Rak Ke-31
Semenjak Tante Desti meninggalkan Perpustakaan Iqro guna menyongsong kehidupan yang baru di kota Jakarta, perpustakaan kembali terasa lengang. Padahal tadinya aku tidak suka dengan kedatangan genk Ibu, tetapi lama-lama aku menjadi suka dengan kehadiran mereka. Ada warna baru yang merasuk dalam jiwa Ibu juga Perpustakaan Iqro waktu itu. Sebuah rona persahabatan yang menghidupkan.
Sekarang sahabat Ibu yang kadang datang hanya Tante Gita. Itu pun untuk mengecek tanaman hiasnya dan keperluan bisnis semata. Tante Vittra pun selepas menikah dengan bule Australia segera terbang ke negeri kanguru untuk menetap di sana.
Ah, bias wajah Ibu pun tampak kosong meski senyumnya masih mengambang di antara sorot mata kesepian. Hingga suatu hari wajahnya kembali berbinar manakala ada seorang teman SMA Ibu mengontak ingin datang ke Perpustakaan Iqro.
Untuk selanjutnya teman Ibu yang ternyata sedang mengambil kuliah S2 sering bertandang, memakai perpustakaan sebagai tempat transit sebelum jam kuliah mulai. Jadwal kuliahnya setiap Kamis, Jumat, Sabtu sore.
Oh ya, teman Ibu satu ini sudah bekerja sebagai PNS di salah satu Puskesmas yang ada di Banjarnegara sana. Profesinya perawat gigi yang katanya sudah seperti dokter gigi. Hal itu terjadi karena di Puskesmasnya tidak ada dokter gigi.
“Bukan cuma sekali Ve, aku dijodohkan. Sampai bosan aku,” kata teman Ibu yang memiliki kulit putih pucat. Di pipinya ada semburat kemerahan yang sepertinya menetap.
“Lalu apa yang kamu cari?” tanya Ibu tidak mengerti.
“Kamu tahu ada sesuatu yang mengganjal di hati. Seseorang yang dulu.” ungkap teman Ibu yang bernama Kiran, dan berciri lain memakai kerudung lebar melebihi kerudung Ibu yang hanya menutup dada.
“Kukuh?” tebak Ibu.
Tante Kiran tersipu-sipu. “Begitulah.”
“Aku kira kamu dulu tidak serius suka.” Wajah Ibu berkerut-kerut.
“Intinya aku tidak mungkin pacaran dengannya.”
“Oh.” balas Ibu.
Menurut Ibu, sewaktu SMA dulu Tante Kiran termasuk minoritas yang memakai kerudung. Pacaran bagi cewek berkerudung pun menjadi sesuatu yang tabu. Tidak seperti sekarang, hampir mayoritas wanita Indonesia mengenakan hijab, meski separuh lebih pemakainya hanya karena mengikuti tren. Tidak heran jika gaya hijab yang mereka kenakan sering tidak syar’i. Masih menonjolkan aurat meski kepala tertutup kain. Masih bebas berpelukan dengan cowok yang bukan mahram.
“Beberapa waktu lalu aku ketemu dia lagi lewat FB. Dan, perasaan dulu, entah kenapa sekarang semakin menguat. Padahal aku sedang dijodohkan sama orang. Belum ketemu sih, makanya besok aku mau mencari tahu orangnya. Kamu bisa temani aku?”
Ibu membelalak, lalu menggelengkan kepala.
“Bukan ngapeli, aku cuma penasaran. Kita main jadi mata-mata. Seperti agen spy.” Saat mengatakan itu Tante Kiran tampak berkilauan. Ada semangat yang aku tidak tahu, semangat untuk apa. Mungkinkah karena dia akan bermain sebagai pengintai?
“Aku hanya bisa menjanjikan hari Minggu.”
“Aku juga bisanya Minggu, sore oke?”
“Hmm, baiklah,” sahut Ibu setelah menimbang. “Mungkin paginya aku bisa buka perpus dulu.”
Lalu pada Minggu berikutnya Ibu dan Tante Kiran sudah keluar dengan motor. Aku tidak tahu pasti yang akan mereka lakukan. Namun berdasarkan cerita Ibu, mereka mencari rumah pria yang hendak dijodohkan dengan Tante Kiran.
Menurut Ibu, ada cerita lucu yang terselip saat pencarian. Karena keduanya tidak tahu rumah si calon jodoh, bertanyalah Ibu pada salah seorang warga. Yang mengejutkan adalah ternyata yang ditanyai malah ibu si calon jodoh. Sempat salah tingkah, bingung menentukan langkah. Ibarat pencuri mereka ketahuan sebelum berhasil mengambil barang.
Untungnya orang yang bersangkutan sedang tidak ada. Jadi Ibu dan Tante Kiran bisa langsung berpamitan sebelum ketahuan sama Kadar, nama pria yang akan dijodohkan dengan Tante Kiran. Berdasarkan cerita Ibu lagi, sepanjang jalan dia tidak bisa menahan tawa. Bayangkan, maksud hati hanya ingin memata-matai dari jauh, eh, malah ketahuan pemilik rumah. Parah!
Kamisnya Tante Kiran datang lagi buat rehat sejenak sebelum masuk kelas kuliah. Seperti biasa, Tante Kiran akan berganti baju dengan setelan ala mahasiswa pada umumnya. Yang semula baju dinas atasan lurik berganti menjadi kulot dengan saku di kanan kiri lutut. Kulot model army tersebut berpadu dengan tunik motif garis-garis hitam.
Keduanya lalu membahas kembali kejadian lucu bin ajaib minggu yang lalu.
“Selanjutnya bagaimana?”
“Malamnya dia datang ke rumah.”