Terus berjuang,
sampai di titik kamu lupa bagaimana cara menangis soal luka,
bahkan ketika kamu tahu lagu dan puisi romansa tidak semanis merajut cinta.
Oleh Si Paling Kece
"Gesrek beneran." Sabit hanya membaca chat itu tanpa ada niat menimpali.
~"~
Moto Sabit yang Wirama ingat, tetap menghasilkan tulisan walau tangan keram, otak karam. Lalu yang Wirama dapati kini, Sabit mematung, layar komputer menonton tampang kerucutnya, jari tidak menari di atas papan tik.
Sabit melamun.
Tidak tahu melamun yang berkaitan sama cerita atau cuma melamun kosong. Bisa jadi Sabit sedang berusaha membegal monster bertubuh mungil yang punya lidah panjang sebagai kaki untuk mengubah dunia menjadi utopia.
"Tah noh."
Sabit mendongak, mendapati sepasang lubang hidung Wirama. Sebentar, jika diteliti lebih jauh, lelaki itu tidak tersenyum, tapi memberi dampak semacam kandungan stevia bagi Sabit.
Tidak, tidak. Sabit memangkas pemikiran itu. Wirama tidak ada apa-apanya ketika sinyal keingintahuan Sabit menangkap selembar kertas di atas meja yang barusan lelaki itu letak.
"Visual Lingkar." Suara Wirama terdengar tebal, pendek, memuaskan. Dia ini sengaja, menampilkan sisi keren dan sombong bersamaan.
Wirama memang selalu bangga sama diri sekaligus pencapaian yang dilakukan tiap hari. Dimohon tidak perlu heran.
"Wuaaahhh Wirama, gilaaa! Tengkyuuuuhhhh!" Namun, yang bikin heran adalah Sabit. Gadis itu mudah sekali berubah warna ekspresi. Mungkin di kehidupan sebelumnya ia seekor bengkarung. Tambah heran, Wirama menyukai perasaan yang timbul kala menemukan sisi Sabit seperti ini.
Mengambil kertas dan mengamatinya, gambar tipis-tipis Wirama memang tidak serupa ciri-ciri visual cowok kapan hari itu, tapi mendekati tujuh puluh delapan persen Lingkar di bayangan Sabit. Bagus pula, hasilnya semacam sketsa ala-ala film detektif yang sering Sabit tonton.
"Tapi kan, gue nggak bisa kasih nilai diri gue ke lo ... kok ini?" Kembali, Sabit mendongak, kali ini guna menemukan mata Wirama.
Singkat, lelaki itu menoleh arah tempat duduk rekan kerja Sabit. Tidak ada orang. Ruangan sepi, mungkin pada masih menggunakan hak jam istirahat, maka Wirama bisa mengambil duduk di ujung meja Sabit. Kalau ada penulis lain, Wirama harus memberikan contoh yang baik; seperti tidak duduk atas meja.
Di hadapan Sabit? Mana perlu. Bahkan Wirama pikir, meski ada contoh baik, Sabit tidak akan mempraktikkannya. Gadis yang punya banyak emosi itu tidak-akan-pernah bersikap sopan kepada Wirama.
Sebelum Wirama buka mulut, Sabit menggeser sedikit kursi staf yang diduduki ke samping menggunakan kaki; dengan posisi tetap duduk. Sabit mager angkat pantat, tapi lebih malas kalau ketahuan canggung terlalu berjarak dekat sama Wirama.
"Anggep aja, itu apresiasi buat lo yang udah jujur nggak bisa nulis soal nilai diri sendiri."
Sabit tersenyum lebar, terlalu senang mendapati karakter Lingkar. Apa Sabit laminating saja biar tidak rusak karena bakal kepegang terus? Atau, kasih bingkai supaya gambarnya bisa duduk? Kalau ditempel di komputer kertasnya kepanjangan ...
"Eh, mongomong gue tu ngirim chat, Mbit. Ngirim pesan. Emang lo kira yang gue kirim koran cuma dibaca doang?"
"Yakin bukan spam?"
"Betapa tega dirimu." Wirama memasang muka sedih.
"Puitis gitu lo bilang spam?"
Tahu-tahu, komputer hitam itu sudah menghadap Wirama. Sementara si empunya komputer yang ingin mendebat pernyataan Wirama barusan, urung.
"Lo baru dapet tiga huruf hari ini? A K U. Aku. Aku apa? Maunya aku apa?"
Lalu terdengar tawa kegilaan. Wirama selalu senang mengganggu Sabit dengan kata-kata.
"Suasana ati lagi gak bagus. Kalau bukan anggota penulis Vellichor, udah gue tinggal tidur. Nggak cocok banget ya gue jadi penulis profesional?"
"Istirahat aja. Kalau udah istirahat bakal lancar lagi," sahut Wirama seraya merapikan posisi komputer seperti awal.