.
.: oOo :.
“Bagiku perempuan tangguh adalah idola. Tapi, aku melupakan perempuan cantik yang juga menjadi idola.”
.: oOo :.
.
Serang, tangkis, serang, tangkis, hindar, tendang, hindar. Sosok gadis bercepol dua itu berhenti sejenak. Napasnya terengah. Suhu tubuhnya naik. Bahkan dapat diasakannya butir keringat keluar dari pori-pori kulit. Dia menatap sang lawan dengan tajam. Namun, sang lawan tidaklah merasa terintimidasi. Nyatanya, sang gadis malah tampak manis saat menatap pemuda sipit yang di lawannya.
Iris cokelat gelapnya terlihat berbinar. Bibir kecil yang penuh itu mencebik. Dua pipi tembemnya sesekali bergetar karena pergerakan cepat. Rona merah di kedua pipinya yang muncul karena suhu tubuh tinggi itu menambah kecantikan sang gadis. Sang gadis menarik napas dan mengeringkan keringat yang meluncur di keningnya.
Sang pemuda ikut menghentikan pergerakannya, mengetahui si gadis berhenti untuk mengambil napas. Dia melontarkan senyum. Senyum biasa, namun dapat membuat matanya seolah terpejam. Maklum, dia memang memiliki gen sipit dalam tubuhnya. Jadi, setiap dia menutup matanya sedikit saja, irisnya akan menghilang di balik kelopak mata.
Melihat mata si pemuda sedikit terpejam, si gadis tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Deandra, si gadis meluncurkan kepalan tangan kanannya dengan cepat. Dan dengan cepat pula, pemuda sipit itu menghindarinya. Deandra mencebik, lalu berdecak kesal. Tak dikira jika melawan Kenzo yang sipit akan memakan waktu. Tidak seperti biasa, Deandra tampak kewalahan melawan Kenzo.
Ke mana Deandra yang selalu cepat memenangkan pertarungan melawan pemuda? Apakah kemampuan Deandra menurun karena kemarin dia sempat pergi karaoke dengan dua sobatnya? Ataukah itu karena dia mulai menggeluti hobi merajutnya? Atau, mungkinkah kemampuan Kenzo lebih unggul darinya?
Sepertinya benar. Deandra harus menerima fakta menyakitkan. Dia tidak mungkin bisa mengalahkan Kenzo. Kemampuan bela dirinya tidak sebanding dengan Kenzo. Atau bisa dikatakan, kemampuan Kenzo jauh di atasnya. Deandra limbung kehilangan konsentrasi, dengan cepat Kenzo maju mendekat dan memojokkannya di dinding.
Salah satu tangan kenzo menekan leher Deandra. Atau lebih tepatnya lengan kanannya. Tangan kirinya digunakan untuk menahan tumpuan. Tangan kanan yang menekan leher Deandra itu di remas dan di dorong oleh Deandra. Tapi, tetap saja. Deandra kalah tenaga, lehernya hampir tercekik.
“Agh...!”
“Menyerahlah Dea…!”
Deandra menatap dua iris cokelat muda Kenzo. Tatapannya tampak aneh. Ekspresinya juga. Ini seperti bukan Kenzo. Beberapa saat kemudian, Kenzo menjauhkan tubuhnya dari Denadra. Deandra langsung terbatuk karena air liurnya masuk ke dalam jalur yang salah. Dengan muka sedih, Deandra berlalu dari tempat pertarungan dan keluar dari sanggar bela diri.
“Dengan begini, kau menggantikan Deandra. Terima kasih Kenzo....” Sosok lelaki dengan rambut memutih itu bersidekap dan berdiri di atas tatami. Lantai tradisional khas negara matahari terbit itu masih bergerak akibat gerakan Deandra dan Kenzo. Lelaki itu menatap Kenzo dengan tatapan teduh.
“Iya, Om.” Kenzo menggaruk pipinya canggung.
Gubraaak! Tiba-tiba, bunyi sesuatu terjatuh terdengar dari arah luar sanggar bela diri. Ketiga orang di dalam ruangan itu menolehkan pandangannya ke arah pintu. Sesuatu menggelinding di depan sana.
“Itu pasti Dea, biarkan saja dia. Dan kau, apa kau juga ikut melawan mereka?” Tatapan lelaki itu berubah arah. Dia menatap Elio dengan tatapan menuntut. Elio mengangkat dagunya dengan percaya diri.
“Wah, tentu saja Om! Aku punya urusan dengan mereka. Kali ini aku pasti akan ngehajar mereka,” Elio tersenyum sinis sambil membayangkan pembalasan dendamnya.
“Baguslah kalau begitu. Pertandingan akan dimulai besok. Persiapkan tubuh kalian sebaik-baiknya. Hari ini kita sudahi dulu.” Lelaki itu mengakhiri pembicaraanya. Dia berlalu keluar dari sanggar beladiri tanpa menoleh kembali ke arah dua remaja yang masih betah berada di dalam sanggar. Kenzo dan Elio yang di sana terdiam beberapa saat.
“Gue nggak nyangka loe berani ngelawan cewek.” Elio, sobat Kenzo menanggapi setelah merasa lelaki berumur kepala empat yang merupakan ayah Deandra tadi keluar. Dia duduk bersila di atas tatami dengan santainya. Senyum miring dilontarkannya pada Kenzo.
“Aku terpaksa. Mereka memang tidak sebanding dengan Dea.”
“Hmm? Loe suka sama Deandra yah?”
“Hehe….” Kenzo terkekeh dengan cengiran tak biasa. Dia sedikit salah tingkah karena perkataan Elio. Rupanya perkataan Elio tepat sasaran. Kenzo memanglah menyukai Deandra, atau bahkan mencintainya? Yang pasti, Kenzo tidak ingin Deandra ikut melawan mereka. Kenzo hanya takut Deandra terluka. Dan dia tak ingin hal itu terjadi.
“Yuk…, pulang!” Elio berseru. Lalu kemudian dia berdiri dari posisi duduknya hanya dengan satu hentakan kaki saja. Kenzo mengangguk. Mereka berdua pun pergi ke ruang ganti baju dan mengganti seragam karate dengan seragam sekolah mereka. Maklum, sepulang sekolah mereka langsung saja pergi ke sanggar bela diri ini.
“Woi Kenzo, di tangan loe ada cap tangan tuh. Sejak kapan? Jangan-jangan....” Elio melebarkan matanya, dia tampak terperangah dengan cap tangan kecil itu. Sebenarnya tidak terlalu kecil. Hanya saja, jika dibandingkan, cap tangan itu seukuran dengan tangan Deandra. Elio terdiam dari aktivitasnya.
“Iya, aku tahu. Gadis itu kuat sekali,” Kenzo menanggapi perkataan Elio.
.~oOo~.
Langit pagi ini cerah sekali, bersih dan biru tanpa awan. Mungkin ada sedikit awan. Tapi hanya berupa semburat-semburat tipis seperti goresan cat di kanvas. Ameera menyeka keringat kecil yang muncul di dahinya. Pagi ini dia telah berhasil membersihkan seluruh isi tempat konseling. Memang sudah jadwalnya untuk bersih-bersih, jadi dia sengaja datang pagi-pagi hanya untuk bersih-bersih sendiri.
Coba kita lihat. Tadi Ameera sudah membersihkan bilik kecil yang terdapat mawar kuningnya. Ternyata meski ruangan itu tidak terpakai dan hanya ada perabot berupa meja yang menjadi tempat mawar kuning di vas, lipatan debu muncul di sana. Beberapa mawar kuning di vas ternyata juga sudah layu. Mungkin karena Ameera lupa untuk menyiramkan air sebelum pulang kemarin. Sayang sekali. Jadi, Ameera dengan berat hati memotong beberapa mawar kuning di depan Conscientia.
Setelah membersihkan bilik kecil itu, Ameera pun mulai membersihkan ruang konseling. Sofa empuk di tempat tunggu ternyata berdebu juga. Jadi Ameera harus memukulinya dengan rotan untuk menghilangkan debu yang masuk ke dalam sofa. Mungkin, karena tempat ini jarang dikunjungi pelanggan, debu jadi suka bersarang di sofa. Setelah memukuli sofa-sofa di tempat tunggu, Ameera mulai menyapu dan mengepel lantai di sana.
Melelahkan memang, tapi semua itu demi kenyamanan pelanggan yang datang ke Conscientia.
Dan kini, dia tengah berhenti sejenak dari pekerjaan memangkas tanaman mawarnya untuk melihat langit dan memperkirakan pukul berapa saat ini. Matahari bersinar lebih terik dari biasanya, padahal ini masih pagi, juga saat ini sudah mulai memasuki musim hujan. Tapi aneh sekali, tidak ada satupun awan gelap yang menghiasi langit.
Ameera memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya karena beberapa orang sudah mulai bermunculan. Bahkan toko roti di samping Conscientia menguarkan bau harum khas roti yang lezat. Ameera tersenyum sambil menikmati bau lezat roti. Hingga suara lembut seseorang menyapu pendengarannya.
“Kak Ameera? Tumben pagi-pagi sudah buka?” Rupanya dia adalah Belvana. Seperti biasa, dia rajin sekali membantu kedua orang tuanya di hari libur seperti ini. Benar-benar anak yang berbakti. Pesonanya tidak hanya itu saja, dia juga cantik dan baik hati. Karena itu, dia memiliki banyak teman dan mudah bersosialisasi. Bahkan selama ini, hanya Belvana dan keluarganya sajalah yang sangat baik pada Ameera. Mereka tidak mengerinyit aneh saat melihat atau mendapatinya di depan tempat konselingnya. Sebaliknya malah menyapa dengan lembut, bahkan terkadang Belvana memberikan roti atau biskuit pada Ameera.
“Iya, hari ini kan jadwalnya bersih-bersih, jadi harus lebih pagi dari biasanya.”
“Oh, begitu. Oh iya kak, tunggu sebentar ya!” Belvana masuk ke dalam toko roti ‘Belvana’ dengan sedikit terburu-buru. Ameera hanya diam tak bergeming dan menunggu gadis cantik itu. Beberapa saat kemudian, Belvana muncul dari dalam toko roti sembari memegang bingkisan kertas bertuliskan nama toko roti yang terkenal seantero kota itu. Hanya dengan melihat bingkisan, Ameera dapat mengetahui isinya. Pasti itu berisi roti yang masih hangat.
“Ini titipan dari mama, kata mama terima kasih untuk mawar kuningnya. Lalu… kata mama, jangan bocorkan ini pada papa ya...!” Belvana berbisik saat mengatakan kalimat terakhirnya. Dia memberikan bingkisan itu pada Ameera. Ameera tertawa kecil. Memang, kemarin mama Belvana pergi ke Conscientia sembari membawa biskuit. Lalu ternyata mama Belvana betah berada di sana dan berakhir dengan dia curhat pada Ameera mengenai papa Belvana yang cueknya minta ampun.
“Terima kasih. Aku tidak akan memberitahu papamu. Lagipula, aku tidak pernah melihat papamu.”
“Oh, kalau membicarakannya aku jadi ingat. Tadi aku dimintai tolong untuk membelikan persediaan bahan kue yang hampir habis! Sudah dulu ya kak! Semoga harimu menyenangkan!” Belvana mejauh sambil melambaikan tangannya pada Ameera yang juga membalas lambaian tangan Belvana. Dia lalu menatap bingkisan di tangannya sedikit lama. Kemudian dibukanya sedikit untuk mengintip isinya. Oh, perutnya berbunyi mencium bau roti hangat di dalam bingkisan di tangannya.
Ameera pun menutup bingkisan itu kembali dan beranjak akan masuk ke dalam Conscientia kalau saja matanya tidak menangkap sosok seorang yang asing. Dia mengenakan pakaian khas beladiri berwarna putih, taekwondo atau karate mungkin? Melihat orang asing itu membuat Ameera teringat pada seseorang. Seseorang yang pernah mengunjungi Conscientia. Pelanggannya. Gadis mungil dan manis yang tanpa diduga ternyata mempunyai kemampuan beladiri yang hebat. Dan hari ini, Ameera bermaksud untuk menceritakan kisah tentangnya.
.~oOo~.