Napasnya kecil, pelan, dan halus. Kedua tangan rampingnya memeluk sebuah novel pemberian Viderre, Sev menemukannya beberapa hari lalu setelah Viderre lenyap dari kamarnya.
Saat itu ia tahu bahwa kejadian yang sama berulang lagi.
Sev menatap gadis mungil dengan kulit kelabu itu, memicingkan mata selama beberapa detik untuk berpikir, tetapi nihil. Ia tidak dapat menemukan di mana letak kesalahannya.
Pemuda itu yakin ia sudah melakukan semua dengan baik. Ia mengeluarkan semua catatan tulis tangan dirinya juga Tuan Marshy, bahkan guru lamanya, Tuan Siegrain. Sebenarnya pemuda itu terpikir akan beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab perubahan Irida, tetapi ia tidak dapat memvalidasinya. Tidak, belum.
Laju pemikirannya terhenti kala ia mendengar ketukan dari pintu utama. Sev mengelus pelan rambut Irida, menutup tirai, baru menghampiri sumber suara.
Ruangan itu dingin, lebih dingin dari biasanya. Untungnya ia sudah menyelimuti Irida, ia tidak ingin anak itu menggigil seperti sebelum-sebelumnya. Tangannya tidak ingin lama-lama menggenggam kenop pintu besi.
Mudah baginya menebak siapa di balik pintu: Pyotr Marshy, suami sah dari Lieselotte Gross. Ia ingat wanita itu bukan Gross, melainkan Groß. Namun siapa peduli saat ini. Tuan Marshy tengah memasang wajah tak berekspresinya yang mengundang keringat dingin bagi siapapun. Sev mempersilakannya masuk.
Pria itu mendekati pintu tempat Irida dirawat, membiarkan tangan kanannya bertengger pada kenop sebelum masuk. "Bagaimana Irida?" tanyanya pelan.
"... Dia baik-baik saja."
"Sebagaimana seharusnya. Perbolehkan aku melihatnya sendiri selama beberapa waktu."
Sev mengangguk, lalu pria itu meninggalkannya.
Ia tahu Tuan Marshy tidak akan menyalahkannya, pria itu akan menyalahkan dirinya sendiri. Ia bersamanya dari awal, ia tahu apa saja usaha yang telah mereka kerahkan untuk Irida. Kejadian ini bukan kegagalan Seven C. Cartes saja, tetapi kesalahan Pyotr pula.
Pemuda itu duduk di kursi putarnya, mengangkat kedua kaki di atas meja, berusaha tenang. Apa yang dilakukan Pyotr terhadap anaknya sendiri? Mungkin menjalasnkan beberapa tes kecil yang belum pernah ia lihat sebelumnya, atau ia berusaha menghabiskan waktu hanya untuk memandang anaknya? Sev tertawa kecil, orang aneh.
"Tapi aku baik-baik saja!"
Sev tertegun. Ia mendekatkan kursinya ke dinding setelah mendengar suara feminin itu, berupaya mencuri dengar percakapan mereka. Namun suara Pyotr terlalu berat hingga ia tidak dapat mengartikan sepatah katapun. Yang ada, telinganya bergetar saat ia menempelkannya pada dinding.
Pemuda itu nyaris terlonjak dari kursinya saat Pyotr membuka pintu. Pria itu menatapnya heran, berkata, "Kemari, ada yang ingin kubicarakan dengan kalian berdua."
Di dalam, Irida sudah terduduk dengan kedua tangan meremas erat selimutnya. Matanya berkaca-kaca. "Aku baik-baik saja," elunya, "sungguh ...."
"Ayah tahu, Irida." Tuan Marshy mengambilkan satu kursi lipat pada Sev, lalu duduk di kursi yang sedari tadi digunakan pria itu. "Tidak ada yang salah pada dirimu, hanya saja ...."
Sev menatap pria itu mengembuskan napas panjang dengan sedikit rona kekecewaan. Pria itu pasti letih, terpaksa terbang kembali dan membatalkan beberapa acara demi anaknya. "Hanya saja, ibumu tidak berpikir seperti itu, sayang. Ia khawatir padamu."
Irida menundukkan wajahnya. "Ibu ... tidak menjenguk Irida." Gadis itu memeluk kedua lututnya di balik selimut. "Kak Owena juga ...."
"Maaf, Irida." Kerutan demi kerutan muncul di dahinya. "Ayah sudah mengajak mereka, sungguh. Namun—"
Perempuan mungil itu tiba-tiba berlutut, meraih leher ayahnya dan memeluknya. "Terima kasih ayah sudah menjenguk Irida." Gadis itu terisak. "Irida senang sekali!"
Dua lengan besar membalut tubuh mungil itu. "Ayah menyayangimu," ujarnya lirih. "Maafkan ayah ...."
"Ayah tidak salah!" Gadis kecil itu memekik. Ia kembali duduk di atas ranjangnya, kakinya direntangkan. "Ah, jadi, jadi, apa yang ingin ayah katakan pada Irida dan Kak Sev?"
"Ah, ini tentang kakakmu ...." Pria itu tersenyum kecut. Di mata Sev, pria itu tidak lagi menguarkan nuansa hangat.
"Ah, apakah Kak Lavia mengirimkan kita surat?" Irida menepuk-nepuk tangannya bergairah. "Ah, atau kabar dari Kak Viderre? Sudah lama Irida tidak melihatnya ...."
"Owena menginginkan kakak baru untukmu, Irida."
"Lagi?!" Tubuh pemuda itu menegang. "Tapi, Tuan—"
"Aku tahu .... Aku meminta maaf padamu juga," ujar pria itu, menatap asistennya dengan manik biru lautnya. "... Karena itu, Irida," ia menoleh kembali ke arah anaknya, "kau boleh tidur di kamarmu lagi. Namun soal makan, akan ada yang mengantarkan makan padamu tiap hari. Paham?"
"Irida paham!" Gadis itu kembali memeluk novelnya, tertawa geli sendiri. "Kakak baru, kakak baru!"
Pria itu beranjak dari kursinya, menepuk pundak Sev—pamit. Pemuda itu memutar bola matanya, berbisik pada Irida, "Aku keluar dulu sebentar." kemudian mengekori Tuan Marshy. Kini Irida sendirian, novel Frankenstein di tangannya.