Irida

Sylicate Grazie
Chapter #12

Null

Gadis itu menarik laci meja riasnya, mengambil sebuah buku tipis bersampul keras hitam dan membukanya. Kosong, tidak ada kata-kata ... persis seperti saat pertama kali ia mengambilnya. Ia mengambil sebuah pena, menuliskan serangkaian kata-kata dengan tinta hitam itu. Matanya tidak berkedip.

Walau pergelangan tangannya terasa pegal, ia belum berhenti. Ia menumpahkan semua detil kediaman itu, semua penghuninya, juga secercah informasi tentang identitasnya sendiri. Viderre Marshy, tulisnya, anak entah ke berapa di keluarga entah besar atau kecil ini.

Ruangan itu sunyi, hanya detak jarum jam dan suara cakaran ranting pohon di jendela yang menemaninya malam itu. Akhir-akhir ini hujan sering sekali turun, tetapi tidak malam itu—malam yang tepat untuk menjalankan rencananya.

Pena ia letakkan di sisi meja, buku tadi ia sembunyikan kembali ke tempatnya. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan keberanian dan kehampaan. Ia berbalik, menatap ranjangnya yang sudah ia tata rapi. Sebuah surat kecil terselip di atas bantalnya, terikat dengan benang merah yang ia temukan di salah satu nakas kamarnya.

Yah, kamar lamanya.

Tangannya menjuntai ke bawah, mengambil tas ransel yang ia ambil diam-diam dari laboratorium. Isinya tidak banyak, hanya beberapa lembar uang yang ia temukan di celengan tua di gudang, sebuah palu, sekotak korek api dan beberapa makanan kaleng.

Ia membuka pintu dengan perlahan, menutupnya kembali dengan gerakan yang jauh lebih lambat. Langkah lebarnya tidak bergema. Matanya menerawang kegelapan lorong, seperti sebelum-sebelumnya.iderre masih ingat malam itu, malam pertama ia terbangun. Malam pertama kali ia melihat sosok pria tua beruban mengaku sebagai ayahnya dengan seorang pemuda pendek di sebelahnya, memberikannya seulas senyum kikuk atau takut ... gadis itu tidak bisa membedakannya.

Malam itu ia menyelinap diam-diam keluar laboratorium, melihat bayangan-bayangan tak bertuan seraya menahan napasnya sesekali, takut-takut seseorang sadar akan kehadirannya.

Kemudian ia melihat gadis kecil itu. Gadis mungil yang kulitnya terpantul oleh sinar malam, berjalan sendiri di tengah lorong yang sepi. Gadis itu tertarik; gadis itu penasaran. Ia mengikuti satu per satu langkah perempuan mungil yang tidak menyadari sosok di belakangnya.

Dan saat gadis kecil itu berlari, oh, betapa gelinya hati Viderre.

Kini ia kembali melakukan itu, tetapi dengan harapan ia tidak bertemu dengan siapapun. Gerakannya lincah seperti kucing, begitu pula dengan sorot matanya yang membelah kegelapan. Ada sebuah tempat yang harus ia kunjungi sebelum ia akan mengakhiri segalanya.

Namun sialnya, ruang laboratorium terkunci dari dalam.

Gadis itu mendecakkan lidah, memutar otaknya. Satu alternatif muncul di kepalanya. Walau melelahkan, idenya layak untuk dicoba. Gadis itu kembali menaiki anak tangga menuju ruang laboratorium, berlari tanpa suara, lalu menaiki tangga utama hingga mencapai lantai di atasnya. Ia melewati ruang makan, melewati kamar tidur Owena, hingga langkahnya terhenti di sebuah pintu yang gagangnya telah berdebu.

Pintu itu tidak berderit saat ia membukanya. Di dalam, lampu dimatikan, entah kapan terakhir kali lampu di sana menyala. Yang pasti, pada hari di mana hujan itu terjadi.

Buku itu masih di sana, tergeletak begitu saja di atas kasur. Apakah Irida membacanya? Ia harap begitu. Anak itu senang membaca, apapun itu. Pernah suatu ketika ia melihat gadis itu mengambil koran milik salah satu pelayan di dapur, membentangkannya di atas karpet dan membacanya seraya tengkurap. Saat gadis itu menanyakan apa yang tengah ia baca, jawabannya, "Aku tidak tahu, tapi seru."

Novel Frankenstein pemberiannya juga begitu. Ia tidak begitu paham, tetapi ia menikmatinya. Ingin sekali ia menjelaskan tiap halamannya pada gadis kecil itu, tetapi mungkin lain kali ... kapan tepatnya, ia tidak akan tahu.

Sebuah pembatas buku terselip di antara halaman-halamannya, ia sudah membaca setengah dari novel itu. Viderre menurunkan tasnya, merogoh isinya hingga ia menemukan satu lagi surat yang ia ikat dengan benang hitam. Ia menyelipkannya di tengah buku, beberapa halaman setelah pembatas buku tadi. Kini novel itu berada di dekapannya, menemaninya turun mengarungi kediaman gelap keluarga Marshy.

Buku itu ia taruh tepat di hadapan pintu laboratorium, tersender pada dinding anak tangga. Yang menemukannya pertama pasti Sev, ia yakin. Dan ia yakin buku itu akan diberikan ke Irida. Kemungkinannya kecil, tetapi ia berharap Sev menyerahkannya ke Irida. Gadis itu khawatir, sesungguhnya. Namun ia percaya pada Sev, ia harus.

Lihat selengkapnya