben?”
“Lagi nggak ada kuliah. Daripada bengong di kos.”
Denting pintu terdengar lagi, aku menyambut dengan riang. Kak Ara muncul dengan cengiran khasnya.
“Woi, Ra!” Kak Ega dan Kak Ara bertoas tangan. “Makin ganteng aja nih?”
“Mau nyaingin kamu,” Kak Ara mengambil posisi duduk pada sisi meja yang kosong, samping kanan ibu.
“Hush!” tegur Ibu. “Masa ganteng, cantik dong.”
“Lah, dia ini darimana dapat cantiknya. Kalau dia pakai rok, mungkin baru aku bilang cantik.”
“Yakin?” tuding Kak Ara.
“Enggak juga sih,”
Aku memperhatikan Kak Ara. Dandanannya memang ala boy. Tomboy. Siapa pun pasti tidak akan menyangka kalau dia perempuan, kecuali setelah mendengar suaranya yang sopran.
“Saya penasaran dengan Ara kalau pakai rok. Coba sesekali kamu pakai baju perempuan,” kata Ibu.
“Nanti saya malah dikira banci. Nehi nehi....” Tangan Kak Ara sudah melengkung-lengkung dengan goyangan India.
“Kamu yang bilang sendiri loh!” tawa Kak Ega menggema.
“Pakai kerudung sekalian, Ra. Biar tertutup rapi tak meninggalkan kesan seperti yang kamu bilang.”
“Jadi kamu setuju lesbian, gay diakui dunia?” tanya Kak Ega tiba-tiba.
“Katanya itu HAM,” sahut Kak Ara. “Aku sih, netral. Diakui silakan, enggak pun tidak jadi soal.”
“Itu penyakit psikologis yang bisa disembuhkan, lho,” timpal Ibu. “Harusnya Indonesia meniru negara Kenya yang melarang homoseksual dengan memberi solusi penyembuhan. Mereka bahkan melakukan riset khusus untuk mengatasi kelainan tersebut.”
“Kamu harus ikut terapi di sana, Ra,” saran Kak masih dengan senyum jahil.
“Buat apa?”
“Kamu penyuka perempuan, kan?” tanya Kak Ega tanpa basa-basi. “Setelah normal suka sama cowok kamu tidak perlu ke Amerika atau Eropa yang sudah melegalkan pernikahan sesama jenis.”
“Tomboy belum tentu orientasi seksualnya menyimpang,” balas Kak Ara.
“Oh, jadi kamu masih normal?” Kak Ega memicingkan matanya.
“Tergantung. Bisa iya, bisa tidak.”
“AC-DC dong! Bahaya. Omnivora,” balas Kak Ega tambah ngakak.
“Manusia semua omnivora, justru carnivora macam kamu yang lebih berbahaya.” Kak Ara tidak mau kalah.
“Carnivora?” ulang Kak Ega seolah menimbang adakah kecocokan dirinya dengan sebutan itu.
“Buaya darat, termasuk carnivora, toh?” tunjuk Kak Ara.
Ibu senyum-senyum melihat debat keduanya. “Ara, manusia itu diciptakan berpasangan berbeda jenis kelamin agar berkembang biak menciptakan generasi yang lebih baik.”