.
.: oOo :.
“Setiap masalah aku dapat menyelesaikannya dengan cepat dan akurat. Beberapa orang menyebutku si jenius. Tapi, ada satu masalah yang kesulitan kupecahkan. Aku kalah dari perempuan yang kucintai.”
.: oOo :.
.
Kyoto, Jepang.
Aku menengadah menatap langit sambil menyesap benda silinder kecil di sela jari telunjuk dan jari tengahku. Asap putih mengepul saat aku melepaskan napas dari mulut. Asap itu menguap dan mengudara begitu saja. Tampak seperti akan menyatu dengan gumpalan-gumpalan awan di angkasa.
Apakah rasa rindu dapat diobati semudah hilangnya asap rokok?
Entahlah. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku. Aku tidak tahu kenapa diriku menjadi seperti ini. Aku tidak tahu kenapa aku mau melakukan semua hal ini. aku tidak tahu kalau aku sudah sejauh ini melangkahkan kakiku. Aku tidak tahu kenapa aku tidak dapat mengalihkan pikiranku dari sosoknya. Aku tidak tahu.
Yang kutahu hanyalah permulaan di mana aku mulai merasakan debaran tidak normal di dadaku. Aku tidak mengerti pada awalnya. Aku memeriksakan ke dokter untuk melihat apakah diriku memiliki riwayat penyakit yang tidak kuketahui. Tapi, mustahil. Hasil medis menyatakan bahwa aku baik-baik saja. Tubuhku sehat, jantungku sehat.
Tapi, kenapa debaran ini muncul?
Aku mulai memperhatikan setiap ritme debaran jantungku. Setiap waktu. Di mana saja. Kapan saja. Aku selalu menulisnya dengan detail panjang dalam sebuah buku khusus untuk meneliti perasaan apakah yang kurasakan. Tetap saja, aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti kenapa debaran itu selalu muncul di saat diriku berada di Conscientia.
Conscientia adalah tempat milikku. Tempat kerjaku. Di sana aku menjadi psikolog utama yang menangani pasien dengan konflik batin. Banyak yang keluar masuk di sana. Pelangganku cukup banyak, tempat milikku ini cukup terkenal.
Di sana aku dikenal dengan sosok yang realistis dan logis. Aku dapat dengan mudah menyelesaikan berbagai masalah dari pelangganku. Mereka berkata bahwa aku memang berbakat dalam bidang mental yang biasa disebut dengan psikologi ini. Mereka berkata bahwa semua penyelesaian masalah yang kututurkan adalah yang paling sempurna di antara yang sempurna.
Aku masih ingat sekali kala itu...
“Terima kasih banyak. Ini uang tip.” Kata seorang pria berkumis tipis. Dia menaruh sebuah amplop yang tampak tebal di atas meja milikku. Aku mengambil amplop itu dengan senyuman. Pria itu kemudian beranjak dari kursi dan pergi ke arah pintu kaca Conscientia.
“Terima kasih, semoga anda sukses. Jika ada sesuatu, silahkan datang ke sini lagi.” Aku tetap duduk di kursi empuk milikku. Membuka penutup amplop. Mengintip kumpulan lembaran yang ada di dalamnya. Kusunggingkan senyum tipis setelah melihat jumlah lembaran di sana.
Debaran yang kurasakan di mulai kala itu.
“Permisi...” Suara halus khas perempuan menyapa indera pendengaranku.
Aku langsung mendongakkan wajahku. Mengarahkan pandangan ke arah letak pintu kaca berada. Di sana berdiri seorang perempuan berusia kisaran dua puluh hingga dua puluh lima tahun. Dia tampak cocok memakai kemeja putih dengan rok plisket hitam selutut. Rambutnya panjang sepunggung dan digerai begitu saja.
Saat itulah degupan itu mulai muncul.
“Silahkan duduk...!” Aku menunjuk kursi yang ada di depan meja milikku. Kursi yang tadi diduduki pria berkumis. Dia langsung saja mendekat dan duduk di sana. Raut wajahnya tampak ragu dan bingung.
“Anda memiliki keluhan apa?” Aku memberikan pertanyaan agar dirinya dapat menjelaskan maksud kedatangannya dengan lebih mudah.
“Anu..., sebenarnya saya diutus oleh Profesor untuk bekerja di sini.” Perempuan itu mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Aku mendekatkan kursi berodaku ke arah meja milikku.
“Profesor? Siapa?” Aku mengerutkan keningku.
“Profesor Miranda.” Jawabnya.
“Kenapa dia ikut campur...?”
“Kenapa?”
“Tidak, jadi namamu siapa?”
“Ameera.”
“Kau pasti memiliki pengetahuan psikologi yang luas. Jika Profesor Miranda yang mengirimu pasti seperti itu.”
“Tidak juga.”
Saat itulah aku merasakan debaran aneh namun rasanya tidak merugikan.
Debaran itulah yang membuatku pergi sejauh ini. Debaran itulah yang membuatku melakukan hal sejauh ini. Debaran itu juga yang membuatku kembali menginjakkan kaki di tanahku berasal. Debaran itu membuatku semakin penasaran dengan sesuatu yang disebut cinta.
“Mm... maaf. Aku tidak tahu kalau ini diari milikmu. Aku membacanya. Maafkan aku, aku pasti lancang sekali. Habis, kenapa kamu menamai diari milikmu ini denagn ‘jurnal debaran aneh’? Pfft...” Tawanya tergelak. Aku terkesima. Kenapa dia tertawa? Lalu, apa itu diari? Aku tidak tahu.
“Itu memang jurnal debaran aneh yang kurasakan. Apa kau tahu sesuatu tentang debaran aneh itu?” Aku bertanya padanya. Tawa Ameera terhenti. Dia tampaknya mencoba mengingat sesuatu.
“Hmm..., debaran aneh ya? Kalau tidak salah aku pernah merasakannya.” Ameera tersenyum lalu menatapku dengan kedua matanya yang berkilau.