Iqro

Xie Nur
Chapter #32

Pelarian

Rak Ke-32

 Melihat keakraban Kak Lita dan Kak Uta selalu membuatku iri. Meski penampilan mereka sangat berbeda, seperti tidak satu frekuensi. Keduanya sering saling menyanjung satu sama lain. Terlihat kompak di antara perbedaan yang mencolok.

Kak Lita berkulit hitam manis, rambut panjangnya selalu tergerai seperti benang sutra. Perangai Kak Lita halus gemulai. Ibarat menginjak tahi cicak, maka tahi cicak itu tidak akan gepeng atau meleber.

Sangat bertolak belakang dengan Kak Uta yang berkulit putih, mempunyai rambut ikal tidak melebihi leher. Soal gerak tubuh, Kak Uta lebih terkesan urakan terlihat dari celana jeans yang robek-robek, berpadu dengan kemeja yang tidak pernah di kancing yang menampilkan kaos bergambar tengkorak. Tutur katanya juga patah-patah tidak tertata seperti Kak Lita yang pandai memilih kata yang indah.

Soal tinggi badan keduanya juga terlihat timpang. Kak Lita tinggi bak model catwalk, sementara Kak Uta tingginya hanya sebahu lebih sedikit dari Kak Lita. Memang persahabatan tidak memilih berdasarkan tinggi badan. Tetapi terkadang ada juga yang pilah-pilih demikian.

Ngomong-ngomong, Ibu dan tante rempong memiliki tinggi yang hampir setara lho. Kutaksir kisaran tinggi mereka antara 160-an sentimeter, bisa kurang bisa lebih. Paling selisih satu angka naik atau turun. Jadi curiga jangan-jangan mereka berteman karena tinggi badan mereka yang seimbang.

Seandainya aku punya sahabat baik seperti tante rempong, atau Kak Uta dan Lita. Eh, aku kan punya Ibu. Bukankah Ibu segalanya bagiku. Selain telah membuatku hadir di bumi, dia juga menjadi sahabat terbaikku. Dia selama ini yang paling mengerti aku. Meski keakraban kami dengan kedua kakak itu jauh berbeda.

Lihat, mereka bahkan sering memanggil satu sama lain dengan panggilan ‘beb’. Tidak biasa memang, tapi bukankah itu menunjukkan keakraban yang mendalam. Tapi Kak Arisa tidak setuju dengan pendapatku.

“Persahabatan mereka tidak wajar,” kata Kak Arisa selepas pasangan sohiban itu keluar.

“Tidak baik ber-ghibah,” tegur Ibu.

“Tapi Mbak, ada sesuatu antara mereka. Saya mencium seperti ada bau-bau asmara.” Kak Arista yang suka mengkuncir rambutnya tinggi mengenduskan hidungnya.

“Tidak baik berpraduga buruk,” pertegas Ibu.

“Kita lihat saja Mbak, kalau intuisi saya benar.” Kak Arista tidak mau mendengarkan saran Ibu agar tidak gampang suudzon.

“Intuisi detektif?” Ibu mencandai Kak Arista seiring senyum yang meleleh.

“Kurang lebih.” Kak Arisa membalas dengan cengiran lebar. Matanya yang kecil makin menyabit.

“Atau karena kebanyakan baca komik detektif?” goda Ibu seolah ingin mengalihkan perhatian

“Ah, Mbak ini. Eh, Conan kenapa lama banget sih seri barunya. Penasaran nih? Padahal sudah menjurus ke kelompok berbaju hitam, tapi masih saja diulur ke kasus lain. Kalau saya bukan penggemar fanatik, pasti sudah saya tinggalin nih Conan. Nggak selesai-selesai.”

“Ini masih mending, Fight! Ippo sudah masuk seri ratusan.”

“Masa sih?”

“Lihat saja sendiri di rak.”

“Percaya,” tanggap Kak Arisa cepat. “Ada lagi nggak sih, komik detektif yang lebih bagus dari Conan.”

“Saya agak membatasi komik detektif khususnya yang menangani kasus pembunuhan. Takut ada yang meniru. Saya tetap mempertahankan komik ini karena beberapa kasus Conan bukan kasus pembunuhan. Meski demikian tetap saja miris kalau ada anak yang baca. Kalau seri Conan belum telanjur banyak, pasti saya tidak mengikuti.”

“Buat saya ini buat bahan pembelajaran. Tapi bukan dari sisi negatifnya lho, lebih pada sisi positif mencoba lebih peka terhadap suatu kejadian atau peristiwa di sekitar. Ingin buka biro detektif nih, kayak ayahnya Ran, Kogoro Mouri si Kogoro tidur.”

“Kamu bisa berkolaborasi dengan Toro, dia juga mau buka biro detektif kalau enggak lolos jadi jaksa. Bisa jadi ladang pekerjaan bagi kalian berdua.”

“Toro?”

“Mau ketemu?”

“Ini perpus atau biro jodoh?” Kak Arisa menggosok hidungnya, setelah melakukan gerakan seperti mengendus.

Ibu tertawa. “Siapa tahu kalian cocok dalam hal penyelidikan kasus, tentu.”

“Semoga,” gumam Kak Arisa lalu melihat jam dinding yang ada di belakangnya. “Saya pulang Mbak!” pamitnya kemudian sambil membawa dua buah komik detektif jadul Heracles.

 

***

 

Lihat selengkapnya