Iqro

Xie Nur
Chapter #30

Tukang Parkir Jenius

Rak Ke-30

Menurut Ibu, anggota nomor 162 berprofesi sebagai tukang parkir depan toko buku langganan Ibu khusus untuk pembelian novel, Toko Buku Sabana, yang baru Ibu temukan keberadaannya, dan berani memberikan diskon lebih banyak dari toko buku yang lain.

Si nomor 162 penasaran karena Ibu sering datang ke toko tersebut dan selalu membeli banyak buku. Mungkin si nomor 162 mengira Ibu seorang maniak buku yang mendekati taraf kegilaan.

Obrolan terjadi. Om Bunto pun menjadi antusias begitu tahu Ibu punya perpustakaan. Pada malam hari sesudah Magrib dia benar-benar datang sesuai janjinya.

Rak yang selalu rutin dia datangi bagian sosial politik kadang merambah ke area buku motivasi. Jika dia sudah mulai mengobrol dengan Ibu bicaranya sering meledak-ledak kala mengkritik jalannya roda pemerintahan sekarang.

“Saya heran, maaf sebelumnya. Jarang sekali tukang parkir yang konsen hal-hal berbau politik.”

“Ini bawaan lahir.” ujar Om Bunto terkekeh sambil mengusap rambutnya yang terikat ekor kuda ber-highligt putih alami.

“Pengetahuan tentang perpolitikan dan teori-teori kebijakan pemerintah sangat mengagumkan. Saya kadang tidak mengerti saat membaca buku-buku sosial politik macam itu.” balas Ibu sambil menggelengkan kepala tanda kagum.

“Buku memberi segalanya. Saya juga baru sadar setelah saya bekerja sebagai tukang parkir depan Toko Buku Sabana. Kadang saya iseng meminjam buku yang memang tersedia bagi pelanggan yang ingin tahu isi buku yang akan dibeli.

Padahal saat masih kuliah dulu, buku cuma saya jadikan alas kepala. Otak tolol saya mengharap jika tidur berbantal buku, maka semua isi buku akan langsung terserap,” tawa membahana memburai seolah tanpa beban. “Intinya saya dulu paling malas belajar.”

“Mas Bunto lulusan mana?”

“Saya lulusan SMA.”

“Serius? Tadi bilang kuliah.”

“Iya, kuliah saya tidak kelar. Keburu kawin paksa, punya anak. Kuliah makin amburadul terus dapat surat DO.”

“Sayang sekali, kenapa tidak melanjutkan kuliah lagi?”

“Uangnya nggak sampai. Lagipula, saya harus menafkahi anak dan istri. Orang tua lepas tangan.”

“Perlu Mbak ketahui, dulu saya tidak berminat masuk kelas kuliah karena saya menyukai arena belajar di lapangan.”

“Maksudnya?”

“Saya dulu juga tukang demo. Koordinator demo malah. Kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan pemerintahan kami langsung beraksi. Asyiknya lagi kalau ada yang memberi uang untuk berdemo. Lumayan, buat jajan satu minggu.”

“Jadi, demo yang Mas Bunto lakukan untuk membela rakyat kecil atau demi segenggam uang?”

“Kalau saya demi dua-duanya.” Tawa Om Bunto yang seperti raksasa muntah lagi.

“Tapi jika demo berakhir dengan anarkhis tidakkah itu justru meresahkan masyarakat yang katanya kalian bela?”

“Dulu itu sama sekali tidak terpikir. Kami hanya peduli aspirasi kami harus mendapat tanggapan dari pejabat di sana. Kalau mereka bergeming, yang terpikir oleh kami adalah melakukan tindakan yang bisa mencuri perhatian lebih dari mereka.” tandas Om Bunto sambil mengangguk-anggukan kepala samar.

“Akan semakin merugikan negara jika merusak fasilitas umum, kan? Dana yang seharusnya bisa untuk menambah kesejahteraan rakyat jadi berbelok untuk memperbaiki kerusakan tersebut.”

“Itu masih lebih baik menurut saya, masih dimanfaatkan untuk masyarakat lagi, daripada uangnya buat keroyokan bagi-bagi antar pejabat.”

“Tapi, tetap sayang kan, sebelum sempat diperbaiki, tetap masyarakat yang rugi saat itu juga serta aktivitasnya terganggu.”

“Namanya aja orang kepanasan, lapar, haus. Setan gampang masuk. Seperti itulah.”

“Saya pernah membaca buku Catatan Seorang Demonstran, Soe Hook Gie. Dalam buku itu tertulis banyak para mantan demonstran yang pada akhirnya menjadi pejabat tinggi negara. Menurutmu gimana? Padahal sekarang mereka juga yang didemo. Mungkin kamu bisa jadi pejabat lho misal kamu tetap melanjutkan kuliah.”

Lihat selengkapnya