Iqro

Xie Nur
Chapter #25

Tawaran Menarik

Rak Ke-25

Aku senang melihat Tante Gita sudah tidak berpayung mendung lagi. Kini matahari seakan selalu bertengger di atas kepalanya. Langkah optimisnya berhasil menghalau onak duri yang bertebaran di jalan.

Lihat, aura Perpustakaan Iqro menjadi semakin berpelangi. Banyak cerita tertumpah mewarnai kisah-kisah buku dari para pendongeng sejati. Tak apa Perpustakaan Iqro sesekali gempita, karena tulisan yang tertuang dalam lembar kertas berasal dari celoteh anak manusia juga. Biar saja Perpustakaan Iqro tak selalu sunyi, karena kesunyian yang terjadi hanya mencerminkan hati yang mati.

“Nah, bagaimana? Kamu mau? Lihat, depan perpusmu sangat gersang. Kalau ada yang hijau-hijau bisa menyegarkan mata. Kamu tahu kan, bias warna hijau pada daun bisa mencuci retina. Anggota Perpus Iqro selain dapat fresh pikiran juga harus dapat fresh di mata.”

Baru kali ini aku mendengar Tante Gita bicara nyerocos seperti tukang obat jalanan.

“Selain itu, sayuran yang kamu tanam di depan bisa kamu masak. Lumayan menghemat belanja dapur.”

“Kalau cuma display bunga aku tidak keberatan. Tapi untuk hidroponik....”

“Tenang, semua aku yang siapkan. Asal kamu say yes! Besok karyawanku langsung pasang di teras depan. Jadi sekalian buat pagar. Pagar yang bisa diambil manfaatnya bukan sekadar pagar besi yang kelak hanya menambah sampah tak terurai.”

“Kamu benar-benar cinta lingkungan ya?”

“Tepatnya cinta tanaman.” Tante Gita mendesah sambil menyandarkan punggungnya pada rak samping. “Yah, mau bagaimana lagi. Orang yang aku cintai malah mendua. Rasanya hanya mereka, tanaman itu yang akan menghiburku.”

“Aku senang kamu sekarang benar-benar hidup.”

“Memang sebelumnya aku setengah mati?”

“Iya, dulu kamu seperti zombi.”

Tante Gita tertawa tak lupa menutupi mulutnya. “Masa sih?” Selanjutnya Ia meletakkan dua siku menumpu pada meja kerja Ibu. “Jadi, kamu setuju dengan ideku? Tenang ada komisinya.”

“Bukan masalah komisi. Aku bersedia, agar kamu tidak layu lagi.”

“Makasih, Say!”

Ibu dan Tante Gita tertawa bersama. Aku melonjak-lonjak ria di samping meja. Selanjutnya mereka sudah membahas tentang diriku. Ah, aku jadi tersipu-sipu mendengarnya.

Denting pintu terdengar. Pria berpeci datang lagi mengembalikan buku. Ragu-ragu pria yang kurang lebih berumur tiga puluhan itu minta izin duduk bersama Ibu dan Tante Gita. Dia segera memperkenalkan diri dengan nama Rijal.

Ibu dan Tante Gita sempat bingung dengan permintaan pria itu. Tetapi pria bernama Rijal itu, setelah mendapat tatapan curiga dari dua wanita sebaya beda nasib, bilang ingin berbincang tentang bisnis.

“Maaf sebelumnya.” Jeda sejenak. “Begini satu minggu yang lalu teman saya menawari konsinyasi buku-buku untuk dijual. Oh ya, saya punya toko buku kecil di ujung gang sana. Toko yang sangat kecil, hanya berukuran 2x3 meter.” Senyum menguar. “Dan teman saya, distributor buku, ingin menitip buku pada toko kecil saya itu.”

“Tawaran bagus dong, bisa menambah koleksi buku toko buku Mas Rijal,” tanggap Ibu.

“Masalahnya tempat saya tidak memungkinkan untuk menampung buku-buku lagi. Sekarang saja ruangan itu hanya cukup buat tidur saya. Tadinya saya mau menolak. Setelah melihat Perpus Iqro ini, jadi terpikir untuk memberikan tawaran itu pada Mbak Nove.”

Ibu memandang Tante Gita.

“Boleh tuh, lagian tempatmu masih bisa muat untuk satu dua rak lagi kalau ruang baca dipangkas.”

“Saya pikir juga begitu.” timpal pria berpeci.

Ibu masih diam berganti memandang ke arahku. Pelan aku menggeleng tidak yakin. Kenyamanan pelanggan yang membaca di tempat akan terbelenggu.

“Saya pikir-pikir dulu ya,” tanggap Ibu. “Saya hargai tawaran Mas Rijal. Tapi beri saya waktu untuk memutuskan.”

Lihat selengkapnya