Iri

AAA
Chapter #5

Aneta Si Kaya

.

.: oOo :.

Kekayaan, keindahan, kemewahan. Kudapatkan itu semua. Hingga kusadari, tidak hanya semua itu saja yang berharga.

.: oOo :.

.

Seperti biasa, pagi ini aku datang ke sekolah dengan kendaraan mewah. Sebenarnya aku ingin naik limousine, tapi jalan depan sekolahku terlalu sempit. Limousine mewahku pasti tidak dapat berbelok dengan benar. Terpaksa aku harus pergi sekolah diantar mobil Ferrari. Kebetulan Papa baru pulang dari luar negeri. Papa membawa oleh-oleh mobil ini untuk kendaraan berangkat sekolah. Kata Papa, kalau aku sudah membuat dan memiliki surat ijin mengemudi, mobil Ferrari itu akan diberikan sepenuhnya padaku.

Aku mengintip arloji merah muda yang terpasang indah di pergelangan tanganku. Beberapa menit lagi bel masuk berbunyi. Aku kembali menatap keluar jendela. Jalanan ramai, tapi letak sekolahku sudah dekat. Aku tersenyum puas. Dapat kulihat Elio tengah berlari kencang untuk mengejar waktu. Tidak perlu susah payah berlarian. Sang supir sudah tahu timing yang tepat agar aku datang tepat waktu. Mobil tiba di depan sekolah tepat satu menit sebelum bel berbunyi. Meski tengah megejar waktu, banyak pasang mata yang memperhatikanku. Aku tersenyum semanis mungkin saat keluar dari mobil. Berterima kasih pada pak supir yang telah mengantarku tepat waktu.

Dengan santai dan anggun aku berjalan masuk ke dalam gerbang. Menyelipkan rambut panjangku yang mengganggu pandangan ke belakang telinga. Perilaku sederhanaku itu tentu saja menarik beberapa pasang mata, kebanyakan laki-laki. Awalnya aku keheranan mengapa mereka memusatkan perhatiannya padaku. Tapi aku tiba-tiba teringat perkataan Belvana beberapa hari yang lalu.

Hmm..., katanya di sekolah ini semua mengenal kita. Kabarnya sih, aku populer karena wajahku, sejak aku mengikuti kontes itu sepertinya, ya. Lalu kalau kamu Aneta, kamu dikenal karena hartamu. Kamu memang kaya sih. Lalu Deandra, kamu terkenal karena kekuatan dan kemampuan bela diri. Aku baru sadar, sepertinya kita bertiga itu populer ya!

Aku tersenyum untuk membalas tatapan mereka lalu melenggang pergi ke kelas. Saat masuk ke dalam kelas, aku disambut kedua sahabat karibku. Belvana dan Deandra. Kami bertiga saling mengenal satu sama lain sejak tahun pertama SMA di mulai.

Belvana, dia itu gadis tercantik seantero sekolah. Kecantikannya memang tiada duanya. Bahkan ekstrakurikuler yang diikutinya semakin memancarkan pesonanya. Ditambah lagi dia aktif mengikuti kontes-kontes kecantikan. Sejak dia dinobatkan menjadi duta kecantikan remaja, namanya semakin populer. Banyak tawaran pekerjaan mengantre. Mulai dari pekerjaan menjadi model majalah, model mode pakaian, bahkan hingga menjadi aktor film maupun drama. Anehnya, Belvana selalu menolak tawaran pekerjaan itu. Katanya, dia lebih memilih membantu toko roti keluarganya ketimbang mengambil pekerjaan itu. Sebenarnya, hampir semua orang mengenalnya. Hanya saja Belvana tampak tak peduli.

Deandra. Dia adalah gadis yang juga populer di kalangan lelaki. Seperti Belvana. Begitulah pikirku pada awalnya. Namun, kepopuleran Deandra ternyata berbanding terbalik dengan Belvana. Jika Belvana populer karena dirinya cantik, lain dengan Deandra. Deandra populer karena bakat alaminya! Bukan, bukan bakat alami seperti hewan yang liar. Melainkan bakat alami dalam bela diri. Reflek tubuhnya sangat bagus. Sehingga dalam menghindar ataupun menyerang lawan, kecepatan Deandra sudah tidak diragukan lagi.

 Hmm, perkataan Belvana membuatku teringat sesuatu yang menjengkelkan. Kemarin, ada cowok yang mengajakku pergi jalan-jalan di kota. Istilah kerennya berkencan. Dia mengajakku berkeliling di mal dan naik rollercoaster di taman bermain pusat kota. Sebenarnya menyenangkan. Hanya saja, dia tidak tahu jika jalan-jalan mengenakan sepatu berhak tinggi itu menyiksa. Bahkan dia juga tidak tahu wahana yang romantis untuk dinaiki pasangan kencan. Hingga kencan itu berakhir dengan seluruh umpatannya hanya karena aku mengeluh padanya. Hingga emosiku naik karena mendengarnya berkata, “Untung kaya, kalau nggak pasti nggak akan laku!”

Setelah aku meninju pelan dada cowok itu, aku berlari kencang menahan tangis. Selalu saja seperti itu. Semua orang selalu menganggapku bodoh. Bahkan terlalu bodoh untuk dibodohi. Begitu juga dengan kedua orang tuaku. Mereka terkadang menganggapku tidak memiliki otak, atau bahkan berpikir jika makhluk halus mencuri organ di kepalaku saat berada dikandungan.

“Aneta!”

Uh..., oh, Ada apa?”

“Kamu kenapa? Habis bertengkar sama Raka ya?” Belvana, benar jika aku sedang berada di mood yang buruk. Tapi tidak ada masalah dengan itu. Dan juga, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sedang bertengkar dengan Raka? Kamu esper kah?

“Oh..., iya! Kamu kan belum menceritakan pada kami bagaimana kamu bisa bertunangan dengannya!” Deandra, kamu tahu betul percakapan yang membuatku mendapatkan semangat kembali. Hmm, mau bagaimana lagi. Para sahabaku saat ini sudah menatapku dengan binar penasaran di bola matanya. Aku pun memulai kisahku dengan volume suara sedang.

Lelaki itu bernama Raka. Aku baru menyadari keberadaannya sebagai teman sekelas sejak suatu kejadian yang membuatku jatuh hati seketika padanya. Saat itu cuaca cerah sekali. Hingga membuat kerongkonganku kering. Kepalaku terasa pening. Pandanganku berputar, hingga aku kehilangan keseimbangan. Aku pasrah menunggu rasa sakit tubuh karena bertubrukan dengan paving sekolah di dekat lapangan basket. Namun, yang kurasakan tubuhku mengambang di udara. Sepertinya seseorang tengah menggendongku untuk mencegah tubuhku jatuh ke bawah.

Benar dugaanku, seseorang menggendong tubuhku. Samar-samar kulihat wajahnya yang tampak tenang. Dia menanyakan keadaanku dengan suara lembut. Ya, persis seperti pangeran yang selama ini kuimpikan. Pangeran, itulah kriteria pasangan yang kuinginkan. Hidupku yang sempurna bagaikan tuan putri, akan menjadi semakin sempurna dengan hadirnya sosok pangeran pujaan hati. Aku sukses dibuat jatuh hati olehnya. Tiada hari-hari tanpa memperhatikan apa yang tengah dilakukannya. Belvana dan Deandra yang menyadari itu terkadang menggodaku karena terlalu sering memperhatikannya.

Hingga di ulang tahunku yang keenam belas, kedua orang tuaku memberiku hadiah ulang tahun yang sangat mengejutkan. Cincin emas yang cantik dengan mata cincin intan putih. Mereka juga menjelaskan bahwa aku akan bertunangan dengan seseorang. Aku langsung membayangkan calon tunanganku, pangeran yang menolongku pastinya.

Aku pun menyadari, tidak mungkin dia menjadi calon tunanganku. Aku murung. Pesta ulang tahun yang diselenggarakan besar-besaran oleh kedua orang tuaku terasa suram untukku. Sebenarnya aku ingin menolak hadiah kedua orang tuaku. Tapi, situasi membuatku tak dapat berkutik. Hingga kedua orang tuaku mengenalkan calon tunanganku. Ya, dia adalah Raka! Dia pangeran yang membuatku jatuh hati! Klise sekali bukan?

Bel berbunyi, aku mengakhiri kisah singkat romansaku. Belvana dan Deandra menatapku dengan ekspresi cengo. Aku terkikik geli melihat ekspresi mereka. Lalu membubarkan mereka karena aku melihat guru matematika yang rambutnya memutih. Guru itu mengucapkan salam lalu mengambil spidol dan mulai menuliskan soal rumit yang membuat dahiku berkerut-kerut. Aku tidak tahu jika hari ini ada tes. Apa mereka lupa memberitahuku ya?

.~oOo~.

Dari kejauhan tampak Aneta tengah berjalan dengan santai. Senyuman tersungging di wajahnya. Namun berlainan dengan hatinya. Dia rupanya masih galau dengan tes matematika yang mendadak. Hanya saja Aneta menyembunyikan kegalauannya dengan menyunggingkan senyuman. Bel pulang sudah berbunyi sejak tiga puluh menit tadi. Namun Aneta tidak segera pulang. Sopirnya tengah terjebak macet. Mau tidak mau Aneta harus menunggu. Dikarenakan Belvana sibuk dengan latihan lomba kecantikan sedangkan Denadra sibuk latihan di dojonya, alhasil Aneta terpaksa harus duduk di tribun menonton latihan basket Raka.

Di lapangan tampak Raka, Riqui, Elio, dan Kenzo bertanding dengan empat anggota satu klub mereka. Elio memainkan bola basketnya dengan lihai dan penuh tipuan. Dia mengoper bola pada Kenzo yang berada di dekat ring lawan. Kenzo pun melakukan loncatan untuk mencetak poin dengan kerennya. Bola masuk ke dalam ring, peluit ditiup wasit. Sejenak Aneta kagum melihat kerja sama permainan Elio dan Kenzo.

Bunyi ringtone terdengar. Aneta melihat layar gawainya. Rupanya ada panggilan yang masuk di ponsel canggihnya itu. Dia pun menekan layar untuk menerima panggilan. Rupanya itu sopir pribadinya memberi tahu Aneta bahwa dia sudah dekat dengan sekolahnya. Aneta pun memanggil dan melambaikan tangannya pada Raka untuk memberi kode lalu beranjak dari sana.

Aneta kini sudah berada di depan gerbang sekolah. Mobilnya belum datang. Dia mulai celingukan mencarinya. Ternyata mobilnya sudah berada lima meter dari tempatnya berdiri. Deru mobilnya menarik perhatian beberapa pasang mata. Mobil mewah itu berhenti tepat di depan Aneta.

Aneta menyelipkan rambut yang mengganggu area pandangnya. Hari itu dia terlalu malas untuk menguncir dua rambutnya. Lagipula kuncir dua terlihat sangat kekanakan. Bulu kuduknya sedikit meremang. Sepertinya ada seseorang yang mungkin tengah memperhatikannya dengan tatapan mengerikan. Aneta tersenyum manis hingga kedua matanya tertutup, menoleh ke arah seseorang yang menatapnya. Rupanya itu Almahyra.

Aneta ingin segera pulang dan beristirahat di kasur empuknya. Dia masuk ke dalam mobil mewahnya dengan sedikit terburu-buru. Saat mobil Aneta akan masuk ke dalam jalur jalan raya, sebuah van hitam melaju dengan lumayan kencang. Setelah mobil Aneta berada tepat di belakangnya, van itu berhenti dengan mendadak. Mobil Aneta nyaris menabrak van itu. Aneta melontarkan tatapannya ke depan untuk mencari tahu apa yang tengah terjadi. Menyebalkan sekali, lehernya sakit karena rem mendadak sang sopir.

Wajah Aneta terperangah. Dia melihat Almahyra tengah di seret masuk ke dalam van hitam itu. Pria berbaju jins hombreng menaikkan paksa tubuh Almahyra ke dalam van hitam. Di trotoar, ada Elio dengan kepala bersimba darah. Aneta sedikit heran dengan Elio yang tadinya masih berada di lapangan dan tengah bertanding, kini sudah tumbang di trotoar. Aneta tidak dapat berkata apa-apa. Kedua matanya fokus menatap van hitam yang kini mulai melaju dengan cepat.

“Pak. Ikuti mereka...!” Aneta berkata dengan tenang. Dia menyunggingkan senyum tipis yang janggal. Mobil van itu mulai menurunkan kecepatannya setelah beberapa menit mengebut. Kini mobil van itu masuk ke dalam gang dengan gapura yang hancur sebagian. Suasana di sini sepi dan terasa mencekam. Maklum, saat mobil Aneta masuk ke dalam gang, dia dapat melihat pemandangan kebun tebu di sisi kanan dan kiri jalan.

Mobil van itu melaju dengan kecepatan pelan. Begitu juga mobil Aneta yang kini berjarak lima meter darinya. Tips dalam mengikuti mobil adalah menjaga jarak sejauh mungkin, namun juga tidak terlalu jauh. Kemudian tidak menyamai kecepatan mobil yang tengah diikuti.

Mobil van itu berbelok ke kanan dan menghilang ditelan kebun tebu. Aneta menyuruh sopirnya untuk tidak menambah kecepatan. Dia juga menyuruh sopirnya untuk jangan berbelok dulu. Mobil Aneta pun sampai di tikungan tempat berbeloknya van hitam. Di sana ada tanah lapang luas di depan sebuah gedung tua. Tepat di depan gedung tua itu, terdapat mobil van hitam yang dibuntuti Aneta.

Anetapun menyuruh sopirnya untuk berbelok ke kanan. Setelah sudah dekat dengan van hitam, Aneta menyuruh sang sopir untuk menghentikan laju mobil. Dia turun dari mobil dan dengan memberanikan diri, berjalan mendekat van hitam. Di dalamnya hanya terdapat satu orang lelaki berbaju jins hombreng. Bukan, dia bukan seseorang yang menarik paksa Almahyra tadi. Dia kawannya, sepertinya orang yang hampir menyebabkan kecelakaan, sopir mobil van hitam.

“Hei gadis manis..., kau seharusnya tidak di sini!”

“Tidak, aku memang seharusnya di sini. Kulihat kalian menculik Almahyra. Kalian lihai juga...!”

“Jangan remehkan kami gadis manis. Kau akan menyesal!”

“Jangan mengancamku om preman, kau tahu kan siapa papaku?” Lelaki itu tertawa. Dia menyentil batang rokok yang menyala di tengah cupitan jari telunjuk dan jari tengahnya. Aneta terbatuk-batuk karena asap rokok lelaki itu terbawa angin dan berhasil dihirupnya.

“Kuharap dia tidak ikut campur kali ini. Kalau tidak, hehe..., tamat dia!”

“Apa maksudmu? Bukankah kalian anak buah papaku?”

Lihat selengkapnya