.
.: oOo :.
“Aku hanyalah seorang adik sekaligus kakak yang tidak terlalu diberi perhatian lebih dan selalu melakukan semua hal sendiri.”
.: oOo :.
.
Sedari kecil, aku sangat mengagumi para cenayang ataupun tokoh yang memiliki kekuatan “supranatural”. Beragam kekuatan yang mereka miliki membuatku terkagum-kagum. Mulai dari meramalkan kejadian di masa yang akan datang, kemampuan melihat kejadian dengan menyentuh suatu barang, hingga dapat mendengar pikiran orang lain, dan masih banyak lagi kemampuan lainnya. Dari sekian banyaknya kemampuan unik itu, aku sangat tertarik dengan kemampuan mendengar pikiran orang lain.
Sedari kecil, aku selalu dihadapkan dengan situasi tidak mengenakkan. Tidak dapat mengerti apa keinginan orang lain. Hal itulah yang membuatku kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Juga membuat daftar pertemananku tak lebih dari satu halaman buku, bahkan hanya beberapa baris yang terisi. Itu pun belum tentu hubungan kami sangat akrab.
Kesulitan berkomunikasiku inilah yang membuatku memimpikan kekuatan agar bisa mendengar pikiran. Pernah suatu ketika saat sebelum tidur aku berdoa agar diberi kemampuan itu. Pagi harinya, aku melengos karena tidak mendapat kekuatan tersebut. Ya... karena ini bukanlah novel fantasi.
Saat aku sudah beranjak besar, aku sadar bahwa menginginkan kekuatan mendengar pikiran itu juga dapat menyusahkan diri sendiri. Jika saja aku dapat mendengar pikiran-pikiran orang lain, itu tak hanya keinginannya saja, melainkan keburukannya juga. Selain itu, aku pasti akan pusing dan tidak dapat tidur dengan tenang karena pikiran orang lain yang mengganggu terdengar dan terngiang-ngiang di kepalaku.
Kini, di sinilah aku. Di dalam ruangan dengan bangunan bernama Conscientia. Duduk di kursi empuk dengan gelar psikolog yang tercetak jelas dalam kotak nama di atas meja. Mengenakan jas putih layaknya dokter di rumah sakit. Mengikat rendah rambut hitam dan panjang milikku. Tersenyum simpul karena teringat akan ambisi yang kini membuatku ada di sini. Hanya karena terlalu sering membaca kisah sang pendengar pikiran, aku semakin ingin mempelajari pikiran dan mental seseorang.
Sekarang, aku meniup uap panas dari teh lemon. Duduk di atas kursi putar empuk. Mataku menjelajahi pemandangan di luar ruangan, beberapa orang berlalu dengan cepat. Seakan tak peduli dengan keberadaan ruang kecil milikku ini. Bahkan teh lemon yang katanya dapat mencegah flu ini, nyatanya tidak secepat ekspetasi. Terkadang kenyataan dapat seasam lemon yang kusesap, bahkan kenanganku dengan Aldrian tak semuanya terasa manis.
Namun, kisah ini bukanlah kisahku. Suatu saat akan kuceritakan tentangnya jika waktunya sudah tiba.
Kisah ini adalah tentangnya. Gadis berkaos merah dengan cardigan biru muda dan rok renda pendek hitam bertabur bulatan merah. Surainya pendek sebahu. Dari dalam, dapat kulihat dengan jelas jika gadis itu terlihat enggan dan ragu untuk mendorong pintu kaca beberapa meter di depanku. Setelah mondar-mandir beberapa menit, dia dengan mantap mendorong pintu kaca. Bunyi kliningan bel yang kupasang di atas pintu terdengar. Aku memasang senyum terbaikku.
Gadis itu balas tersenyum kikuk. Dia mendekat dan duduk di kursi yang kusediakan di depan meja milikku dengan ragu. Aku beranjak dan menyiapkan teh lemon. Gadis itu hanya terdiam sambil menunduk. Entah apa yang sedang diperhatikannya. Mungkin bulatan-bulatan merah yang tak sama di roknya.
“Namaku, Alfira.” Dia mengangkat wajahnya sedikit, pandangannya kini beralih pada teh lemon milikku.
“Aku sangat terganggu dengan kakak dan adikku.”
Ah... rupanya dia tengah mengalami konflik batin. Aku sangat mengetahui kisah ini. Kisah yang akan dialami semua orang jika mereka memiliki saudara. Dari perkataannya, terlihat jelas sekali jika dirinya adalah anak tengah. Seperti diriku. Anak yang sedikit jarang menerima perhatian dari orang tuannya.
Aku menyodorkan teh lemon yang sudah kuracik sendiri. Bunyi tatakan keramik impor terdengar. Aroma lemon darinya mengudara. Kulihat Alfira mengerinyit sejenak. Sepertinya dia berfikir jika teh lemon itu berbayar.
“Minumlah...! Minuman di sini gratis,” Aku tersenyum sambil mendekatkan keramik putih berisi teh lemon dengan kepulan asap. Alfira dengan sedikit enggan mengangkat pegangan mungil cangkir. Menyesapnya perlahan karena masih panas.
“Kakak baik sekali. Bahkan ayah dan ibuku tak pernah membuatkanku segelas susu.” Kulihat Alfira memasang senyum miris. Kedua matanya sedikit berkaca-kaca. Bibirnya sedikit bergetar. Aku berjalan mengambil kotak beludru biru tua di rak putih. Menaruhnya di tengah meja. Tangan kurusnya perlahan mendekat ke arah kotak tisu yang kuletakkan. Aku kembali duduk dan mulai mendengarkan kisah Alfira.
.~oOo~.
Namaku Alfira. Aku merupakan anak tengah dari dua bersaudara. Aku senang memiliki dua saudara, kakak perempuan dan adik laki-laki. Kakak perempuanku selalu ada saat aku membutuhkan teman berbincang. Dia bahkan menjadi satu-satunya idolaku. Adik laki-laki, selalu menjadi lawan tangguh dalam hal bermain permainan apapun. Tapi sedari kecil aku selalu saja merasa kesepian meski memiliki dua saudara.
Sebagai seorang anak, pasti dituntut untuk menjadi mandiri. Begitu pula aku. Sedari kecil aku selalu melakukan semua hal sendiri. Ibuku sibuk dengan adikku yang umurnya selisih dua tahun denganku. Alhasil di umurku yang ke dua tahun, ibuku sudah tidak mengurusiku lagi. Ayah yang bisa saja diandalkan juga tidak dapat mengurusku. Ayahku adalah polisi. Beliau selalu sibuk dengan pekerjaannya, bertugas hampir satu hari penuh. Hingga saat lebaran, ayah yang selalu mengajak pergi ke rumah nenek meninggalkanku di sana selama satu tahun.
Semua anak pasti pernah dibuatkan susu hangat sebelum tidur, dibacakan dongeng sebelum tidur, atau juga berbincang ringan dengan orang tua mereka. Aku berbeda dari anak pada umumnya. Aku tidak pernah dibuatkan susu sebelum tidur. Ataupun dibacakan cerita dongeng yang berakhir indah. Juga melakukan permainan orang tua dan anak seperti layaknya keluarga bahagia. Berbincang dengan keluarga sangat jarang kulakuan.
Ya... hasilnya tinggi badanku tidak seperti kakakku yang lebih tinggi dariku saat umurnya seumuranku. Juga, aku suka membaca dongeng sendiri hingga di umurku yang ke delapan tahun, aku mendapatkan rabun jauh yang membuat nilaiku menjadi buruk. Permainan selalu kulakukan dengan tetanggaku, hingga terkadang aku menjadi lupa waktu. Kurangnya komunikasi dengan orang tua membuatku menjadi anak yang selalu memendam perasaan.
Aku memiliki rabun jauh yang tinggi saat umurku masih muda. Diriku yang tidak mengetahui jika itu rabun, tak pernah membicarakannya dengan orang tuaku. Tidak seperti kakakku yang sudah mendapatkan kacamatanya saat dia menginjak umur sepuluh hampir sebelas tahun. Sedangkan aku baru mendapatkan kacamata saat berumur dua belas tahun setelah ibuku memergokiku menggunakan kacamata lama milik beliau.
Menginjak di tahun ke dua belas, sisi sensitif dari diriku mulai muncul dan berkembang. Seringkali aku mendapati diriku bernyanyi kecil hingga kedua mataku mengeluarkan air terjun kecil. Awalnya aku tidak mengetahui alasannya. Namun, aku sadar bahwa semua itu dikarenakan aku diperlakukan tidak adil.
Namun, mau bagaimana lagi? Ibuku semakin disibukkan oleh adikku yang terkena keterbelakangan mental sejak... entah sejak kapan. Yang kutahu, orang tuaku baru menyadarinya saat mendapati adikku tak dapat berbicara dengan jelas. Belum lagi ayahku yang juga disibukkan dengan pekerjaannya. Kakak perempuanku yang terkadang ada saat aku ingin mencurahkan sesuatu itu juga disibukkan dengan jenjang masa remajanya. Alhasil aku selalu merasa kesepian saat berada di rumah. Selalu menginginkan segera menjelang pagi karena aku dapat bertemu dengan sahabatku di sekolah.
Rasa kesepianku semakin merajalela saat aku bertambah umur, tiga belas tahun. Memendam emosi selama beberapa tahun membuatku mengalami stres. Membuatku membutuhkan suatu hal atau kegiatan yang dapat mengurangi stres. Pernah terlintas untuk kabur dari rumah di benakku. Ataupun melakukan self harm. Namun, setelah kupikirkan lagi, hal itu tak ada gunanya. Aku pun menyerah. Yang dapat kulakukan hanya mencoba mengalihkan perhatianku. Menyibukkan diri dengan belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Mengisi waktu luang dengan mengarang sebuah cerita. Atau melakukan hobi, menggambar.
Kemampuan mengarang ceritaku membaik, begitu juga kemampuan menggambarku. Nilaiku pun naik drastis. Peringkatku juga bagus. Aku senang sekali mendapatinya. Kala itu aku berharap jika kedua orang tuaku memujiku dan membanggakanku. Aku tersenyum lebar sambil melihat raporku. Hingga saat pulang di rumah ayah memujiku.
“Nah, gitu dong dapat peringkat bagus. Kalau bisa peringkat satu. Jangan banyak main biar bisa peringkat satu.”
Ibuku menambahkan, “Kamu memang pintar, Fira.”
Dengan pujian-pujian yang membuatku semangat itu, aku menjadi semangat dan giat belajar karenanya. Aku pun lulus dengan nilai yang memuaskan hingga aku dapat diterima di sekolah unggulan. Banyak pujian tercurahkan padaku. Namun, tetap saja aku masih merasa kesepian. Aku berpisah dengan sahabatku karena dia melanjutkan sekolahnya di sekolah yang berbeda.
Aku merasa seakan telah kehilangan tempatku berada.
.~oOo~.
“Kamu individualis ya...?”
“Apa aku terlalu egois menginginkan kasih sayang?” Kulihat kedua mata Alfira berkaca-kaca. Dia menggerakkan tangannya untuk mencabut selembar tisu yang mencuat. Menghapus air yang menggenang sebelum tumpah kemana-mana.
“Itu wajar. Semua orang membutuhkan seseorang untuk mendukung psikisnya. Egois itu wajar. Asalkan kamu tidak berlebihan,” Aku menanggapi pertanyaan gadis berwajah lembut di depanku yang sedikit terisak.
“Sebenarnya aku ragu pergi ke sini.” Alfira mengungkapkan isi hatinya. Aku tahu. Sebelum masuk, dia terlihat sangat ragu. Sepertinya dia tipikal gadis yang sangat sulit menceritakan perihal pribadinya. Hanya orang tertentu yang dipercayainyalah yang tahu-menahu privasinya.
“Kamu bisa datang sewaktu-waktu. Aku akan membantumu sebisaku.” Aku meyakinkannya untuk dapat lebih mempercayai orang lain. Bahkan itu orang asing seperti diriku. Tentunya jangan terlalu mempercayai orang asing. Tapi setidaknya dia tidak selalu berpikir yang buruk saat pertama kali bertemu dengan orang lain.
“Terima kasih Kak ... Ameera. Boleh kupanggil Kak Mera?” Dia berujar sambil melihat pin nama yang terpasang di jas putihku.
“Boleh.” Aku tersenyum simpul.
“Jadi, aku harus bagaimana?” Kutatap kedua iris coklat tua milik Alfira. Kurasa dia sudah lebih tenang. Emosinya tidak lagi meluap. Saat seperti inilah waktu yang tepat untuk memberinya dorongan agar dia dapat menghadapi masalahnya.
“Cobalah untuk lebih mengutarakan emosimu. Tanpa kamu utarakan, mereka tak akan mengerti. Jelaskan bahwa dirimu tak suka jika diacuhkan. Juga utarakan jika kamu akan senang jika diperhatikan. Cobalah untuk mengatakan perasaanmu dengan jujur.”
Alfira menatap kosong ke arahku. Aku mengetahui betul karakter Alfira yang sulit untuk mengutarakan isi pikirannya. Entah itu karena egonya terlalu tinggi, atau memang dirinya kesulitan dalam hal itu, yang pasti orang lain tidak akan tahu jika kita tidak mengutarakan apa yang kita pikirkan bukan?
Sebenarnya aku tak dapat memaksanya untuk mengubah dirinya dalam sekejap, atau mengubah dirinya menjadi orang lain. Aku tahu. Karakter Alfira memang sangat menjaga privasinya sendiri, atau dapat dikatakan dia adalah sosok gadis introvert. Tapi, masalah atau persoalan tak akan terselesaikan tanpa adanya tindakan dan sebuah pilihan, bukan?
“Mereka keluargamu bukan? Mereka tak akan menyalahkanmu hanya karena kamu begitu sensitif. Mereka pasti mendengarmu.”
“Ya, aku akan mencobanya.”
Hening menyapa ruangan nyaman itu. Kami berdua dengan bersamaan menyesap teh lemon yang kehangatannya perlahan memudar. Bahkan aromanya kini hanya tercium samar. Dapat kulihat, Alfira menyesapnya hingga habis tak tersisa.
“Sebelum kamu pergi, bolehkah aku bertanya?” Aku menaruh cangkir keramik putih gading kembali di atas tatakannya.
“Iya... apa itu?” Dahi Alfira sedikit mengerinyit.
“Apa kamu memiliki teman dekat di kelasmu?”