Iqro

Xie Nur
Chapter #34

Wawancara Memikat

Rak Ke-34

Orang yang kemarin minta izin memotret acara Ibu, siang ini datang lagi. Kali ini kedatangannya untuk mewancarai Ibu. Ternyata dia seorang wartawan.

“Ini cukup mengherankan masih ada perpustakaan sewa yang masih hidup. Sudah sangat jarang sekali bukan yang punya kegemaran membaca.”

“Iya, memang sudah langka. Banyak yang sudah tutup buku,” tanggap Ibu.

“Kenapa Perpus Iqro masih bertahan?” tanya si Om Wartawan sambil mengecap rasa tidak percaya.

“Karena saya cinta buku. Bekerja dengan buku-buku membuat hidup saya bergairah.”

“Kenapa tidak bekerja di toko buku terkenal? Masih dekat dengan buku bukan?”

“Kalau hanya menjual tidak ada unsur berbaginya. Meski saya masih menyewakan buku yang ada di sini, setidaknya harga sewa yang saya tawarkan tidak mahal. Sangat terjangkau bagi yang mungkin ingin membaca buku tapi terhalang biaya.”

“Kenapa tidak menjadi perpustakaan sosial sekalian?”

Pertanyaan menggelitik dari Om Wartawan membuat Ibu menarik kerudungnya ke belakang. Dahi Ibu yang semula terlihat seperti bulan sabit, kini menjelma bulan setengah.

“Kelak, akan sampai pada masa itu. Sekarang, uang sewa dari anggota juga kembali dalam wujud buku. Kalau boleh saya bilang, dari mereka untuk mereka juga. Buku saya beli dari uang sewa yang mereka bayarkan, kemudian mereka juga yang membaca buku hasil dari uang yang mereka bayarkan secara rombongan.” Mata Ibu menerawang ke arah kaca depan perpustakaan.

“Boleh juga.” Om Wartawan manggut-manggut.

“Baru kali ini saya cetuskan misi Perpus Iqro yang sebenarnya. Mungkin banyak yang mengira ini bisnis murni, sejatinya tidak demikian.” Ibu menghela napas. “Bagi para pebisnis tentu akan mencemooh, betapa tidak menguntungkan berbisnis persewaan buku yang kini semakin punah. Saya hanya berharap ini bisa menjadi kebun surga bagi Ibu saya.”

“Oh ya,” Om wartawan itu mengernyit heran. “Lalu untuk hidup sehari-hari? Maaf saya tanyakan ini. Saya lihat Mbak tidak ke mana-mana selain di sini menunggu perpus ini.”

“Alhamdulillah, saya dapat honor penulisan dari novel online. Belum lama sih, baru satu tahun ini. Sebelumnya saya mengandalkan uang tabungan saya untuk hidup sehari-hari. Dulu saya pernah bekerja pada salah satu bank syariah. Hanya bertahan dua tahun. Setelah nenek saya meninggal, saya memutuskan keluar dan memulai hidup baru, memulai usaha baru dari uang jerih Ibu. Tidak tahu malu sekali saya ini ya?”

Lihat selengkapnya