Menyakiti seseorang bisa saja semudah melempar batu ke laut, tapi pernahkah kau tau seberapa dalam mereka jatuh?
"Maksudnya pas jatoh ke lautnya?" Wirama jeda sebentar, ibu jari menekan layar ponsel sehingga tampilannya tetap di story Sabit.
"Ya sedalam lautannya lah. Rata-rata ... mari tanya nyai Google."
Lantas Wirama mengetik balasan kepada si yang punya cerita Whatsapp.
Boleh tolong cari kata kunci 'berapa kedalaman lautan'?
~"~
Di pagi yang tidak cerah, Sabit menolak sekolah.
Tidak, bukan soal langit atau matahari yang enggan menyemprotkan lebih cahaya, ini perihal anak yang baru menjejaki kelas empat tingkat dasar. Ia berjongkok di depan pagar rumah, menangis. Berharap sang ibu mau memahami situasinya sekarang.
"Memang kenapa sih? Kamu punya salah apa sampai nggak mau ke sekolah?!"
Teriakan itu bukan hanya menyentak Sabit, tapi juga hati kecilnya.
Sabit semakin waswas bicara, ia takut menambah kesal Ibu, beliau bisa-bisa berteriak lagi. Jadi pilihan anak berkucir dua rendah itu tetap menangis, tetap pada terpakunya diri tanpa mau beranjak barang satu senti. Sementara Ibu, menganggap Sabit sebagai anak keras kepala, mesti diberi pengertian dengan kata-kata bernada keras pula.
Tidak mau meladeni Sabit terlalu lama, Ibu segera cegat mikrolet—sebutan Ibu buat angkutan kota umum—yang akan membawa putrinya ke sekolah. Rumah mereka berhadapan jalan raya.
Jurus tangis Sabit naik tataran, terdengar jelas di telinga Ibu, tapi kukuh tidak memberitahu alasan yang bisa masuk di akal.
"Jangan macam-macam, Rembulan!" Menarik tangan putrinya guna berdiri, Ibu benar-benar habis sabar. Tidak tahu kalau sudah memberi banyak sopran tanpa melodi kepada Sabit.
Sopir angkot dan penumpang di dalamnya memerhatikan meski tak ingin ikut campur.
"Kamu telat nanti."
"Maa ...." Anak itu berganti merengek. Batik biru tua yang ia pakai basah keringat.
"Aku nggak mauuuu. Nggak mauu!"
"Kamu punya salah di sekolah?"
Sabit menggeleng kilat. Tangannya terus dituntun—ah paling tepat, diseret paksa, sampai lubang pintu besi berkarat sesudah menyeberang. Tidak banyak kendaraan bermotor jika masih pagi seperti sekarang.
"Kalau gitu cepetan naik."
Dengan gelisah, anak itu menurut juga, masuk dan menempelkan bokong sedikit macet sebab berdesak sama penumpang lain. Tugas terakhir Ibu; membayar ongkos kepada sopir sekaligus memberi tahu tujuan sekolah anaknya. Iya, Sabit tidak dibiarkan bayar sendiri. Uang saku dua ribu per hari, pulang dijemput sang kakak.
Kendaraan hijau bergaris merah mulai berangkat, menjauh dari kediaman Sabit sekaligus berdirinya posisi Ibu. Sabit menaruh atensi atas itu, semakin lama, refleksi beliau tidak terlihat. Maka semakin jauh, pikiran-pikiran buruk Sabit melalak, bikin ia tidak tenang.
Sabit ngeri menghadapi apa yang bakal terjadi. Skenario fiksi menghampiri, hujatan kepada diri terus terlontar. Sabit begitu berisik dalam pikirannya. Air mata yang sempat membanjir di pipi mengering, hanya hidung agak pampat. Namun, tak apa, suatu anugerah untuk sementara tidak bisa menghirup wewangian menyengat, minyak kayu putih atau keringat masam orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Sampai sekolah, anak-anak seangkatan Sabit terlihat sudah berkumpul di kelas, ramai. Giliran pikiran Sabit yang hening, tapi perasaan semacam itu masih terus merongrong.
Masing-masing dari mereka memegang parasut. Membicarakan dan memamerkan karya mereka. Sabit menunduk, berusaha menyeret kaki menuju mejanya.
Semakin tidak bisa tenang meski Sabit diam duduk. Jantung seakan-akan habis berlari dari rumah ke sekolah tanpa kendaraan. Itu terjadi terus sampai guru seni datang, memanggil satu per satu anak murid untuk memperlihatkan pekerjaan tangan mereka sesudah banyak bibir di satu kelas kompak mengucap salam.
Minggu lalu, Ibu Hani meminta anak muridnya bikin parasut.
"Kamu beli di pasar raya, ya? Ibu tahu lho. Bukan bikinan kamu sendiri."
Bocah lelaki berpipi gemuk cuma mesem. Anak-anak lain tertawa ... dan mungkin, Sabit tidak bisa hanya tersenyum begitu dalam kondisi serupa. Atau, lebih? Ia jadi terlalu sibuk meladeni perasaannya dibanding ikut tertawa kendati di depan sana ada semacam taburan komedi.
Ketika giliran Sabit, anak itu diam sebentar sebelum mengeluarkan kantong plastik hitam dari tas punggung.
Jalannya mirip siput, Sabit berharap bisa skip waktu sekarang ke waktu berikutnya saja.
Korona, kakak perempuan Sabit terlalu sibuk menekuri layar ponsel barunya kala ia minta tolong dibuatkan parasut. Ponsel dengan tombol fisik kecil dilengkapi kamera kotak di belakang terlihat keren. Tidak ada yang menyokong Sabit; melalui tindakan atau dukungan. Ibu apalagi, pasti Sabit malah disuruh mandiri, bakal dikata manja kalau apa-apa dibantu.
Seketika anak-anak mengakak—hampir semua—kala Sabit menampilkan prakaryanya. Ibu guru mengambil kantong plastik Sabit, memegang kedua ujung jinjingan yang diikat pakai benang baju. Itu sukses besar menghidupkan bayangan paling buruk dalam benak sabit selama perjalanan menuju sekolah tadi.
"Ini apa, Sabit?"
Alih-alih menyahuti itu, Sabit lebih ingin menjawab pertanyaan diri sendiri; perasaan semacam apa yang membakarnya sekarang? Benar-benar lebih dari malu!
Sabit tidak lagi dapat mengenali nama emosi yang sedang dialami. Paling pasti dalam keadaan kini, adalah suatu keharusan menyambung tangis yang tertunda dari rumah, dan keluar kelas saja.
Ibu Hani juga ikut menyembur tawa walau tidak sekeras teman-temannya.
Dalam persepsi Sabit, dirinya diejek habis-habisan.
Kepercayaan dirinya menciut. Minus, lantas semakin meninggalkan Sabit bersama dinding pertahanan yang tidak kokoh.