.
.: oOo :.
“Aku sangat suka pengetahuan. Namun, segalanya tak dapat dibeli hanya dengan ilmu.”
.: oOo :.
.
Pagi ini, aku melihatnya. Lagi-lagi dia melakukannya. Seakan harta yang digunakannya itu tak ada habisnya. Parfum, kotak perona mata, perona pipi, hingga perona bibir tersusun rapi di atas mejanya. Bahkan semua barang itu bukanlah barang berharga seperti yang beredar di pasaran. Berlebihan sekali! Ini membuatku kesal. Aku tahu itu hak miliknya. Aku tak pantas merasa kesal dengan orang lain yang menggunakan haknya. Dia bebas menggunakan hartanya dengan sesuka hati. Sepertinya baru kemarin dia memamerkan hartanya. Benar-benar anak kaya yang sombong dan menyebalkan. Semoga saja ada guru yang merampas alat kecantikannya.
Masih kuingat, dua bulan yang lalu, aku melihat dia tengah menghabiskan uangnya di mal. Kebetulan aku bertemu dengannya di salah satu toko baju yang dikunjunginya. Niat hati ingin membeli baju baru yang layak dan sedang diskon, aku malah kebetulan bertemu dengannya. Dan aku hanya bisa menatap miris tumpukan baju-baju bermerek yang diborongnya. Tentu dia tak sendiri, seorang pelayan mengikutinya. Membantu membawakan barang super banyak miliknya.
Mulai dari berbagai macam model baju kekinian seperti minidress yang lucu, baju atasan atau cardigan bermerek, celana ketat dengan berbagai warna, dan rok selutut dengan berbagai warna juga motif yang manis. Seakan tak hanya itu saja, dia juga tengah memborong aksesoris di toko baju. Berbagai merek aksesoris berjajar di meja kasir. Bahkan meja kasir hampir tidak dapat memuat semua borongannya.
Aku hanya melihatnya dengan wajah datar. Dalam hati perasaan jengkel membuncah. Aku merasa seakan dia sedang mengejekku. Dengan harta yang jika dihemat selama tujuh turunan tidak akan habis itu, dia seperti mengejekku. Mengejekku bahwa aku tidak bisa membeli ataupun mengoleksi barang-barang bermerek yang mahal.
Aku melengos. Barang-barang di kasir itu menyakitkan mata. Meski tidak mengeluarkan sinar sekalipun, barang-barang itu terlalu menyakitkan mataku. Bahkan kini ada air yang menggenang di pelupuk mata. Oh, tidak. Jaga harga dirimu Almahyra! Kau tidak serendah itu! Kekayaan itu tidak terlalu penting!
Lalu, satu bulan yang lalu, aku pergi ke toko buku untuk mencari buku materi dan latihan UNBK SMA. Meski aku masih berada tahun pertama SMA, aku juga harus mempersiapkan segalanya mulai dari awal. Saat itu, entah secara kebetulan atau sengaja, aku bertemu dengannya di toko buku. Kulihat dia tengah memilah novel berharga uang merah yang jumlah nolnya ada lima. Aku melotot melihat jumlah novel yang dibelinya.
Miris sekali melihatnya. Jumlah novel borongannya itu memungkinkan untuk mengisi satu bilik rak perpustakaan di sekolah. Dan juga, novel yang dipilihnya itu bukan sekedar novel biasa dengan cerita membosankan. Semua novel itu adalah novel keluaran terbaru yang banyak di borong oleh orang-orang, novel best seller julukannya.
Hati kecilku terasa seperti dipukul palu. Mana punya aku novel sebagus itu. Oh, kalau tidak salah ada satu novel best seller di rumah, itu pun juga novel lama. Selain itu juga ada novel lain. Namun bukan novel yang asli, melainkan novel bajakan yang beredar di pasaran dan berharga murah. Miris, batinku menangis. Apalah daya, aku tak sekaya dirinya.
Lalu satu minggu yang lalu. Aku mendapatkan hadiah gawai bermerek buah gigit yang terkenal itu. Aku mendapatkannya karena menyabet juara satu lomba olimpiade matematika tingkat nasional. Aku senang sekali! Selain mendapatkan gawai, aku juga mendapat uang senilai dua juta dan sertifikat pemenang. Namaku yang awalnya tak diketahui warga sekolah, kini menjadi topik hangat perbincangan di sekolah.
Anehnya, setelah tahu aku mendapatkan gawai mahal, dia kemudian datang ke sekolah membawa gawai bermerek sama namun lebih mahal dari harga gawai milikku. Seakan dia ingin menunjukkan bahwa dia juga bisa memiliki apa yang kumiliki. Bahkan seakan seperti mencoba menyaingi harga barang yang kumiliki. Aku acuh tak acuh, toh aku sudah punya barang yang menurutku cukup bagus. Aku juga sudah punya modal dua juta untuk membayar biaya sekolah atau tabungan untuk biaya perguruan tinggi nanti.
Oke, lupakan semua itu Almahyra! Jangan menggunakan ingatan fotografismu untuk mengingat memori yang tidak berguna seperti itu.
Oh iya! Kemarin aku menemani Alfira dan Riqui pergi ke toko emas. Tidak hanya kami bertiga saja, ternyata Riqui juga mengajak Kenzo. Saat aku ingin menolak ajakan Alfira, katanya biar ada yang menemani dan menjadi pengawas mereka berdua. Kata Alfira sih, biar mereka gak kelewatan. Padahal hubungan mereka berdua itu sangat kaku! Mana mungkin mereka akan kelewatan dan melanggar batas!
Sejujurnya dulu aku sempat menyukai Riqui. Aku kagum dengannya yang hampir bisa menyaingiku dalam hal mata pelajaran. Ya, tipe laki-laki yang kusukai adalah laki-laki yang pintar. Kalau bisa pintarnya lebih pintar dariku. Riqui itu bukan pintar lagi, dia jenius. Hampir semua nilai pelajarannya sepuluh dengan satu angka nol lagi dibelakangnya.
Riqui juga berasal dari keluarga terpandang dan kaya. Aku kenal dekat dengan ayahnya. Ayahnya sangat karismatik. Beliau adalah penyedia dana beasiswaku. Aku sangat menghormati dan mengaguminya. Hingga beliau mengenalkanku pada anaknya sendiri. Aku jatuh hati seketika padanya. Perempuan mana yang tidak jatuh hati pada laki-laki baik, sopan, tampan, dan sekaya Riqui? Tentu tidak ada!
Kuakui jika aku jatuh hati akan kepemilikan Riqui. Aku sempat menghilangkan perasaan yang singgah di hati ini. Namun, lagi-lagi aku jatuh hati pada kebaikannya. Saat dia membantuku mempelajari soal matematika yang tak kumengerti, saat dia mengobati lukaku sehabis terjatuh karena bermain basket dengannya, atau saat dia memberiku tumpangan di mobilnya karena lupa membawa payung. Bagaimana aku tidak dibuat terbawa perasaan olehnya! Agh, mengingat hal itu membuatku sangat muak!
Lalu aku menyadari jika dirinya cinta mati pada sahabatku sendiri. Saat itu aku tengah mengunjungi Alfira, sahabatku yang sakit dan hampir tidak bersekolah selama seminggu. Awalnya aku diajak Kenzo, tapi ternyata Riqui juga ikut menjenguk Alfira. Awalnya aku tidak merasa dan janggal. Hingga saat perjalanan, di mobil Riqui, Riqui berkata akan melakukan tindakan di hari itu. Aku penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Niat hati ingin bertanya, tapi egoku membesar.
Saat sampai di rumah Alfira, aku langsung saja masuk ke dalam kamar Alfira. Aku dapat melihat Alfira tengah tertidur di atas kasurnya. Wajahnya terlihat kusam dan pucat. Aku membelai surainya pelan. Alfira mengerang kecil. Aku pun mencoba membangunkannya karena khawatir. Alfira pun terbangun dan terkejut mendapatiku ada di sampingnya. Kami berdua pun berbincang-bincang.
Hingga aku mendapati Riqui masuk ke dalam kamar Alfira. Dia dengan terang-terangan mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan Alfira. Perasaanku tidak enak. Hati kecilku menjerit. Menyuruhku agar tetap tinggal di sana dan dengan polosnya menanyakan “sesuatu apa?” atau kata sejenisnya. Namun otak dan tubuhku tidak ingin menuruti jeritan hati kecilku. Aku berkata pada Alfira, ingin keluar sekaligus membuat alibi. Pada akhirnya aku keluar kamar.
Aku dapat mendengar dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Riqui berbicara dengan nada serius. Dia melamar Alfira! Seketika lututku lemas. aku segera menyandarkan tubuhku ke tembok di belakangku. Air mata meluncur dengan lancarnya di pipiku.
Baru kusadari...
Cintaku bertepuk sebelah tangan…
Kau buat remuk, seluruh hatiku...
Oh, apa itu suara hatiku?
Ternyata bukan. Itu hanyalah suara lagu berjudul “Pupus”. Mungkinkah Kak Daila yang memutarnya?
Oh, kisah ini klise sekali bukan? Aku sukses dibuat patah hati olehnya. Ini menyebalkan! Kebaikannya sukses membuatku baper. Bahkan aku sempat mengira dia memiliki perasaan khusus padaku, namun ternyata itu hanya pradugaku saja. Dan aku sepertinya terkena karma karena pernah sempat berpikir untuk membuatnya jatuh hati dan memeras kekayaannya. Ya, itu pikiran terkonyol yang pernah ada di kepalaku!
Sudahlah, lupakan memori menyakitkan itu. Kembali pada toko emas. Kami berada di sana sekitar satu jam lebih beberapa menit. Ini karena Alfira yang lama sekali dan kebingungan saat memilih pasangan cincinnya. Semua ini membuatku kesal. Namun aku tidak dapat menampakkan raut kesalku di depan sahabat terbaikku. Alhasil dari menemani hingga saat pulang, aku hanya bisa tersenyum simpul ke arahnya.
Mereka tidak menyadari mood burukku. Hanya Kenzo yang menyadarinya. Karena tiap aku kesal, Kenzo selalu menatapku. Seakan dia memperhatikan tiap gerak-gerikku. Aku melengos malu karena ekspresi yang paling ingin kusembunyikan diketahui orang lain. Terlebih itu sobat dekat Riqui.
Kekesalanku memuncak saat mendapati orang yang paling kubenci dan membuatku iri memasuki toko. Dan dia dengan santainya menyapaku, Alfira, Riqui, dan Kenzo tanpa melihat wajah kesalku saat menanggapi sapaannya.
“Hai teman-teman! Kalian sedang apa?” Aneta, gadis kaya yang kubenci itu menyapa dengan nada riang dan senyum yang tersungging di bibirnya.
“Kau tidak bisa melihat ya?”
“Aduh Alma, kenapa kamu sewot begitu? Lagi sebal ya?” Aku berdecak sebal mendengar pertanyaan sok dekat dari gadis twin tail itu. Tapi memang kami sempat pernah kenal dekat selama enam tahun saat kecil sih. Kami akrab hingga dia menuduhku.. oh, bahkan memfitnahku bahwa aku telah mencuri benda berharga di rumahnya.