Iqro

Xie Nur
Chapter #26

Fantasi Seorang Seniman

Rak Ke-26

Menurut penglihatanku selama ini sudah jarang laki-laki berambut gondrong hingga sepunggung. Rambut gondrong saat ini tidak lagi tren. Mungkin kepala plontos menjadi penampilan yang sedang banyak digandrungi. Tidak bagi anggota nomor 44, Pian. Dia mempertahankan tren rambut gondrong melawan arus sekarang.

Tidak cuma itu buku bacaannya pun novel-novel fantasi. Novel yang peminjamnya minim kaum cowok. Terus terang aku juga suka novel fantasi. Bersama penulis kita serasa dibawa ke negeri antah berantah dengan aneka keajaiban. Setidaknya bolehlah, kita sedikit membayangkan gambaran dari penulis dengan imaji sendiri. Cukup menyenangkan.

Harry Potter merupakan novel fantasi petualangan remaja yang paling aku suka. Meski novel lain seperti Erec Rex yang jumlah jilidnya sampai 9 melebihi Harry Potter, Spiderwick Chronicle, Narnia, dan Ingo tak kalah seru.

Untuk petualangan fantasi dewasa aku suka tetralogi The Hobbit yang berlanjut dengan judul Lord of The Ring. Baiklah, urutan kesukaan berikutnya trilogi Bartimeolus, tetralogi Eragon, dll.

Bicara soal Twlight terus terang aku tidak suka meski banyak sekali penggemarnya. Saat sedang in bahkan Ibu sampai membuat daftar antrian pinjam berderet-deret panjangnya. Pernah mencoba membaca, eh, malah aku jatuh tertidur. Mungkin karena ceritanya dominan cinta-cintaan sehingga membuatku mengantuk.

Dengan Pian, aku tidak perlu memanggilnya Kakak atau Om, ada perasaan sehati menghinggapi. Kami bisa menjadi teman baik ketika berbicara tentang dunia ajaib di sana. Tak perlu memanggil dengan embel-embel lain agar lebih akrab. Pun dengan Ibu. Kami bertiga sungguh tiga orang pengkhayal tingkat tinggi.

“Saya sangat senang, perpus ini memiliki banyak buku fantasi,” kata Pian pada Ibu selepas membaca buku baru The Last Words of Will Wolfin. Kini di tangannya telah tergenggam buku lain berjudul 100 Cupboards.

“Novel fantasi bisa membuat kita melupakan sejenak dunia nyata yang terkadang sesak.” cetus Ibu dengan helaan napas.

“Betul Mbak,” Pian mengacungkan jarinya ke depan. “Dari semua novel fantasi petualangan Harry Potter tetap terfavorit. Apalagi filmnya pas sekali dengan imaji kita. Rasanya puas. Sayang belum ada lagi novel fantasi petualangan lain.”

“Ada, The Maze Runner, The Hunger Games. Itu ada lho!” tunjuk Ibu pada rak fantasi.

“Petualangan fantasi dunia masa depan atau fantasi science kurang menarik hati saya. Terlalu banyak besi dan alat-alat canggih penyebab polusi. Aksi bunuh membunuh juga terlalu sadis.”

“Tapi buku pertama The Maze Runner cukup seru, cukup memacu adrenalin lho.”

“Saya suka hal yang berbau kuno. Lebih segar, mengandung aroma mistis yang kental.”

“Pantas kamu suka pakai baju lurik macam itu.” tunjuk Ibu pada baju Pian yang seperti tidak pernah ganti.

“Baju tradisional macam ini harus dilestarikan.”

Oh, jadi baju yang selama ini dia pakai namanya lurik. Pakaian laki-laki mirip baju koko bermotif garis-garis panjang hitam cokelat. Seringnya Pian tidak mengancingkan baju luriknya, dalaman kaos warna putih selalu menyembul keluar. Seperti saat cewek-cewek memakai cardigan.

Pian juga senang memakai celana hitam melebar di atas mata kaki. Gampangnya cari saja penjual sate madura asli. Bedanya garis-garis merah pada kaos yang dikenakan tukang sate diganti kaos putih polos saja. Lalu baju hitam yang melingkupi tinggal digambari dengan garis hitam cokelat memanjang dari atas ke bawah. Celana jelas persis. Seperti itulah.

Jadi penarasan, dia ganti baju atau tidak. Masalahnya hampir tiap hari dia memakai baju model itu.

Lihat selengkapnya