Irama Bulan

Ilestavan
Chapter #6

05 | Bikin Novel Romansa

"Kenapa ...."

Sabit memerhatikan geraknya, telinga siap menerima kalimat lanjutan Wirama.

"Nggak coba bandingin diri lo sekarang sama lo yang seminggu lalu? Lo jago bikin perbandingan, 'kan?"

"Ram," panggil Sabit. Sengaja menahan gerak kaki lelaki itu. "Terus lo, kenapa nyuruh gue nulis nilai pribadi gue sendiri?"

"Kalo lo udah tau nilai-nilai pribadi, lo gakkan mampu merundung diri. Jadi red flag ke diri lo sendiri."

Sabit mendapati kesendirian lagi usai pintu ruangannya menelan punggung Wirama.

~''~

"Kamu udah bisa nulis novelnya besok. Ingat, romansa."

Set dah. Bukan diskusi, dan Sabit masih menampilkan tampang ramah kendati dalam hati memaki. Suatu kepalsuan andalan Sabit yang hakiki.

"Tinggalin tulisan yang lagi kamu kerjain. Kita fokus dulu sama proyek One Story Aplomb."

Terus terang, Sabit tidak perlu kaget sebab sudah menduga kalau akan ada drama perintah tanpa bantah dari Buvin, yang bikin syok, mengapa dirinya mesti kebagian romansa?!

Ibu Vinka bilang, ini kolaborasi antara divisi penulis dan editor. Semua yang ada di dalamnya sudah mendapat seorang-seorang satu tim; editor lengkap penulis, untuk cipta cerita masing-masing di genre berbeda. Buvin memasangkan Wirama serta Sabit untuk menjadi tim novel romansa.

Nanti, hasil penjualan novel penulis-penulis official Vellichor disumbangkan ke lembaga bantuan korban bencana alam, atau disalurkan ke panti yatim piatu. Sebetulnya, semua susunan rancangan adalah skema acara rutin Vellichor enam bulan sebelum Desember, konsepnya saja yang berlainan tiap tahun.

Sambil mengeditori karya tulis Sabit, menyumbang ide, tugas Wirama seleksi naskah cerita pendek yang akan bermunculan. Yap! Tugas Wirama dobel, sama kayak rekan editornya yang turut serta kegiatan acara. Dalam berlangsungnya OSA, Vellichor mengadakan lomba berani cipta cerpen, jadi bukan cuma melibatkan penulis Vellichor. Makanya untuk cerita pendek romansa, Wirama yang punya jatah menangani.

Pengumuman acara bertajuk mengesankan itu sudah diposting di semua jenis media sosial Vellichor oleh anak-anak konten kreatif bagian komunikasi daring-luring. Sabit maupun Wirama belum menanggapi serius soal ini kendati sudah lihat plakatnya, tidak berpikir mereka akan terlibat juga.

Baik, baik. Cukup. Kejengkelan Sabit bertambah sekarang, soalnya hal begini bisa diberitahu melalui pesan Whatsapp. Apalagi bukan benar-benar berdiskusi, bukan juga rapat sedivisi yang semua kepala berkumpul satu ruangan. Sabit tidak perlu menunggu sembilan puluh menit hanya untuk mendapat informasi tugas, 'kan?

"Sabit boleh eksekusi cerita di mana aja, nggak harus di ruangan. Saya ngerti kalau penulis juga perlu kebebasan, udara segar. Jangan lupa riset sebaik-baiknya. Kalau ada yang harus diriset ke lapangan langsung lebih bagus. Sekian."

"Bu, boleh saran?"

"Kamu nggak denger saya udah tutup pembicaraan? Sekian." Wanita bergincu lila manja yang tidak pernah cocok dengan mekapnya, mengulang nada penutupan.

"Tapi dari tadi cuma Ibu yang ngomong, saya sama Editor Wirama belum."

Lelaki yang sejak tadi anteng segera menegak duduknya. Dia sudah lesu sebab cuma menyimak dan mengangguk atas persetujuan dari apa yang Buvin katakan.

"Mumpung kita ngobrol langsung juga. Jadi, Ibu Vinka tau saya, 'kan? Saya lebih condong ke genre thriller atau nggak fiksi remaja. Tema yang mengambil misteri dan parenting dibanding—"

"Fiksi remaja yang kamu tulis juga bisa ada bumbu romansa." Cara Bu Vinka menyelang bicara sudah kayak knalpot bemo. "Kamu juga kenal banyak subgenre. Romansa bercabang jenisnya. Romansa ke sahabat, keluarga, kucing, pohon, sampai Tuhan. Tapi buat sekarang, cuma romansa antara pasangan aja. Konfliknya jangan seberat cerita kriminalitas kamu yang penuh teka-teki, sip? Buat mudah dikunyah dan dicerna pembaca, gali sisi romantismu. Semoga sukses dan tepat tenggat waktu."

Saat itu, Sabit tahu kalau dirinya tidak punya hak untuk berpendapat lebih. Buvin memang hebat. Luar biasa. Tidak heran mampu mengemban dua jabatan sekaligus; redaktur pelaksana selain editor in chief. Jika ada dua atau tiga orang semacam Buvin, pasti suatu perusahaan tidak akan repot mempekerjakan orang banyak-banyak.

"Wirama, udah paham sama apa yang saya omongin tadi?" Kali-kali kayak Sabit yang mau mencetuskan kalimat. Setidaknya Buvin ada niat menghargai itu kendati keputusan beliau bagaikan hari kemarin: tidak bisa diubah atau berubah lagi.

"Udah, Bu."

Paham, sih, tapi Buvin kasih perintah tanpa bertanya bagaimana kapasitas Wirama terhadap penyeleksian naskah peserta OSA. Maksudnya, Wirama manusia, sementara kualitas tidak boleh dikorbankan; ini Buvin sendiri yang menegaskan kalau yang lolos seleksi mesti memenuhi syarat dan standar mutu Vellichor.

Di samping itu, memang ... meski cerita pendek, Wirama punya prinsip selaras tempatnya bekerja, tidak bisa main-main kalau sudah menyangkut kelayakan baca. Bisa sampai ke akar-akarnya. Bikin dilema itu jangka waktu yang dipunya, bakalan tidak sebanding dengan lubernya naskah masuk. Jelas, Wirama sudah bisa memprediksi formulir cerpen romansa akan segera membeludak!

"Kalian nggak ngarep saya bikinin teh, 'kan? Bisa keluar kok sekarang."

Bokong Wirama serasa merekat, makanya dia berdiri perlahan sambil mengangkat laptopnya yang melipat. Sabit beda lagi. Gadis itu berdiri tidak sabar, segera hengkang tanpa basa-basi atau sekadar pamit kepada tuan yang menghuni ruangan.

Wirama menutup pintu, dan menahan napas kala Sabit tahu-tahu pasang muka antu banyu yang lagi ngintai perahu.

Lihat selengkapnya