Irama Bulan

Ilestavan
Chapter #8

07 | Jalan yang Kamu Pilih

Cokoko—motor Sabit gegar sebab beban yang tiba-tiba nemplok di jok belakang. Beruntung Sabit menahan, kalau tidak bisa terguling si Cokoko.

"Dah pipisnya?"

Omong-omong, Sabit jadi canggung sebab Wirama seperti menempel di punggungnya. Sewaktu mereka ke SMA mau cari visual, naik Brio yang kata Wirama hasil sewa; masih lebih baik duduk berdampingan. Terus, sekarang ... haruskah Sabit membonceng lelaki gondrong ini?

"Mbeb?" Wirama sudah menjawab 'heem' kala Sabit bertanya, tahu-tahu orangnya malah diam membawa atmosfer janggal. Kaku begitu badannya. "Kamu kepanasan apa gimana? Aku deh yang—"

"Bagus!" Sabit langsung keluar dari lingkaran motor, dan memegang satu setangnya.

"Ide bagus ...." Lalu menurunkan nada bicara, kayak salah tingkah.

Wirama memerosotkan diri, mengambil alih setang Cokoko, dan Sabit yang mulai memosisikan bokong di belakang. Kini, malah Wirama yang gugup. Debar jantungnya berdambin, mungkin karena buru-buru balik dari tanah samping Vellichor, belum memeriksa ritsleting celana juga.

"Kamu udah ... kasi ciri-ciri visual Lingkar dkk ya waktu itu?" Sambil memutar kunci, Wirama bertanya guna dirinya tetap berada dalam temperatur normal.

"Umur emang bisa bikin orang pikun, ya? Kan lo juga udah kasih gue muka Lingkar, kali."

"Minta lagi deh ciri-ciri semua karakter yang mau kamu tulis, ilang. Aku belum gambar yang Mentari."

"Nanti aj—a," balas Sabit agak tersentak kala Cokoko mulai melaju keluar area parkiran.

Tadi Sabit sudah mengganti haluan Cokoko selagi menunggu Wirama selesai sama urusan kemih, memang tinggal jalan.

"Lagian bukannya harus fokus dulu sama proyek OSA? Gue juga gak bakal ngegarap cerita Lingkar dulu. Masi lama ini."

"Oh, oke." Lantas Wirama menelan ludah. Jangan salah paham, bukan sebab Sabit berpegangan di dua sisi bajunya, kok. Wirama benar sudah lapar.

"Di mana cari tahu gejrot, ya?"

"Ih! Gue kira lo tau yang jualan. Jejangan lo juga gak tau kan, di mana yang jualan nasi anget sama ikan peda?!" Bukan bermaksud mau teriak, Sabit cuma khawatir kalau suaranya tidak terdengar alih-alih memikirkan lebih lanjut kondisi telinga Wirama.

"Kita cari sekolah dasar aja kalo gitu." Secara singkat Wirama memutuskan, tapi sudah siang begini, kalau tahu gejrot saja rasanya tidak akan kenyang, buang waktu juga karena belum tentu ada.

"Cari tukang sayur aja deh, kamu beli ikan peda sama cabe. Makan di kontrakan aku aja."

Sabit ingin berhamun-hamun, sumpah. Labil Wirama melebihi remaja lagi fase cari identitas diri. Beruntung kemauannya konsisten di dua yang bagi Sabit tidak nyambung; tahu gejrot dan peda, di mana serasinya kemauan Wirama itu?

•••

Kontrakan Wirama tidak jauh-jauh amat dari Vellichor, makanya kalau berangkat kerja lelaki itu suka jalan, apalagi pagi hari. Katanya, bisa sambil olahraga. Tidak pernah takut dinilai kere popel sama orang.

Masuk ke dalam gang yang tidak sempit, Cokoko diberhentikan saat menikung ke kiri.

Sabit sudah membeli peda, cabai dan bawang sekaligus. Pakai uang Wirama jelas saja, karena lelaki itu yang mau ikan peda, kendati Sabit bakal ikut makan.

"Mbeb, nyambel, ya? Aku yang goreng ikannya. Bagi tugas, oke?"

Yap, yang gratis pun harus memenuhi syarat dulu, semacam mau kuota free dari operator. Memang dasarnya mustahil ada yang cuma-cuma di muka bumi.

Lihat selengkapnya