Irida menaruh novel Frankenstein yang baru saja ia tamatkan di atas nakas. Setelahnya ia menyelipkan tubuhnya di balik selimut seraya terdiam menatap gerak-gerik jemari kelabunya.
Rasanya ganjil. Ia tidak ingat apa yang terjadi padanya saat itu, saat hujan turun dan ia melepaskan genggaman tangannya dari Owena. Yang ia ingat, kulitnya terasa pedih tiap kali air hujan menyentuhnya. Ia ingin menutup wajahnya; menyembunyikannya dari rasa membakar itu. Namun air tetap merembes turun dari rambutnya yang basah. Semuanya begitu menakutkan hingga ia memutuskan untuk menyudutkan dirinya di tengah labirin sempit itu, memejamkan mata menahan semua rasa sakit.
Lalu segalanya menggelap, dan ia hanya berharap dirinya baik-baik saja.
Gadis kecil itu menolehkan wajah, menatap novel tadi sekali lagi. Terlalu banyak waktu luang di kamar yang terkunci ini. Ia butuh lebih banyak bacaan. Irida menatap sekeliling kamarnya, tidak ada yang menarik perhatiannya. Hanya lemari tua, meja rias dengan cermin yang dulu hanya dapat ia gunakan dengan berdiri di atas kursinya, dan pintu yang entah bisa ia buka atau tidak.
Oh, buku-buku tulisnya juga sudah habis. Ia merobek kertas-kertasnya untuk menuliskan surat ke Lavia dan Viderre, juga Owena sebenarnya. Di antara lusinan surat-surat itu, ia menulis betapa rindunya ia dengan tawa Lavia yang ia dengar beberapa tahun lalu. Ia juga menulis betapa rindunya ia berbicara dengan Viderre—gadis itu selalu mempunyai jawaban dari semua pertanyaan Owena dan Irida. Berapa tahun yang lalu itu? Ah, belum genap satu tahun. Baru berapa bulan sejak terakhir kali Irida melihatnya. Namun rasanya begitu lama ....
Daun telinganya mendadak menangkap suara tawa di taman belakang. Ia menuruni ranjang, menghampiri jendela yang terletak di seberang pintu kamarnya. Manik hitamnya mengintip keluar, mencari sumber tawa tadi. Matanya membulat sempurna kala melihat seorang gadis bersurai pirang sepinggang tengah mengikuti langkah-langkah cepat Owena menyusuri taman.
"... Kakak baru?" Sebuah senyum terukir di wajahnya, walau hanya bertahan selama beberapa detik. Irida mendesah, "Kakak baru ...."
Irida ingat beberapa hari yang lalu seorang wanita membawakannya makan malam. Wanita itu berkata Owena akan mulai memasuki sekolah menengah pertama barunya minggu ini. Tuan dan Nyonya Marshy tentunya sangat bergembira. Sekolah itu merupakan sekolah terbaik di kota—bahkan nyaris yang terbaik di negara ini. Namun Irida tidak terlalu memahaminya. Mengapa ada sekolah yang baik dan sekolah yang tidak? Hal itu membuatnya berpikir ada rumah yang baik dan rumah yang tidak baik. Bukankah tiap penghuni rumahnya merasa bahwa rumah merekalah yang terbaik?
Perempuan kecil kita kini kembali ke kasurnya, merasa bosan terjebak di kamar itu berminggu-minggu. Ia mengambil bantalnya, menepuknya beberapa kali lalu menaruh kepalanya di sana. Apa lagi yang bisa ia lakukan sekarang? Rasanya ia hanya ingin tidur sepanjang hari, terbangun hanya saat Sev datang untuk mengecek kulitnya atau ketika seorang wanita memberikannya makan. Entah perasaannya saja atau apa, tetapi Irida merasa jauh lebih mudah lapar dari sebelum-sebelumnya. Ia juga merasa waktu makannya perlahan berkurang dan berkurang. Rasanya semakin lama semakin sedikit makanan yang ia lahap.
Ia mengembuskan napas panjang, merengut. Andai saja ia memiliki satu boneka seperti milik Owena, mungkin ia dapat menghabiskan waktu dengan berbicara pada boneka itu. Seperti, "Apa kabar? Apa saja yang sudah kau lakukan hari ini? Ah, Irida? Irida hanya diam saja di kamar ini, tidak banyak yang dapat Irida lakukan. Sebenarnya Irida sedih, tidak ada teman di sini."
Gadis kecil kita menggulingkan tubuhnya ke sisi lain, menutup kedua kelopak mata kala air mata perlahan membasahi bantalnya.
{{Tunggulah masa itu, saat lonceng emas bersuara}}
"Ah, pergi, pergi!"
Teriakan itu memekakkan telinga Irida. Ia terduduk di atas kasur tipisnya, menggaruk-garuk kedua matanya di tengah kegelapan. Siapa anak kecil yang meneriakkan itu? Apakah anak pemilik kasur di seberangnya lagi?
Irida menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri. Ia dikelilingi oleh tirai polos, pembatas kamar tidur kecilnya. Perlahan isakan itu makin keras, tetapi Irida tidak dapat mendeteksi dari mana suara itu berasal. Haruskah ia turun dari kasurnya untuk mengecek? Atau kakak itu akan datang untuk menenangkannya seperti biasa?
Ia kembali merebahkan tubuhnya, mengabaikan suara itu. Barangkali jika ia menunggu selama beberapa saat, sosok itu datang bagaikan penyelamat
Dan benar saja, suara tirai yang ditarik terdengar. Isakan anak itu memudar, tergantikan bisik pelan dan kesunyian yang mengekorinya. Irida tersenyum sendiri, merasa aman.
Anak itu paham nyaris semua lelaki dan perempuan seumurannya di tempat ini selalu dihampiri mimpi buruk yang menerbitkan tangisan dan erangan yang memekakkan. Ia pernah bertanya pada beberapa anak: apa yang mereka impikan? Kebanyakan tidak ingat, tetapi ada yang mengaku bahwa ia bermimpi seseorang memeluknya sangat erat—terlalu erat, hingga ia terbangun karena sesak napas. Ada juga yang bermimpi seseorang menarik tangan kanannya, dan satu orang lagi tangan sebelahnya. Mereka terus tarik-menarik, tak henti-henti hinga ia dapat merasakan tubuhnya robek. Tiap kali Irida mendengar mimpi yang pastinya hanya khayalan di bawah sadar itu, bulu kuduknya berdiri.
Derap langkah pelan menggema ke seluruh ruangan. Irida dapat mendengar sosok itu menarik tirai satu per satu, terdiam selama beberapa detik, lalu menutup tirainya kembali.
Saat suara itu mendekat, Irida duduk di atas kasur, meremas selimut tipisnya di ruangannya yang dingin. Tepat setelahnya, tirai di hadapannya terbuka, menampilkan sosok tinggi dengan rambut gelap-keemasan menatapnya.
"Kau belum tidur?" tanyanya, halus dan lembut hingga Irida merasa sehelai kain tak terlihat menyelimuti badannya yang menggigil.
"Sudah," bisik Irida, "Irida terbangun karena anak tadi ...."
"Ia mimpi buruk," balas sosok itu, kini berjalan ke samping kasur Irida. "Kembalilah tidur, manfaatkan waktu istirahatmu. Baik?"
Irida mengangguk. Sosok berjas putih itu membungkukkan tubuh, melandaskan sebuah kecupan kecil di kepala Irida. "Selamat tidur," senyumnya. Ia kemudian kembali ke luar bilik kecil Irida dan menutup tirainya.
Perempuan mungil itu tertawa kecil. Tak lama, ia berlabuh dalam dunia mimpinya yang gelap dan tak berujung.
{{Saat lonceng emas bersuara}}