Rak Ke-21
Sungguh tidak menyangka ternyata Om ini teman kuliah Ibu satu angkatan. Melihat dari wajahnya tampak sekali umurnya jauh di atas Ibu. Rambutnya bahkan sudah hampir botak. Kenapa tidak dibotaki sekalian ya, hihi....
“Aku sudah lama mencarimu,” Itu kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya. “Aku penasaran dengan jenis usaha yang sudah menjelang out of date ini. Aku salut dengan kenekatanmu.”
“Aku hanya ingin bekerja pada tempat yang aku suka. Tidak menjadi bawahan, tidak diperintah oleh atasan. Bagiku bekerja untuk diri sendiri sesuai dengan hobi terasa sekali nikmatnya.”
“Seandainya aku bisa mudah mendapatkan mimpi sepertimu.”
“Siapa bilang mudah. Untuk bisa tetap berdiri tegak, aku harus berjuang berdarah-darah. Tapi nikmati saja.”
“Ada buku karangan Andrea Hirata?”
“Yang terbaru Padang Bulan.” Ibu berdiri mengambilkan buku baru untuk temannya. “Ini.”
“Oh ya,” Teman Ibu menerima buku dwilogi yang menjadi satu cetakan buku, bagian depan berjudul Padang Bulan dan bagian belakang Cinta Di Dalam Gelas, tersaji di depan Om Brilian.
“Nasib Ikal benar-benar hampir sama denganku. Meski menyandang gelar master tapi tidak punya pekerjaan pasti.” Senyum seolah menertawakan diri sendiri tertampil.
Ibu ikut tersenyum simpul, “Kamu ingin jadi dosen bukan?”
“Benar, tahulah. Ayahku dosen. Seperti ada bias energi yang membawaku ingin mengikuti jejaknya. Sayang, kesempatanku untuk duduk sejajar dengannya belum kesampaian. Padahal aku pikir jika ayahku dosen akan lebih mudah masuk. Ternyata kampus kita benar-benar steril dari yang namanya KKN.”
“Bagus dong!”
“Tapi tetap saja aku jadi senewen. Masa Fuad yang belum dapat gelar master bisa menjadi dosen. Kamu tahu itu, kan?”
“Dia lolos seleksi?”
“Iya, tapi seharusnya tidak lolos seleksi administrasi terkait ijazah. Memang, tidak aku pungkiri otaknya benar-benar cerdas. Beda denganku yang harus belajar mati-matian baru bisa. Dia seolah langsung tahu sebelum belajar.” keluh kesah Om Brilian seolah lelah.
“Aku rasa tidak juga,” sanggah ibu. “Dia tentu belajar di luar perkiraanmu. Siapa tahu waktu belajarnya malah lebih banyak ketimbang waktu belajarmu.”
“Bisa jadi. Tapi tetap saja aku iri padanya. Seakan dia telah merebut ladang pekerjaanku.”
“Hei, rejeki orang sudah ada yang mengatur lho. Yang dia dapatkan itu memang sudah jatahnya. Kamu harus lebih giat agar menemukan ladang baru. yang memang jatahmu.”
Om Brilian mengusap keningnya yang lebar. “Kadang sesuatu yang sangat kita inginkan sangat sulit didapat ya?”
“Kamu tahu kisah seorang hamba yang berdoa meminta kupu-kupu malah diberi ulat berbulu, kemudian saat minta bunga cantik mendapat kaktus berduri, dan sewaktu ia meminta madu justru lebah yang menghampiri. Kamu tentu tahu maksudnya, kan?” Ibu memberi jeda kata-katanya.
Om Brilian memandang Ibu tidak yakin. “Entahlah.”
“Sabar,” sahut Ibu. “Nikmati tiap momen saat ulat berbulu berubah jadi kepompong, lalu menitis kupu-kupu indah. Sama dengan kaktus. Jika kita mau bersabar, kaktus berduri nan beracun akan mempersembahkan bunga cantik tiada tara.”
“Iya aku tahu. Berarti untuk mendapatkan legit manis madu harus memelihara lebah terlebih dahulu?”
“Sama halnya jika kamu ingin naik ke lantai 30. Tidak mungkin kamu bisa tiba ke sana tanpa sarana tangga atau lift. Tergantung pilihanmu mau sabar mendaki lewat anak tangga atau memakai lift. Bahkan jika kamu tak mau meniti dari bawah, tetap saja kamu harus repot mencari sarana lain untuk menuju ke sana.”
“Iya sih, tapi kenapa selalu ada yang menemukan jalan mudah mencapai mimpi mereka. Seperti Ikal yang menurutku begitu mudah mendapat mimpinya untuk kuliah di luar negeri.”