Iqro

Xie Nur
Chapter #27

Godaan Si Lajang

Rak Ke-27

Depan Perpustakaan Iqro semakin terlihat asri. Keteduhan semakin tercermin pada plang bertuliskan Perpustakaan Iqro. Sederhana namun mempunyai banyak kisah terpendam. Memberi aura sepi tetapi hidup.

Saat aku sedang memandang keluar melalui pintu kaca, berkas wajah kecewa tampak tersirat dari satu wajah yang telah rutin mengirimi bunga krisan sebulan sekali. Dia mendatangi Ibu yang sedang menyirami bunga dan aneka tanaman di depan.

“Mbak, krisan saya jadi tersaing dong kalau ada banyak bunga krisan lain.” protesnya pada Ibu.

“Sebaiknya memang tidak usah memberi bunga lagi pada saya,” kata Ibu santai. “Lagipula ini bunga gerbera bukan krisan seperti yang sering kamu kasih ke saya.”

“Apa pun itu, bunga krisan yang saya kirim mewakili perasaan saya pada Mbak Nove.”

Ibu tersenyum. “Kamu ini, saya bukan ibu kamu lho.”

“Ah, Mbak Nove tidak mau mengerti saya,” ucapnya langsung berlalu pergi.

Ibu memandang kepergian Kak Hendi sambil mengangkat bahu. Urusan depan perpustakaan selesai, Ibu segera merambah area dalam. Mengelap rak dengan kanebo basah, menyapu, dan mengepel lantai. Setelah mandi dan sarapan, tepat pukul delapan Perpustakaan Iqro resmi buka. Tulisan closed berganti label open.

Satu dua pelanggan berdatangan. Ibu selalu menyambut mereka dengan senyum renyah penuh kehangatan. Tidak heran jika banyak anggota perpustakaan menjadi tidak sungkan untuk bercerita aneka peristiwa atau masalah yang telah atau sedang menimpa.

“Permisi!” sapa seseorang bersamaan dengan suara pintu terbuka.

Seorang pria berumur 30-an akhir masuk tanpa melepas sepatu. Ibu mengernyitkan kening. Seutas senyum terulas seiring teguran halus.

“Oh, maaf. Tidak ada tulisan untuk lepas sepatu?” ucapnya sambil melepas sepatu di depan pintu.

“Ada.”

“Ups! Saya tidak melihat.”

“Silakan.” Ibu mempersilakan tamunya untuk melihat-lihat. Tapi tampaknya dia tidak tertarik mendatangi rak buku yang ada.

“Dari Toko Buku Cahaya, Yatno.” ucapnya seraya mengulurkan tangan. Ibu menyambut jabat tangannya. Sedetik kemudian matanya telah berputar ke seluruh rak. “Biasa beli buku di mana?”

“Saya biasa ambil dari Toko Buku Agency untuk komik. Kalau novel, tergantung mana yang memberikan diskon lebih banyak.”

“Bagus kalau gitu, toko buku kami menyediakan semua yang berdiskon. Komik dan novel berdiskon. Jadi misal, Mbak siapa?” Telapak tangan orang itu membuka menghunus ke arah Ibu.

“Nove,” tanggap Ibu serta merta.

“Mbak Nove kalau butuh buku bisa menghubungi saya, delivery order pula,” tawarnya sambil menyodorkan kartu nama.

“Dapat diskon berapa?” tanya Ibu setelah membaca sekilas kartu nama berwarna emas itu.

“Lima belas persen.”

“Ouh, di Toko Buku Agency kasih 20% lho,” tanggap Ibu tersenyum. “Novel juga di Toko Buku Soerya, kadang beri dua puluh persen juga.”

“Begitu,” Tangannya menopang dagu. Ini perpustakaan baru ya?” ucapnya kembali memandang berkeliling. Seolah mengalihkan topik per-diskonan yang semula dia tawarkan dengan lantang, ternyata menemukan lawan yang lebih kuat. “Lukisannya bagus,” tunjuknya tersenyum menatap Ibu.

Customer yang memberi,” balas Ibu ikut memandang lukisan yang terpajang di sisi tembok kanan Ibu.

“Pelanggan fanatik ya, atau justru penggemar Mbak Nove?” Senyum penuh godaan mengincar Ibu. Aku tidak suka caranya menatap Ibu.

“Pelanggan fanatik, tidak juga, dia hanya suka buku-buku fantasi. Jadi bisa dibilang jarang datang kemari. Kami sudah buka hampir tiga tahun lho,”

“Oh benarkah?” decaknya. “Berarti yang kedua?” ocehnya tak terlalu jelas kemudian.

“Lukisan itu selain untuk pajangan juga sebagai sarana promosi siapa tahu ada yang berminat. Apa Pak Yatno tertarik, nanti saya pesankan.”

“Harga berapa?”

“Tergantung pesanan. Sulit tidaknya permintaan. Kisaran 200 ribu sampai satu juta saja.”

“Pelukis amatir ya.” dengusnya terkesan meremehkan.

“Tapi lukisannya benar-benar bernyawa. Tidak bisa dibilang amatir menurut saya.”

“Baiklah, sepertinya dalam hal ini saya tidak ada saingan.” gumamnya. “Ah, soal buku. Akan saya diskusikan dengan bos. Siapa tahu bisa menyesuaikan pasar memberikan diskon sampai 20%. Mbak Nove pasti mau dong ambil di toko saya.”

“Insya Allah. Bagian delivery order menjadi daya tarik terutama novel.”

“Benarkah, kalau saya bagaimana? Apa saya juga menarik?” Satu pertanyaan ambigu yang membuatku memanyunkan mulut.

Ibu hanya tersenyum menanggapi celotehan Pak Yatno yang menjurus tidak sehat. Aku tidak suka gayanya yang sok kegantengan, sok menarik, dan sok bakal berhasil merebut hati Ibu yang telah menjadi milikku.

Untung segera datang Kak Bianca yang tanpa basa-basi langsung menyeruak di antara keduanya.

Lihat selengkapnya