Rak Ke-35
Sore hari selepas Om wartawan datang untuk mengobrol dan membaca buku, Tante Gita datang. Tepatnya kunjungan rutin mengecek barang dagangan. Setelah memastikan bahwa tanaman bunga di depan Perpustakaan Iqro aman, dia segera masuk menyusul Ibu ke dalam.
“Ve, apa menurut pendapatmu tentang Rijal?” tanya Tante Gita dengan tatapan yang seperti ingin mencongkel mata Ibu.
“Ada apa nih?” Ibu menjengit curiga. Bahkan tangannya sampai terangkat menghalangi pandangan Tante Gita.
“Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh!” Tante Gita mengetuk kepala Ibu pakai kertas yang dia pilin-pilin. Kertas yang berisi katalog buku, yang kondisinya sudah agak lecek, bakal tambah berkerut-kerut.
“Enggak...” sahut Ibu mengelus kepalanya. “Menurutku dia orang yang baik, sabar, ulet dan agamanya juga baik.”
“Betul itu. Aku juga berpikir begitu. Dan menurutku dia itu cocok denganmu.”
“Apa?” Ibu sangat terkejut mendengar pernyataan Tante Gita. Matanya sampai membelalak nyaris melontarkan bola mata.
“Dia ingin ta’aruf sama kamu.”
“Kamu juga buka usaha Biro Jodoh?” Kening Ibu berkerut-kerut. Tangannya lalu merebut katalog buku yang seharusnya sudah Ibu ganti.
“Kamu tidak suka?”
“Bukan begitu, tapi...” Ibu menunduk tidak melanjutkan perkataannya. Kesepuluh jarinya mulai menyetrika katalog buku agar tidak melengkung bergulung lagi.
“Kalau ada yang baik datang, kenapa langsung kamu tolak. Coba kamu kenali dulu,” putus Tante Gita.
Penjelasan Tante Gita selanjutnya membuat Ibu makin diam berpikir lama.
“Bagaimanapun kalian punya banyak kesamaan. Pertama buku, lalu kalau boleh aku tebak kamu dan dia punya keinginan sama menjalani pernikahan tanpa proses pacaran, benar? Dan aku pikir kalian bisa cocok karena memiliki pemahaman agama yang baik.”
“Untuk yang terakhir aku tidak sepakat. Aku masih carut marut dalam urusan agama, Git. Masih belajar. Kamu tidak tahu, aku hanya seorang yang munafik.”
“Oke, siapa tahu dia bisa membimbingmu. Kalau kamu merasa demikian.”
“Aku pikir-pikir dulu ya,”
“Dia akan bersedia menunggu.”
“Sobatku satu ini sungguh hebat! Sekarang jadi mak comblang pernikahan?” Ibu tergelak dengan suara yang dibuat-buat.
“Dan temanku ini, kapan akan memikirkan tentang pernikahan? Tak baik menunda pernikahan.” balas Tante Gita. “Mumpung ada yang berkualitas. Jangan sampai menyesal.”
“Ada sesuatu, Git. Aku…” Ibu mendadak tercekat.
“Ada seseorang yang kamu suka?” Tante Gita memperhatikan roman Ibu yang tampak bersaput merah jambu.
Ibu menggelengkan kepala pelan. “Bukan, aku hanya belum siap secara lahir dan batin,” balas Ibu sambil menghela napas.