Rak Ke-24
Tante Hapsari bukan anggota baru. Dia salah satu anggota kompeten sejak awal dibukanya Perpustakaan Iqro. Menjadi pendaftar nomor 5 sempat membuatnya tersenyum senang, entah karena apa. Kegemarannya novel-novel karangan Tere Liye.
“Saya pinjam ini ya,” kata Tante Hapsari menyodorkan sebuah buku.
Ibu mengernyitkan kening, “Sepertinya sudah pernah pinjam? Tere Liye yang baru ada lho. Burlian.”
“Saya ingin membaca buku ini lagi. Untuk menguatkan saya.”
Aku mengintip buku yang dipinjam Tante Hapsari. Bidadari-Bidadari Surga. Buku tentang perjuangan seorang kakak demi dapat menyekolahkan adik-adiknya.
“Tere Liye selalu sukses membuat air mata saya berderai-derai. Selalu mengharukan, bukan sekadar kisah cinta picisan. Selalu kisah cinta kasih antara orang tua, saudara atau dengan Tuhan.”
“Benar. Kalau ada orang membaca novel cinta pasangan apalagi yang belum halal pada menangis, saya malah sama sekali tidak keluar air mata. Aneh sekali saya ini. Mungkin karena saya belum pernah pacaran atau jatuh cinta ya.” aku Ibu membuatku mencari-cari novel cinta yang katanya mendayu-dayu membuat terharu.
Apa ya? Aku belum menemukan novel yang mana itu. Saking banyaknya novel kepunyaan Ibu. Satu sama lain menjadi bias di kerling ingatanku.
“Sama Mbak, saya juga nggak pernah pacaran,” bisik Tante Hapsari seolah mengungkapkan rahasianya.
“Wah?” Ibu membelalakkan mata, membuka mulut sembari menutupinya, “Sepertinya kita bisa membebaskan diri dari dosa pacaran ya.” Ibu mencodongkan tubuh ke arah Tante Hapsari. “Lumayan mengurangi deret hitung dosa, kan. Kalau gitu, berarti Mbak dulu langsung menikah?” tanya Ibu sumringah.
Senyum Tante Hapsari membias biru, “Saya masih single.”
“Ha...” Ekspresi Ibu sungguh kelewatan. Matanya membuka lebar seirama dengan mulutnya. Seperti sedang melihat sesuatu yang ajaib. Memangnya kenapa kalau Tante Hapsari belum menikah. “Ah, maaf,” Untung Ibu segera menyadari ekspresinya yang terkesan melecehkan.
“Tidak apa, perempuan seumuran saya seharusnya memang sudah punya dua anak. Satunya sudah menginjak remaja.”
Aku manggut-manggut. Menurut taksiranku, umur Tante Hapsari sekarang sekitar empat puluhan. Yah, melihat dari kerutan halus yang tergambar di kening serta berkas garis yang nyata pada sudut mata. Selain itu pipinya juga terlihat menurun. Kalau tubuh Tante Hapsari memang tidak terlihat seperti emak-emak. Langsing semampai. Dan kupikir, Tante Hapsari itu cantik. Riasannya sederhana tetapi menampilkan kesan wanita anggun.
“Ini sebuah pilihan atau....” Ibu bertanya perlahan.
“Tidak ada yang mau memilih terus melajang. Mungkin ada. Tapi saya sebenarnya ingin menikah. Hanya saja, jodoh belum datang. Mau gimana lagi.”
“Oh.” Ibu tampak kehilangan kata.
“Sebelum telanjur seperti saya. Dik Nove jangan terlalu pilih-pilih. Kalau ada yang baik ambil saja,” saran Kak Sekar pada Ibu yang berbuah gelengan kepala.
“Sama Mbak, saya juga tidak ada pilihan,” tanggap Ibu bersemu senang karena mendapat teman seperjalanan.
“Tapi kamu masih muda, umurmu baru 23 tahun kan?”
“Mau 27 tahun,” sahut Ibu tersenyum malu.
Aku ikut tersenyum sambil mengamati Ibu. Kalau dilihat-lihat, wajah Ibu yang kecil membuatnya tampak lebih muda dari usianya.