Dear, yang Aku Cinta
Cinta seringnya melucu ya, Tuan? Curanya kali ini tidak main-main membuatku tertawa bak kesetanan. Apakah saat Tuhan meniupkan emosi cinta di segala bucu alam, Dia sedang dalam fase paling bahagia sehingga cinta memiliki sifat demikian?
Aku menyerana, Tuan. Sebagaimana Buih Jadi Permadani yang diciptakan Saari Amri, aku tidak sanggup merubah pandanganmu tentang diriku si buruk rupa.
"Nggak bisa, nggak bisa." Di tengah Sabit yang geleng-geleng kepala kayak orang mabuk dengar dangdut di pos ronda, Wirama membenturkan belah bibir, menekannya mirip orang nahan defekasi sambil berpikir, penulisnya mau jadi rubah, kah? Atau, si 'dia' yang bakal dikutuk sim salabim rubah?
Merubah adalah kekeliruan sekaligus ucapan yang dianggap benar; Wirama suka gemas. Biasanya dipakai sama orang buta kata dasar Indonesia, sumber luput riset, lalu penulis baru menetas jadi ikut pakai kesalahan itu.
Oh, oke. Mari tinggalkan Wirama bersama segala kegemasannya terhadap naskah. Kalau terus masuk dalam narasi, isi bab bisa penuh sama kritik ala Wirama. Sebagai ganti, beri Sabit keleluasaan untuk bermeloria ke halaman otak yang tengah berderis.
Sudah bisa disebut lama sejak Sabit mengenal pertama kali apa itu rasa mendamba. Suka secara berlebihan kepada lawan jenis yang Sabit sebut cinta. Orang-orang lima tahun merindu, mungkin akan mudah mengabadikan perasaan itu melalui sajak romansa nan melankolis. Satu dekade Sabit lalui, masih ada sebersit ingin peluang temu, tapi dalam keadaan itu saja tidak mampu merangsang gairah Sabit untuk menyulap kekasih masa lalunya menjadi susunan kata paling sengsara sekalipun.
Cinta pertama memang indah, Sabit akui, mirip lirik-lirik bersimbah harmoni tentang hati yang Sabit dengarkan waktu itu. Namun, first love juga punya gambaran—kemungkinan, bukan dengan orang itu kamu akan bersanding. Yah, mudah dipercaya oleh Sabit.
Dulu ia masih terlalu muda, bahasa cintanya adalah 'waktu berkualitas', jadi jika selalu ingin bersemuka sama pasangan itu taraf wajar. Hubungan jarak jauh bukan jalan bisa bersama terus, sampai akhirnya tali cinta mereka merapuh, putus. Karena pemikiran muda sekaligus egoisnya, Sabit tidak mau berjuang, tidak mempan dengan janji-janji yang terdengar seperti kotoran gukguk.
Lagi pula itu cuma cinta monkei—kalau kata Sabit sekarang, meski terkadang aroma minyak wangi cinta pertamanya masih tertinggal dalam ingatan. Familier sama rasa cokelat wafer yang si pujaan hati kasih beberapa minggu habis jadian. Sejak semua berakhir, Sabit tidak pernah lagi memupuk harap di dunia nyata, dunia di mana ia tinggal, selalu ada kisah serupa pangeran dan putri, akhir yang pasti happy forever ever, karena bagi Sabit ending bahagia cuma ada dalam dongeng.
Makanya ia tetap tidak bisa menemukan serpihan ide cerita romansa kendati telah berusaha menyentuh daging kenangan; selayaknya pengarang amatir yang baru menceburkan diri dalam dunia tulis-menulis, kaku karena kebiasaan pakai kata singkat yang dicampur huruf seperti, n! T3mA cYntQ.
Sabit mengetuk-ngetuk dahinya pakai pulpen. Sebetulnya, apa yang mudah ciptain fiksi romansa, kalau Sabit saja sudah dua jam duduk mengheningkan cipta tidak tahu mesti mulai dari mana(?).
Kata Wirama, kalau kerja di luar ruangan otak bakal segar kayak daging sapi baru dipotong. Kenyataan isi kepala Sabit kisruh, berbelit-belit, memikirkan banyak peluang skenario yang malah ujungnya tidak menghasilan coretan apa pun di sepasang belah buku catatannya.
Di tempat serupa kala Sabit curhat empat mata sama Wirama, lantai paling atas Vellichor. Balkon singkap, tapi teduh sebab payung besar membentang, tersambung di tengah meja bundar. Bangku anyaman plastik warna putih yang pendapat Sabit tidak sesuai berpasangan sama meja kayu bergaya kafe, lalu batu koral yang sengaja berserak menutupi pijakan kaki. Semua itu putih juga, bedanya cuma putih keramik, tidak tahu apa sebetulnya konsep balkon Vellichor ... dan, kalau tidak konyol sampai meneliti acak begini berarti bukan Sabit Derana Rembulan.
Wirama sudah jelas, dari tadi kerjaannya cuma menggeser trackpad. Kadang gerakan itu cepat sekali, dan Sabit jamin Wirama sedang mengusir naskah yang gagal lolos supaya tidak ada dalam pandangannya lagi. Wirama memang editor tersadis.
Ah, ini sumpah menyebalkan. Sabit benar-benar karut!
Seperti banyak kebutuhan dasar manusia. Sinyal lapar berarti kamu butuh makan, begitu kesepian, punya makna kamu mesti terhubung dengan orang lain. Ya, kesepian adalah sinyal! Jadi Relaka butuh mencari ....
"Mentokkkk!"
"Mentok itu sinyal, kamu butuh perkembangan." Wirama jadi tertular cara bernarasi penulis yang baru dibaca naskahnya, sekaligus nyambung sama satu kata Sabit. Sangat ajaib.
"Gue nggak bisa. Pikiran manusia emang maharumit, kayak gue yang maunya sederhana malah diperumit ama otak." Mengubah nada jadi melas, Sabit berharap bisa memicu persetujuan Wirama atas pemberontakannya.
"Bisa nggak sih kita tukeran genre sama tim lain?"
"Abis itu kamu ngeluh lagi? Nanti ada yang bersedia nuker genre petualangan, fiksi ilmiah, kamu bakal ngeluh kenapa harus itu. Lagian Buvin pasti ngamuk kalau tau ada yang tukeran-tukeran tugas dari dia." Mata Wirama ketika berbicara menatap; yang ditatap jadi kikuk. "Sayang, gimana kalau catet ciri sifat karakternya dulu aja?"
Oh, please. Sabit jadi merasa punya pacar sungguhan. Atau seandainya Wirama Cho Kyuhyun, Sabit pasti sudah teriak, 'oppaaaaa, aku terbeulla-beulla jadinyaa!!' tapi dusta. Bagaimana juga, Sabit belum—bahkan tidak pernah terbiasa, sama tingkah Wirama yang kadar boyfriend sugar-nya kelewatan.
"Percuma, tetep nggak bisa. Ceritanya aja belum ada."