.
.: oOo :.
“Cantik. Satu pujian itulah yang banyak terucap padaku. Tapi, kenapa aku tidak bisa sebahagia dirinya?”
.: oOo :.
.
Kenapa semua menjadi seperti ini? Berat sekali. Aku kesulitan. Adakah yang dapat menolongku? Meringankan bebanku sedikit saja. Tolong aku. Aku menyesal, sangat menyesal. Kalau saja aku tidak mengerahkan semuanya untuk ini, aku tidak akan menjadi seperti ini. Kenapa aku serakah sekali? Kukira semua akan baik-baik saja. Kukira jika aku melakukannya, akan merubah semua menjadi lebih indah.
Ternyata kenyataan memanglah tidak seindah fiksi.
Ah, aku tidak dapat menghentikan ini. Aku tahu ini tidak sehat untukku, terlebih aku ini seorang perempuan. Tapi, aku tidak dapat mengehentikan semua ini. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan agar semua kembali normal seperti sedia kala. Aku harus bagaimana? Aku ingin meminta bantuan orang lain, tapi semua ini menyangkut repurtasiku.
Aku mengisapnya sekali lagi sambil berdiri. Butuh beberapa menit lagi untuk menghisap satu batang ini. Sebenarnya aku tidak ingin seperti ini. Tapi setelah menghisapnya sekali, aku selalu ingin lagi dan lagi. Ini sudah menjadi candu untukku. Bahkan aku saja tidak sadar kalau sudah mengisapnya dua batang. Hingga suara seseorang sangat mengagetkanku.
“Belvana?” Sosok cowok bermata sipit tampak terkejut mendapati kehadiranku.
Uh oh. Aku langsung mematikan putung rokok yang masih menyala dan menyembunyikannya di genggaman tanganku. Dia tak melihat benda yang kugenggam saat ini kan? Tak kusangka, tempat sesepi ini masih ada orang yang menempati. Ini aneh. Terlebih itu Kenzo. Setahuku Kenzo itu suka sekali baca buku. Jadi peradabannya pasti di perpustakaan sekolah. Sangat tidak mungkin baginya pergi ke lantai tiga yang pintunya sangat rahasia ini.
Yap, pintu untuk menuju lantai tiga di sekolahku adalah dari jendela di lantai tiga. Letak jendela ini juga tersembunyi dan sulit untuk dideteksi, kecuali seseorang yang memiliki mata tajam. Ah, benar juga. Mata Kenzo kan tajam sekali. Meski pandangannya tidak luas, tapi orang bermata sipit itu terkenal dengan ketelitiannya. Tapi, untuk apa dia datang ke lantai tiga ini?
“Kenzo? Kenapa kamu di sini?”
“Aku ingin membaca di atap.” Kenzo mengangkat tangannya yang memegang buku.
Hah? Di perpustakaan kan juga bisa! Dan sepertinya juga lebih nyaman di sana daripada di sini! Kenapa dia aneh sekali sih? Terkadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiran cowok blasteran Jepang-Indonesia ini. Pikirannya terlalu rumit untuk kumengerti. Otaknya itu mungkin terbuat dari mesin baja berkualitas tinggi dengan banyak puzzle dan teka-teki, jadi jarang sekali konslet dan sulit sekali dimengerti.
“Kenapa tidak di perpustakaan saja? Di sana kan nyaman. Ada AC-nya juga.”
“Tidak sehat.”
Hah? Apa maksudnya?
“Pakai AC itu tidak sehat. Dan juga, merokok itu tidak sehat, Belvana.”
Aku terdiam ketakutan. Dia tahu! Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia melaporkan semua ini ke badan konseling? Ah, tamatlah diriku. Pasti mereka akan menjadi benci padaku. Padahal mereka sudah menggantungkan semuanya padaku, mempercayaiku. Aku menatap tajam Kenzo. Semoga tatapan tajamku dapat membuatnya terintimidasi.
“Dan kau pasti tidak akan membahas soal ini pada siapa saja.”
“Untuk apa?” Kenzo tertawa kecil. Dia kemudian pergi melewatiku dan sampai di sisi lain dari lantai tiga. Memangnya di sana ada tempat ya? Aku pun mengekorinya, untuk memuaskan rasa penasaranku dan memastikan dia dapat memegang janjinya.
Ah, aku tidak tahu di lantai tiga ada tempat seindah ini. Ternyata di lantai tiga ini ada sebuah kanopi kecil dengan beberapa meja usang di bawahnya. Di atas semua meja usang itu ada banyak sekali barang-barang terbuat dari kaca. Beragam bentuknya juga beragam warnanya. Botol, merah, gelas, kuning, cangkir, biru, mug, hitam, tatakan, putih, mangkuk kecil, ungu. Ah, aku pusing melihat banyaknya kaca dan warna spektrum di sana.
Dapat kulihat Kenzo mendekat ke meja-meja itu dengan langkah sedikit menghentak dan berbunyi. Kemudian dia mengambil beberapa benda di atasnya lalu mundur beberapa langkah dan bergeser sedikit ke arah berlawanan dari kanopi. Ditaruhnya benda-benda kaca itu di sebelah kanan kakinya yang sedang berdiri. Dia menaruh semua kaca yang dibawanya kecuali satu, sebuah mug kecil berwarna putih gading. Mug itu tampak lucu. Kenzo kemudian mengambil ancang-ancang, dan…,
PRAAANG!
Aku terpana sekaligus tertegun melihat Kenzo melemparkan mug kaca itu ke arah dinding di sebelah kanan kanopi. Masalahnya, yang membuatku terkejut adalah cara yang Kenzo gunakan untuk melemparkan mug itu. Bahunya tampak tegang, bahkan tangannnya tampak sedikit bergetar. Bukan bergetar gugup. Namun, bergetar seakan menahan gejolak emosi yang besar. Aku juga dapat mendengar deru napasnya yang tampaknya terengah dan berat.
“Ken... zo?”
“Kamu masih di sini? Maaf membuatmu melihat hal yang tidak enak untuk dipandang.” Suara Kenzo terdengar sangat berat. Tidak selembut biasanya, suara ini membuatku bergetar ketakutan. Dia siapa? Dia bukan Kenzo. Kenzo tidak seperti ini. Punggungnya tidak setegang itu. Suaranya tidak semenakutkan itu. Rautnya tidak segelap itu. Siapa dia? Ataukah Kenzo kerasukan entitas yang tinggal di atap sekolah?
“Kau… kau...” Apa ini? Padahal aku tadi berniat untuk mengintimidasi Kenzo, tapi kenapa malah aku yang ketakutan? Bagaimana ini... suaraku bergetar. Aku tidak berani menatapnya. Dia menakutkan. Jadi aku menatapi semut yang melintas di depanku sambil menggotong remah makanan.
Kuharap meski aku tidak membungkam mulutnya, Kenzo akan menutup mulut untuk satu rahasia terbesarku itu. Karena, Kenzo yang kukenal adalah Kenzo yang jago sekali menjaga privasi orang lain. Dia adalah cowok blasteran Jepang-Indonesia, kudengar orang Jepang sangat ahli dalam menjaga privasinya. Privasi miliknya saja mampu menjaga dengan baik, apalagi dengan privasi milik orang lain.
Sebuah gelas berwarna biru tersodor dari depanku. Tangan kuning Kenzo memegang gelas berwarna biru tua itu. Aku pun mendongakkan wajahku sambil memasang wajah tidak mengerti dan sedikit takut. Wajah gelap Kenzo sirna, kini wajahnya kembali seperti semula. Senyum lembut yang membuat matanya menyipit.
“Mau mencoba?”
‘Really Kenzo? Apa kamu masih kerasukan?’ batinku sedikit merasa takut.
“Untuk apa?” Jujur, aku benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran kaum adam di depanku ini. Untuk apa dia memecahkan barang-barang yang terbuat dari kaca itu? Barangnya juga masih bagus, cantik, dan lucu. Sangat disayangkan kalau dipecahkan tanpa alasan seperti itu. Kaca itu kan mahal. Lagipula, dari mana dia mendapatkan semua kumpulan barang berbahan kaca itu?
“Kamu sedang ada masalah kan? Daripada kamu merokok, lebih baik coba ini saja.”
Ingatanku melayang pada masa lampau, masa saat semuanya dimulai.
.~oOo~.
Bedak, maskara, perona pipi, lip tint, lip balm, eyeliner, brush set..., sepertinya sudah. Aku tersenyum menyelesaikan pemeriksaan barang bawaanku. Lengkap sudah alat bersolek milikku. Kututup kotak make up milikku sambil tersenyum simpul. Setelahnya, kutaruh ke dalam koper berwarna peach yang kemarin telah kupinjam dari Aneta. Nanti aku harus memberinya kue cokelat kacang sebagai ucapan terima kasih.
Alat untuk bersolek sudah. Centang. Baju tradisional kebaya juga sudah, centang. Lalu, gaun malam juga sudah, centang. Lalu setelahnya ada baju ganti, sudah. Hm, apa lagi ya...? Ah! Korset! Oh, ternyata sudah... sepertinya sudah semua. Apakah kalian bertanya-tanya aku sedang apa? Biar kujawab. Aku sedang menyiapkan benda yang akan kubawa untuk besok. Besok aku akan berangkat ke kota untuk mengikuti kontes kecantikan.
Oh! Kartu registrasiku! Ah! Ternyata sudah ada di sakuku.