Iqro

Xie Nur
Chapter #23

Mimpi Yang Sama

Rak Ke-23

“Mbak, buku tentang menulis sama sekali tidak boleh pinjam bawa pulang?” tanya Sekar dengan roman kecewa.

“Maaf,” sahut Ibu. “Saya tidak mau ambil resiko buku-buku panduan saya tidak pulang. Susah, kadang kepercayaan yang kita pasrahkan sering dimanfaatkan. Saya pernah dapat pengalaman sangat buruk tentang kepercayaan.”

Sekar mengambil satu buku kemudian duduk di depan Ibu. Aku ikutan duduk di sebelahnya.

“Entah karena terhipnotis atau mungkin karena saya begitu terbuai kata-katanya_bukan rayuan lho. Lebih tepat kata-kata yang mengundang simpati. Entah bagaimana saya begitu saja meminjamkan buku Harry Potter edisi hardcover tanpa jaminan kartu identitas yang semestinya.” Ibu mendesah samar.

“Dia menjaminkan kartu apa?”

“Kartu pemilih, itu pun belum tentu punyanya. Bisa jadi dia nemu di jalan lalu dia simpan. Waktu itu memang saya menanyakan kartu identitas, tapi dia bilang tidak bawa kartu identitas apa pun. Dia kemudian malah mengeluarkan kartu pemilih. Bodohnya, saya percaya saja tanpa banyak tanya langsung menyerahkan buku Harry Potter tanpa curiga sedikit pun. Padahal itu buku baru lho.”

“Jangan-jangan orang itu ganteng sampai Mbak terpesona?” celetuk Sekar si anggota nomor 150 senyum-senyum menggoda. “Atau orang itu beneran menghipnotis Mbak Nove?”

“Terhipnotis, wah sepertinya tidak juga. Entah ya. Kalau terpesona sama sekali tidak mungkin. Malah cenderung mengenaskan, penampilannya. Yah, sudahlah. Kejadian itu menjadi pelajaran buat saya agar berhati-hati tidak terlalu gampang percaya sama orang. Makanya sekarang peminjaman saya perketat.”

“Saya bukan tipe orang semacam itu lho. Saya ini pecinta buku, saya pasti tidak rela jika buku saya menghilang. Hukum sebab akibat. Saya tidak akan mengambil buku orang lain yang mengakibatkan si pemilik buku merasa sedih. Kehilangan buku sebagaimana saya rasa ketika satu buku menyisakan bagian kosong pada rak.”

“Iya, kan? Nelangsa,” kata Ibu. “Dulu saya bahkan pernah menangis waktu kehilangan beberapa buku. Koleksi pribadi yang saya simpan secara spesial seperti menyimpan harta karun berharga. Tak disangka pas saya ingin menimang setelah sekian lama eh, buku saya telah habis dimakan rayap.”

“Sampai segitunya, Mbak? Tapi memang sayang banget.”

“Iya, super sedih pokoknya. Mana belum ada cetak ulangnya lagi.” Desahan Ibu kali ini terdengar keras.

“Semoga nanti segera ada cetak ulangnya,” tanggap Kak Sekar mendoakan penuh keyakinan.

Ibu mengamini doa Kak Sekar. Demikian juga aku yang tadi sempat ikut tersedu mendengar cerita Ibu. Setelah ini aku yakin Ibu tidak akan meninggalkanku begitu saja kelak.

Mata Kak Sekar menyisir deretan koleksi buku tentang kepenulisan.

“Mbak Nove suka menulis juga?”

“Iya suka.”

“Sudah ada yang diterbitkan atau dimuat?”

“Diterbitkan belum, kalau dimuat dalam media, pernah. Baru satu, dua. Mungkin saya masih harus belajar menulis lagi. Dari buku-buku itulah saya belajar menulis dengan benar. Meski kadang kita tidak bisa menilai sudah benarkah tulisan kita.”

“Saya juga mau belajar menulis,” ungkap Kak Sekar dengan mata berbinar.

“Bagus itu,” komentar Ibu. “Selalu begitu ya, orang yang suka membaca pasti selalu ada keinginan untuk menulis. Kadang malah sering bilang dalam hati, ah, kalau cuma menulis seperti ini, sih, mudah. Tapi prakteknya sering kita mentok saat menjaring ide lebih lanjut. Atau baru dapat satu paragraf sudah kehilangan kata-kata berlian.”

Lihat selengkapnya