.
.: oOo :.
“Perhatikan, pikirkan, dan rasakan. Tiga hal itulah yang dikatakan ibunda agar aku menjadi pria sejati. Tapi, tanpa wajah tampan, pria menjadi apa?”
.: oOo :.
.
Mungkin dari banyaknya kosakata yang ada di kamus tebal, hanya kata irilah yang dapat mendeskripsikan perasaanku saat ini. Cukup satu kata singkat berisi tiga huruf dengan dua huruf vokal itu. Kenapa? Hmm, wajar bukan jika kalian iri pada teman kalian karena dia disukai orang yang kalian cintai? Aku tidak bercanda.
Meski dia tidak mengatakannya dengan kata-kata, aku tahu dia menyukai sahabatku Elio. Aku tahu dari ekspresi wajahnya. Cara dia memandang Elio. Cara dia menatap Elio. Senyumannya yang tersungging untuk Elio. Rona pipinya yang muncul saat berbicara dengan Elio. Kilauan matanya yang terang saat mendapati keberadaan Elio. Cara berbicaranya yang menjadi manis saat di depan Elio. Cukup mudah membaca ekspresi Deandra.
Bahkan dibandingkan dengan membaca ekspresi wajah milik Alfira atau Aneta, ekspresi Deandra lebih mudah untuk ditebak. Ya, karena Deandra itu mudah sekali untuk ditebak. Sejauh ini, aku sudah berhasil menebak semua yang dirasakan Deandra. Senang, malu, marah, sedih. Semua perasaannya tertuang pada ekspresi wajah. Hanya satu yang tidak dapat kubaca. Pola pikirnya.
Pada dasarnya, Deandra adalah gadis yang lugu. Tapi dia tidak berpikiran sempit. Wawasannya luas meskipun dia tampak tidak begitu pintar. Pengetahuannya tentang bela diri sangat luas. Bahkan dulu saat aku baru mengenal Deandra, aku tidak menyangka jika Deandra yang memiliki tubuh semungil itu jago sekali bela diri. Aku bahkan sempat terkejut dengan kemampuannya yang dapat menumbangkan seorang pemuda hanya dalam beberapa detik saja.
Pola pikirnya tidak dapat kutebak. Kenapa dia yang jago bela diri itu sangat membenci latihan bela diri? Kenapa dia memanjangkan rambutnya padahal rambut panjang itu merepotkan saat bertarung? Kenapa dia repot-repot menggunakan kutek pada kuku tangan dan kakinya jika pada akhirnya mengelupas karena goresan saat latihan bela diri? Dan yang terakhir, kenapa dia bisa menyukai Elio?
Ah, semakin memikirkannya semakin tumbuh rasa iri di dadaku. Bukan waktunya untuk memikirkan hal sepele seperti ini. Waktunya untuk memikirkan bagaimana caranya agar kami memenangkan pertarungan untuk mempertahankan dojo milik ayah Deandra. Masalahnya musuh yang akan dihadapi nantinya adalah dojo legendaris yang sudah bertahun-tahun didirikan. Sebenarnya dojo milik ayah Deandra juga sudah lama didirikan. Hanya saja, dojo itu lebih lama didirikan dibandingkan dojo milik ayah Deandra.
“Kenzo sungguh, tolong biarkan aku ikut bertarung! Ya? Ya?” Deandra bergelayut pada lengan panjang seragam yang kukenakan.
“Tidak Dea. Kamu tidak boleh ikut bertarung.” Aku melepaskan pegangan tangan Deandra dengan lembut. Kemudian membuka loker baju. Mengambil satu setel baju karate beserta sabuk hitam milikku.
“Ayolah, Kenzo. Kali ini saja.” Aku mengarahkan pandanganku ke arah Deandra. dia memasang wajah memelasnya. Bagaimana ini? Kalau dia menatapku seperti itu, aku bisa saja luluh. Aku tidak boleh luluh, karena permintaan Deandra kali ini sangatlah beresiko.
“Tidak Dea. Tidak ada kali ini, tidak juga lain kali. Lagipula, kenapa kamu bersikeras? Bukankah kamu tidak ingin bertarung lagi?” Aku mencoba bertanya pada Deandra dengan lembut.
“Kumohon Kenzo, kali ini saja.” Deandra kembali bergelayut. Kali ini air matanya menggenang. Aku menghelakan napasku. Memantapkan niat untuk merespon.
“Jika kamu tidak mengatakan alasannya, jawabannya tetap tidak. Keluarlah, aku akan mengganti bajuku.” Deandra masih menjaga kontak matanya denganku. Aku menatapnya dengan tatapan memohon, berharap dia akan mengerti. Tapi, Deandra malah membalas tatapanku dengan tatapan yang sulit untuk kumengerti. Baru kali ini aku tidak dapat membaca ekspresinya. Setelah menatapku, dia melepaskan tangannya dan keluar dari ruangan dengan langkah sedikit tergesa.
.~oOo~.
Kenzo duduk bersila dengan tenang, menatap para lawan satu-persatu. Jumlah lawan ada empat orang. Dua diantaranya memiliki tubuh yang kurus, terlihat lemah. Tapi siapa tahu? Kenzo tidak pernah meremehkan lawan bertarungnya. Semua berkat ucapan ayahnya yang mendidiknya sendiri.
Sementara itu, di pihak kawan terdapat Kenzo, Elio, dan dua orang dari dojo lainnya duduk dengan tenang. Tidak dengan Deandra, dia duduk dengan tangan saling bertautan. Dia tidak tenang. Entah kenapa dia seperti itu. Yang pasti, itu bukanlah pertanda yang baik.
Benar saja. Pertandingan baru di mulai dan peserta dari pihak kawan tumbang begitu saja. Deandra semakin mengeratkan kedua tangannya. Kenzo masih saja duduk dengan tenang. Benaknya dipenuhi dengan berbagai macam strategi. Strategi untuk menumbangkan dua hingga tiga lawan.
Kali ini pemain kedua melawan pemain pertama lawan. Setelah mengerahkan seluruh kemampuannya, akhirnya pemain kedua pun dapat menumbangkan lawan. Dalam hati Deandra sedikit tenang. Poin kini berimbang. Tapi ini hanyalah permulaan.
Selanjutnya, pemain kedua melawan pemain kedua lawan. Pertandingan berlangsung sedikit lama karena kemampuan kedua pemain berimbang. Namun, hasil akhirnya adalah pemain kedua lawanlah yang mendapat poin. Dengan begitu, kini giliran Kenzo untuk bertarung dengan pemain kedua lawan.
Mereka berhadap-hadapan dalam garis zona bertarung. Kenzo dan pemain kedua lawan menunduk memberi salam untuk memulai pertarungan. Pertarungan tidak berlangsung lama. Kenzo mengakhirinya hanya dengan satu tinju. Pemain lawan kini berganti.
Tanpa beristirahat terlebih dahulu, pertarungan dilanjutkan. Kenzo berhadap-hadapan dengan pemain ketiga lawan. Saat Kenzo mencoba menganalisis, lawan tampaknya kuat. Tapi Kenzo tidak tahu seberapa tinggi kemampuan bertarung lawan. Tapi pada akhirnya Kenzo berhasil mengalahkan pemain ketiga lawan.
Deandra semakin bernapas lega. Kemudian Deandra memberikan air minum pada Kenzo. Diadakan istirahat selama lima menit. Setelahnya, pertandingan antara Kenzo dengan pemain keempat lawan pun dimulai.
Lawan Kenzo tampak santai dan percaya diri. Hingga Kenzo mulai menyerang lawannya. Sang lawan menanggapi serangan Kenzo dengan tangkisan ahli. Kenzo mulai menyerang lawan dengan serangan bertubi-tubi hingga membuat sang lawan tidak dapat berkutik. Sang lawan semakin mundur dan mundur. Hingga saat Kenzo hampir memenangkan pertarungan, pemilik dojo lawan memberi isyarat untuk meminta waktu.
“Gunakan saja kenpo. Dia tidak akan bisa menembus pertahanan....” Bisik pemilik dojo lawan.
Setelah beberapa saat. Pemilik dojo lawan dan lawan Kenzo selesai berbincang. Kenzo tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Namun yang pasti, Kenzo dapat menangkap seringai licik pada lawannya yang kini mendekat masuk ke dalam arena bertarung. Kenzo memasang kuda-kuda bertarungnya.
“Majulah!” Kata lawan Kenzo masih dengan seringainya.
Sang lawan tampak tidak memberi tanda-tanda untuk menyerang lebih dulu. Kenzo langsung saja melancarkan serangannya. Tinju, tendang, tinju, tendang. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Karena kini sang lawan memasang posisi bertahan. Kedua tangannya aktif melindungi semua titik vital yang akan diserang Kenzo. Pertahanannya sulit untuk ditembus.
“Bagus Daniel!” Pemilik dojo lawan memekik karena sepertinya rencananya sukses.
Setelah Kenzo berhenti menyerang karena kelelahan, lawannya langsung saja memberikan tendangan pada leher Kenzo. Kenzo langsung saja berlutut. Tendangannya penuh tenaga. Pemilik dojo lawan terkejut melihat Kenzo yang belum tumbang.