.
.: oOo :.
“Banyak orang mengatakan jika aku itu pendengar dan pemberi saran yang baik. Setiap orang yang berbicara denganku pasti senang. Tapi, kenapa aku merasa kemampuanku tidak terlalu akurat?”
.: oOo :.
.
Namanya Aldrian. Aku mengetahui desas-desus tentangnya di kampus. Dia terkenal dengan kejeniusannya dalam bidang psikologi. Banyak sekali yang memujinya. Mulai dari teman seangkatan bahkan hingga para alumni yang sudah menjadi profesor besar. Seperti halnya Profesor Miranda.
“Kenapa di dunia ini seseorang seperti Aldrian hanya ada satu?” Pertanyaan Profesor Miranda terlontar begitu saja.
‘Ada saja. Kalau ada profesor yang menciptakan mesin kloning!’ Pikirku jahil.
“Aldrian itu siapa profesor?” Aku menghentikan pekerjaanku. Menatap Profesor Miranda yang kini tengah menatap komputer dengan tangan kanan memegang tetikus dan tangan kiri memegang segelas kopi panas.
“Aldrian, kakak tingkatmu. Dia sudah lulus dua tahun yang lalu. Lulus mendahului kakak tingkatnya sendiri. Sedikit menjengkelkan bukan?” Profesor Miranda menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer.
“Dia itu jenius sekali. Kamus psikologi yang tebal itu saja dapat diingatnya selama satu hari. Bahkan dia paham dengan setiap kosakata di sana.” Profesor Miranda mengetikkan sesuatu menggunakan papan ketik yang tersaji di depannya.
“Wah..., hebat sekali.” Aku terkesima dengan perkataan Profesor Miranda.
“Benar kan? Orang seperti dia sangat dibutuhkan. Dia sangat rasional. Maka dari itu hari ini pergilah ke tempatnya. Kalian adalah partner yang serasi.” Profesor Miranda tersenyum simpul.
“Permisi? Partner serasi?”
“Iya, maaf jika ini menyakitkan. Kamu memiliki pemikiran yang emosional dibandingkan realistis. Jika kalian berdua menjadi partner, tebak apa yang akan terjadi?” Profesor mengalihkan pandangannya dari komputer. Dia melepas kacamatanya dan menggantungnya di leher.
‘Entahlah..., dunia akan kiamat?’ Batinku menebak dengan jahil.
“Temui dia pukul sembilan pagi. Ini lokasi tempatnya. Jika dia bertanya kamu siapa, jawab saja kamu kuutus ke sana.” Profesor Miranda menyerahkan kartu nama berwarna dasar putih. Aku mengambilnya dengan ragu.
Dan di sinilah aku, berdiri di depan bangunan bergaya kuno. Bangunan ini tampak menyedihkan bagiku. Tidak indah sama sekali. Membosankan! Juga, sedikit menyeramkan! Tidak ada satupun tanaman yang menyegarkan bangunan kuno ini. Padahal jika pemiliknya mau menghiasnya, mungkin bangunan ini akan menjadi indah. Sebuah ide muncul begitu saja di kepalaku.
Aku menyipitkan mata karena tulisan berkliau yang ada di kaca memantulkan sinar matahari. Tulisan itu membuatku terkesima. Conscientia. Itukah nama bangunan ini? Artinya indah sekali. Kepedulian. Aku suka bagian ini.
Aku menengok ke dalam kaca besar itu. Tampak di sana seorang pria berjas putih dengan pola wajah kotak tengah berbicara dengan pria berkumis tipis yang mengenakan topi bulat. Bukan, bukan topi bulat koboi yang besar itu. Topi bulat yang modis.
Oh, sepertinya pria itu beranjak mendekat ke arah pintu. Dia membuka pintu dan menatapku dengan tatapan terkejut. Mungkin dia terkejut dengan kehadiranku yang seperti hantu. Beberapa detik kemudian dia mengontrol wajahnya kembali. Memasang wajah datar. Aku memperhatikannya hingga pria itu menghilang di belokan perempatan.
Setelah puas memperhatikan salah satu pelanggan, aku mendekat ke arah pintu dan membukanya. Hm? Kenapa di sini tidak ada lonceng? Lalu bagaimana dia bisa tahu jika ada pelanggan datang? Apakah dia bisa mengetahuinya begitu saja? Hebat sekali!
Oh, tentu saja dugaanku salah..., dia sepertinya tidak menyadari kehadiranku. Melainkan menengok isi amplop cokelat yang dipegangnya.
“Permisi...!” Aku menyuarakan keberadaanku.
Pria berjas itu langsung mendongakkan wajahnya. Aktivitasnya terhenti seketika. Dia mengarahkan pandangan ke arah di mana aku sedang berdiri, pintu kaca berada. Dia tampak melihatku dari atas ke bawah. Wajahnya tampak tegas, tulang pipinya tinggi. Dari wajahnya dapat kusimpulkan jika dia memiliki darah campuran orang luar negeri. China? Korea? Ah... sepertinya Jepang.
“Silahkan duduk!” Dia menunjuk kursi yang ada di depan meja mejanya. Aku langsung saja mendekat dan duduk di sana. Aku mencoba membenarkan posisi dudukku senyaman mungkin. Ah, kursinya terasa tidak nyaman. Oh, Bagaimana ya aku memulainya?
“Anda memiliki keluhan apa?” Dia memberikan pertanyaan. Aku langsung teringat dengan perkataan Profesor Miranda.
“Anu..., sebenarnya saya diutus oleh Profesor untuk bekerja di sini.” Aku mengerjapkan kedua mataku beberapa kali. Dia langsung mendekatkan kursi berodanya ke arah meja miliknya. Lebih mendekat ke arahku. Dari dekat, raut tegas nampak menghiasi wajahnya. Uh... tolong jangan memperpendek jarak lagi!
“Profesor? Siapa?” Dia mengerutkan keningnya.