Iqro

Xie Nur
Chapter #20

Ada Apa Dengan Gita

Rak Ke-20

Suasana petang ini terasa sunyi di perpustakaan Iqro. Yang terdengar hanya desahan dan lenguhan dari dua perempuan yang sedang duduk berhadap-hadapan tanpa kata setelah serentetan kisah mengudara di antara rak dan buku yang bisu. Bahkan bunga krisan kiriman kelima dari nomor anggota 233 turut meredupkan kelopaknya.

“Apa sama sekali tidak ada jalan keluar? Kalian bisa mengadopsi anak?” usul Ibu kemudian.

“Orang tua Mas Ferry tidak setuju tentang itu. Dia ingin punya cucu dari anaknya langsung. Bukan anak orang lain. Kamu tahu kan, suamiku itu anak tunggal. Orang tuanya ingin kami punya anak banyak. Makanya aku diminta berhenti bekerja agar bisa fokus memperoleh keturunan. Tapi ternyata Allah berkendak lain.”

“Belum saja, Git. Pasti ada saatnya.”

“Tapi sudah lima tahun, Ve.”

“Baru lima tahun. Banyak yang lebih lama dari kamu masih sabar menunggu.”

“Aku bisa menunggu. Tapi Mas Ferry dan orang tuanya terus mendesak. Rasanya aku bisa gila.”

“Tenang Git,” Ibu menyentuh tangan Tante Gita. “Sejauh ini apa usahamu?”

“Semuanya. Mulai dari cek laborat, HSG, hidrotubasi, minum obat kesuburan, bahkan aneka jamu yang katanya bisa membuat hamil.”

“Apa kata dokter tentangmu? Lalu suamimu?”

“Mereka bilang semua baik-baik saja, normal. Tinggal Mas Ferry yang belum mau periksa.”

“Setahuku masing-masing pihak punya prosentase sama dalam upaya menghasilkan keturunan, lho.”

“Seharusnya demikian. Entahlah. Pemikiran mereka tidak seperti itu. Mereka malah memberi ultimatum jika aku tidak juga hamil sampai tahun depan, Mas Ferry harus menikah lagi dengan wanita lain.”

“Sampai begitu?”

“Itulah yang membuatku semakin stres. Bagaimana aku bisa hamil kalau kondisi psikis tidak mendukung.”

“Sabar Git, coba pelan-pelan kamu beri pengertian. Atau minta bantuan dokter untuk menekannya.”

“Coba aku dulu tetap nekat bekerja. Mungkin, aku tidak sestres ini. Pekerjaan mungkin bisa mengalihkan perhatian. Atau kamu butuh asisten?” Tante Gita melihat berkeliling area perpustakaan.

“Kalau pun butuh aku tidak akan sanggup menggaji kamu.”

“Kerja sukarela, oke?”

“Tidak ada job description buat kamu,” Ibu menandaskan dengan senyum.

“Hmph....”

“Tapi kalau cuma mau menemani aku menunggu perpus boleh saja. Kita lihat berapa lama kamu akan bertahan dalam kebosanan.”

Aku mengangguk-angguk setuju. Tidak semua orang akan betah terkurung dalam tumpukan buku yang bisu.

“Masa sih?”

Lihat selengkapnya