Owena berjengit kala suara dobrakan keras terdengar dari lantai atas kamarnya. Ia menoleh ke Viderre yang mengawasinya dari kasur. Matanya membelalak, terkejut pula.
"Kak," panggil Owena, lirih, "apa itu?"
Pertanyaannya dibalas dengan gelengan kepala. Suara itu sangat keras, bisa jadi satu lemari yang penuh dengan benda berat baru saja menghantam lantai tadi. "Kau mau aku mengeceknya?" Pertanyaan itu terdengar pelan, nyaris berbisik.
Owena merengut. "Tidak," jawabnya, kembali menatap buku tulis yang sudah dari beberapa jam lalu terbuka di meja belajarnya. "Temani saja aku sekarang ...."
Kamar tidur itu lengang dengan kehadiran hujan di luar. Kedua perempuan itu bergeming. Satu berfokus pada tugasnya, satu berfokus pada pikiran: apa yang harus kukatakan pada Nyonya Marshy nanti?
Petir menggelegar berkali-kali, mengingatkannya kembali pada gadis mungil yang belum lama ini terperangkap di antara serangan bulir dingin. Sampai sekarang ia tidak tahu bagaimana kabar Irida. Ya, Sev terlihat jauh lebih tenang ketika ia meninggalkannya. Gadis itu menganggap Sev sebagai dokter di sini—walaupun sebagian dari semua orang dewasa di sini paham setidaknya apa yang diketahui dokter umum. Namun Sev memang bertugas seperti itu di sini ...
... iya, 'kan?
"Kak Viderre, aku kurang memahami pertanyaan ini."
Viderre beranjak dari kasurnya, memerhatikan pertanyaan matematika di buku tulis itu. Buku tulis khusus untuk Owena, dengan pertanyaan-pertanyaan khusus dari Tuan Marshy.
"Oh, aku tahu pertanyaan ini," Viderre meringis, "hanya satu orang yang dapat menjawabnya dengan benar sejauh ini. Seingatku, sang pembuat soal yang melakukan kesalahan karena jawaban di pilihan ganda merujuk pada jawaban-jawaban yang salah." Ia dapat mendengar gadis mungil itu menggeram. "Tidak usah kesal seperti itu, tulis saja jawabanmu ... jangan lupa caranya di buku tulis. Aku akan mengeceknya nanti malam. Jika tidak, ayahmu yang akan melakukannya."
Gadis itu kembali melemparkan tubuhnya sendiri ke ranjang empuk Owena. Rambutnya kini sudah tidak terlalu basah, ia bersyukur memiliki rambut pendek sekarang.
Ia mengernyit, apa tadi yang barusan kupikir?
Gadis itu tertawa sendiri. Ia, dengan rambut panjang? Konyol, tidak mungkin. Memiliki rambut panjang bukanlah Viderre sama sekali. Ia mengambil salah satu bantal Owena, memeluknya seraya menyenderkan tubuh ke dinding. "Bangunkan aku jika kau ada kesulitan, ya?" serunya, mendapatkan respons dengusan panjang dan sedikit teriakan yang tidak terlalu ia pahami sebelum kesadarannya larut.
{{Hubungkan semua titik-titik yang ada}}
Gadis bermanik biru itu dapat mendengar kekasihnya bernyanyi bahkan ketika keduanya masih mengenakan helm. Malam itu jalanan sangat sepi, hampa, dan itu yang membuat Viderre memeluk lelaki di depannya lebih erat.
Matanya memerhatikan tiang-tiang lampu jalan seiring mereka melesat dalam kecepatan tinggi, mengabaikan rambut panjangnya yang dimainkan angin lalu. Sebenarnya ia berpikir untuk memotong rambut yang sudah ia biarkan tumbuh hingga sepinggang itu, tetapi pemuda yang ia peluk itu menyukainya .... Dan karenanya, ia merasa memiliki rambut panjang cukup menyenangkan.
Sekali dalam seumur hidupnya, saat itu, ia ingin waktu berhenti. Ia tidak ingin kembali ke tempatnya, mengemas pakaian dan barang-barangnya, lalu mengejar bis untuk kembali pulang. Hal yang ganjil, memang. Ia sebenarnya seorang gadis yang ingin sekali masa depan cepat mendatanginya. Ia ingin melihat hasil dari semua usaha kerasnya. Seperti, apakah ia akan mendapatkan nilai bagus pada quiz minggu lalu? Apakah ia akan mendapatkan peran asisten yang sudah ia dambakan dari semester satu? Apakah ia akan mendapatkan pekerjaan layak dan menggunakan ilmu-ilmunya dengan benar?
Bukan itu yang ia inginkan sekarang. Sekarang, ia hanya ingin berada di samping pemuda itu, menikmati angin malam dan bernyanyi berdua di antara bisingnya harmoni kota besar dan tertawa tiap kali seseorang mengklakson mereka. Dan gadis itu rela melakukannya semalaman dengannya, dengan seseorang yang memandangnya sebagai sesuatu yang berharga dan sebagai sosok yang membuat kehidupannya lebih berwarna.
Kini ia memejamkan mata, membiarkan kepalanya beristirahat di atas pundak pemuda itu. Air mata menuruni pipinya, melewati senyuman terikhlas yang pernah ia tunjukkan pada dunia.
Dan dunia membalasnya dengan suara decitan keras, teriakan dari sosok yang paling ia sayangi, dan rasa sakit yang teramat sangat di sekujur tubuhnya.
{{Dan kau akan menarik satu garis yang kelak menyadarkanmu dari marabahaya}}
Gadis bersurai sebahu itu tersentak kala dentangan jam berdiri membangunkannya. Sesuatu yang dingin membasuh pipinya. Jemarinya terangkat, menyentuh cairan bening yang mengucur dari mata, pipi, hingga lehernya. Cepat-cepat ia menyeka air matanya dengan selimut Owena.
"Kak, sebentar lagi jam makan malam, 'kan?" Seorang gadis kecil menghampirinya, dengan tatapan heran dan kepala ditelengkan. "Kakak kenapa? Alergi?"
"Tidak, tidak, bukan apa-apa." Air matanya masih keluar ketika ia memejamkan matanya. "Mataku agak kering, sepertinya. Ah, bagaimana tugasmu?"
Owena menatapnya selama beberapa saat, dan gadis di hadapannya tidak dapat membaca ekspresinya sama sekali. Seketika Owena pergi dari pandangannya, lalu kembali dengan secarik tisu di tangan. "Ini," ujarnya lirih. "... Aku akan ke kamar ibu. Kakak dan Irida bersiap-siap saja dulu untuk makan malam."
Viderre mengambil tisu itu. Dengan bahu terangkat—entah apa yang ada di kepala Owena saat melihat keadaan kakaknya—ia meninggalkan kamar tidak dengan dobrakan pintu seperti biasa. Tertawa kecil, Viderre menghapus air mata di wajah dan lehernya, juga beberapa yang sudah lari ke telapak tangan.
Jendela kamar sudah tertutup oleh tirai. Ia beranjak, meninggalkan kamar itu dengan wajah tak berekspresinya. Dari lorong baru ia lihat lembayung senja di balik deretan jendela lorong. Cahaya oranye memantul dari tetesan-tetesan hujan yang tertinggal di kaca, membayangi karpet lorong dengan titik-titik gelap; membayangi wajah dan sekujur tubuhnya dengan noda-noda hitam.
Gadis itu mengusap wajahnya. Terlalu banyak kejadian tak terduga hari ini, dan ia merasa lelah. Tubuhnya, terutama kakinya terasa pegal karena berlari. Ah, Irida ... bagaimana kabar anak itu sekarang?
Tungkai gadis itu bergerak lambat, terangkat dan mengangkat seakan-akan terdapat beban di kakinya. Tangannya memeluk dirinya sendiri kala kepalanya berupaya mengoyak pikiran-pikiran negatif otaknya. Beberapa kali ia menyenderkan kepalanya ke jendela, menatap rumput yang basah hanya karena ia ingin mengulur-ulurkan waktu. Ia tidak ingin menghadapi masalah ini, tetapi semua itu telah terjadi dan lari bukanlah pilihan.