Irama Bulan

Ilestavan
Chapter #3

02 | Kepalang Reuni

Tak ada yang sempurna ... paripurna ... Wirama memaksakan senyum, kaki melangkah tenang ke arah gadis belia, punya surai pendek, alisnya tipis melengkung, mata ... ck. Mengapa dari sekian banyak jenis mata, mesti yang sayu kayak habis menangis atau sedang sakit? Dasar Sabit ilang waras! Rasanya tidak puas jika belum memaki, persetan kalau hanya mampu dalam hati.

Sambil pelintir janggut, satpam di pos menampak satu-satunya orang berpakaian nonformal antara banyak murid yang keluar masuk ke dalam sekolah.

"Dek, minta fotonya dong."

"Berani berapa?"

Tidak bertanya untuk apa, atau normalnya remaja perempuan takut jika orang tak tahu asal dari mana ujug-ujug minta foto diri, ini justru wow sekali. Wirama salut dobel belut.

"Berapa aja."

"Oke. Satu kali foto lima puluh ribu."

Wirama setuju. Tanpa basa-basi, tanpa mantra-mantra berarti, dia memotret sang gadis usai si empunya memisahkan diri dari dua orang teman berwajah ingin tahu.

Gerakan Wirama hati-hati memosisikan ponsel, tahan napas, jangan sampai buram. Baiknya, kamera ponsel memahami pemilik. Kalau tidak hati-hati, bisa ulang dan lima puluh ribu Wirama terbang tanpa bisa digapai.

"Penggemar aku, ya? Dari mana?" Gadis itu bertanya centil khas remaja usai menerima uang dua puluhan dan selembar sepuluh ribu dari Wirama.

"Pikiran kamu." Lalu dia pergi. Sementara si gadis girang berlebihan; bukan semata-mata uang yang dipegang, ia menganggap kecantikannya ternyata populer sampai luar sekolah. Bikin plus kadar kepercayaan diri saja.

Iya, semua selancar jalan raya habis dicor semen harga langit kalau pakai duwit, dan Wirama sukses memotret gadis bermata sayu. Gerbang tinggi sekolah yang tertutup setengah menjadi pelengkap latar.

~''~

Sabit mampu menjaring nilai buruk yang dirinya punya, tapi ketika dipikirkan apa nilai bagusnya, ia cuma menitik pulpen di atas kertas putih pulang-pulang. Sungguh tidak menghasilkan kata apa pun.

Beralih mengambil ponsel, Sabit menuju aplikasi obrolan dan sudah berada dalam ruang chat pribadi ke kontak Wirama. Barangkali pakai bolpoin tidak bisa, kalau mengetik, lancar? Persetan kalau lelaki itu menyuruhnya tulis tangan.

Sudah akan merangkai huruf, Sabit malah balik termenung. Ibu jari menekan tanda panah x papan tik virtualnya, padahal ia belum mengetik huruf apa-apa.

Di tengah frustrasi yang sedang melanda, satu pesan berhasil masuk. Tulisan itu terpampang jelas. Sangat jelas sampai Sabit harus mengernyit.

UNDANGAN REUNI ALUMNI SMA ...

Lantas isinya menyumbang energi Sabit, segar terlihat dari muka.

Tahun lalu boleh jadi Sabit enggan datang ke reuni yang isinya bukan menyambung silaturahmi justru pamer kehidupan dan tertawa bahagia seolah-olah tidak punya beban. Sabit tahu kok, kalau semua orang punya kesusahan mereka sendiri, tapi dalam reuni semua orang seperti berlomba-lomba menonjolkan kelebihan, kebahagiaan, kesuksesan, keindahan, dan sudah bukan rahasia.

Sabit merasa, dulu dirinya banyak kekurangan. Tidak memiliki pekerjaan tetap. Masih menjadi penulis online yang tidak dibayar. Belum punya buku fisik yang mejeng di toko buku.

Sekarang?

Jelas. Ia sudah menjadi penulis Vellichor. Telah disahkan sebagai salah satu anggota penulis dalam naungan penerbit induk yang punya dua grup dan dua cabang di kota berbeda. Tidak ada kontrak. Selama mampu menulis, Vellichor siap menerima naskah Sabit. Novel fisik pertamanya sudah duduk di tengah deretan buku fiksi lain. Novel kedua pernah dicetak ulang sebab banyak peminat.

Tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Sabit berpenghasilan sekarang, dari karya-karya hasil jarinya pula.

Maka Sabit menanamkan niat berangkat ke reuni kala satu pesan dari nomor tidak tersimpan, yang tahun lalu juga mengirim pesan serupa berisi undangan reuni, menjadi notifikasi terakhir aplikasi obrolan sebelum Sabit memutus sambungan data.

Ah, ya. Jangan penasaran soal tahun lalu sudah mengadakan reuni dan tahun ini kembali diadakan, Sabit bahkan tidak tahu alasannya. Padahal satu kelas yang berisi dua puluh lima murid termasuk Sabit, tidak solid waktu SMA. Entah mengapa mereka suka bertemu teman-teman yang sejak awal tidak memiliki emosi kuat, yah ... selain teman sebangku, mungkin.

Soal nomor telepon, mereka masih berada di grup kelas yang sama walau tiap hari sepinya mengalahkan hati manusia kurang kasih sayang.

Nomor Sabit sejak sekolah tidak pernah ganti, makanya ia juga kena teror pesan pribadi reuni bercapslok tebal tadi. Mau lihat secara keseluruhan? Oke. UNDANGAN REUNI ALUMNI SMA NUSA INDONESIA KELAS XII MIPA C, kemudian di bawah tertera tempat serta waktu diadakan, dan pesan tambahan; kalo dari kalian tau nomor salah satu temen sekelas kita yang udah keluar dari grup ato ganti nomer, kasih tau mereka ya.

Membaca judul reuni, ada yang bikin Sabit sempat terpaku sebetulnya, dan selalu begitu; MIPA. Taburan ekspektasi orang sekitar sungguh di luar kendali Sabit. Rasa ingin menyoraki diri kalau diingat atau dikenang.

•••

"Mana?" Wirama mengetuk ujung meja, selanjutnya tangan dijulur arah Sabit yang tengah memandang penuh cinta pada layar komputer. Tidak merespons.

"Mbiiiit, astoge goreng! Gue dicuekin mulu ama luuu!"

"Paan sih?" Terpaksa berpindah pandang pada muka Wirama, tahu-tahu pemikiran betapa hebat Vellichor tercipta.

Gedung penerbit ini punya ruangan khusus penulis tetap, di dalamnya ada tiga sampai empat penulis, selebihnya terserah mereka mau di meja kerja atau di mana pun terpenting bisa menghasilkan tulisan bermutu. Tambah hebat, editor sini seenaknya masuk ruangan dan mengganggu penulis yang sedang berusaha menyalin ide ke bentuk tulisan.

"Daftar nilai pribadi lo. Nggak usah pura-pura bloon!" Wirama tidak sabar, masih memamerkan telapak tangan bak Sabit punya hutang jutaan sama dia.

Lihat selengkapnya