Irama Bulan

Ilestavan
Chapter #2

01 | Cari Visual

Sinar matahari menerobos melalui celah jendela. Aku terbangun dengan badan pegal-pegal. Setelan piama masih melekat di tubuh. Aku belum mandi.

"Siapa yang peduli?"

Burung-burung bekicau berirama seiring aku beranjak dari kasur, kaki kuayunkan menuju kamar mandi, memasukinya, bersama detak jam mengiringi. Setelah beres mandi, aku ...

"Keluar kamar. Sarapan, atau sapa ayah ibu dulu?" Wirama geleng-geleng kepala, lantas melempar kertas folio yang dijilid rapi itu ke sisi meja. Tolong, ini bukan lagi di tahun Esia Ngoceh.

Bosan periksa naskah yang menumpuk, belum lagi Wirama pening, ia beralih mengecek surel. Naskah yang masuk ke penerbit Vellichor berupa softcopy juga banyak. Sedikit semangat tersisa, Wirama tetap harus fokus, tidak boleh goyah demi menemukan sesuatu yang akan membuatnya berdecak kagum dan menyerukan kata 'eureka!'.

Beberapa saat menatap layar, Wirama terpukau oleh salah satu sinopsis. Yas! Mari kita cek isinya.

Halaman satu, halaman dua, halaman tiga ... Wirama kian semangat, menyimpan harapan besar sebab karya yang dibaca mampu membuatnya betah. Tentu, sebelum harap itu menjadi bola-bola sabun yang gagal jaga jarak dari benda sekitar.

"Nunik duduk di meja restoran padang samping Deno, menatap ikan kakap bumbu kuning yang meningkatkan selera." Lantas Wirama tertawa. Telunjuknya tangkas menekan salah satu tombol papan tik komputer. Otomatis naskah tadi tersingkir dari pandangan.

"Duduk di meja, ya?" Sungguh, Wirama ogah meneruskan baca alias mengeliminasi satu cerita. "Di mana sopan santunnya duduk di atas meja? Kalau emang lu sengaja deskripsiin Nunik duduk di meja, nggak ada narasi Nunik nempelin kepala ke meja sambil ngerengek minta kakap lagi, 'kan? Ini si Nunik kucing apa gimana?"

Seharusnya itu cuma masalah kecil dalam tulisan. Jelas, bisa saja Wirama memberi ampun dan menyeleksi ke tahap selanjutnya. Toh revisi sedikit tidak rugi, terlebih bukan naskah hardcopy. Namun, sayang sekali naskah penulis itu bertemu Wirama saat dia sudah lima jam duduk melototi gabungan aksara. Pun, Wirama selalu tidak bisa menoleransi bolongnya logika.

Ampun deh, padahal naskah yang masuk tak terkira, tapi hanya sebagian kecil yang layak baca. Sisanya? Seperti sapi kurang gizi. Wirama pusing, butuh kopi. Memijat-mijat dahi saja tidak cukup.

"YA GUSTI!" Memekik, Wirama terduduk lagi padahal baru saja berdiri.

Muka tegang, tatapan ngeri. Reaksi Wirama mengundang tawa sosok di seberang terhalang meja kerja yang amat berantakan.

Seonggok manusia itu ....

"Heh. Loo ... lo mau gue mati muda? Ada dendam apa sih sama gue?!" Suasana hati Wirama sudah runyam, terus ditambah lagi sama itu makhluk satu: Sabit.

"Kalo Tuhan ngizinin lo mati sekarang, mau gimana, 'kan? Tapi jangan dulu lah. Gue masih butuh lo soalnya."

"PRET!"

Mulai duduk normal dengan tulang punggung menegak, Wirama memperlihatkan betapa berkarismanya dia sekaligus mengingatkan si gadis bahwa 'ini wilayah kekuasaanku' melalui ekspresinya.

"Ngapain lo ke sini?"

"Seneng kek, secara eksklusif gue nyamperin, terus gue nyaksiin lo ngedumel sendiri, heboh sendiri."

"Lo nggak tau gimana ruwetnya ngadepin naskah yang sinopsisnya kategori C tapi pembukaan K, 'kan? Lo juga nggak tau gimana ekspektasi terpental waktu baca isi cerita yang misgenre. Terus, pernah lo duduk di atas meja sambil makan? Logika mereka pada masuk pegadaian kali."

"Pedes amat Bang mulutnya," ejek Sabit, ia bahagia sekali mengetahui Wirama hampir gila karena naskah. Padahal penulis juga tak kalah menggila saat menulis cerita-cerita itu kendati akhirnya 'dibuang' sama editor—semacam Wirama.

"Kali aja itu penulis saking gede imajinasi. Maklumin aja kenapa."

"Tapi logika juga mesti main, Mbit. Waktu yang mereka punya buat ngadon cerita bukan cuma nulis, tapi juga baca ulang, revisi. Jeli dikit dong!"

"Biasa aja, Tiram!" Bikin kaget Sabit suara Wirama tuh.

Sabit jadi merasa ia pengarang yang menulis semua kesalahan-kesalahan itu, dan Wirama melampiaskan kekesalan seenaknya.

"Cara kerja lo tu lucu sekaligus ngeselin tau nggak."

"Ngeselin buat calon penulis Vellichor, lucu anggepan lo?"

Mau menyembur gelakak buat meledek Wirama barusan, Sabit jadi lupa. Menemukan sorot Wirama, itu seperti tembakan paling jitu mengundang banyak pesona, dan sialnya Sabit juga nyaris masuk dalam keterpesonaan. Beruntung Wirama bicara lagi, jadi takkan ketahuan kalau Sabit sempat salah tingkah.

"Jadi perlunya lo apa ke sini?"

"Oooo ituuuu!" Sambil menarik seluruh ingatannya tentang niat awal ia menyambangi ruang kerja Wirama, Sabit berdeham sebentar, basa-basi.

"Bantu gue cari visual."

"Buat apaan?"

"Novel gue lah."

"Emang novel lo mau dijadiin film apa pake visual segala?"

"Ya enggak. Biar gampang aja ngebayanginnya."

"Gaya lo!"

Tidak apa. Sabit sudah kebal kok sama semua kata-kata tombak Wirama yang suka dipakai buat kasih saran dan kritik ke calon penulis.

"Plisssss. Gue belum bisa bayangin karakter cerita yang mau gue eksekusi, Ram. Dari dulu, waktu gue masih aktif nulis fanfik, gue sukanya kasih visual ke pembaca. Nah sekarang, gue kepingin majang itu visual di meja kerja gue biar kebayang, kerasa gitu. Meresap. Lokalo novel gue ini kelar, Buvin pasti seneng gue udah nelur karya lagi sebelum dia perintah." Terus cepet dapet royalti.

Lihat selengkapnya