"Kira-kira, kapan ya Kak Owena akan menjenguk Irida?"
Inada memeluk salah satu bantal Irida kala ia mendengar pertanyaan gadis kelabu itu. Matanya berputar, memikirkan alasan mana yang bisa ia keluarkan. Namun yang pasti .... "Ibu tidak ingin Owena bertemu denganmu sampai Irida sembuh," jawabnya lirih.
Sesungguhnya ia mengira Irida akan menautkan kedua alisnya kecewa saat mendengar jawaban itu. Namun yang terjadi kebalikannya. Irida mengangguk setelah menyeruput jus apelnya, berkata, "Benar juga, ya. Kalau Kak Inada mungkin tak apa karena Kakak sudah dewasa, jadi Kakak sudah kuat! Iya, 'kan?"
"Memang apa hubungannya dengan itu?" Inada mengerucutkan bibirnya, memajang wajah sok polos. Irida yang melihatnya tersenyum kecil.
"Tentu saja ada!" serunya. "Kesehatan orang dewasa lebih kuat dari kita anak kecil. Kak Sev bilang, itu karena ...." Irida terdiam sejenak. Pandangannya turun ke piringnya yang sudah kosong. "Apa, ya ...."
"Yah, secara tidak langsung kau benar, sih." Inada menarik lembut dagu Irida, mendapati gadis itu mengerutkan keningnya. "Masih mau memikirkan alasannya?"
"Hm, mungkin seperti," Irida menaruh salah satu telunjuknya di dagu, "karena orang dewasa lebih besar, mereka lebih sehat?"
Gadis bersurai pirang itu tertawa. "Aku akan membawakan buku tentang itu dari perpustakaan kalau kau mau."
"Ah, mau sekali!" Irida menangkup kedua pipi kelabunya sendiri, membuat sebuah senyum di antaranya. "Kak Sev bilang ia akan membawakanku beberapa, tetapi sepertinya ia lupa."
"Kak Sev, ya?" Inada mengambil nampan makan malam yang sudah habis oleh Irida, kemudian menaruhnya di atas karpet. Kakinya kembali berselonjor di sisi tubuh mungil Irida. "Aku belum lagi melihatnya. Apakah dia sibuk?"
Irida mendengus, menyilangkan kedua tangan di depan dada seraya membuang wajahnya kesal. "Sangat! Irida kesal!"
"Aku penasaran." Gadis itu menyenderkan kepalanya ke bahu kecil Irida, membuatnya nyaris hilang keseimbangan hingga ia mendorong balik gadis itu dengan tawa kecilnya. Inada mengerang, menjatuhkan tubuh kurusnya ke sisi kasur yang lain. "Ah, kau kuat sekali!"
Gadis kecil itu terkikik. Kedua tangannya terangkat, siku ia tekuk ke atas seakan-akan ia seorang binaragawan. Hanya saja tidak ada bisep yang menonjol di tangannya. "Berhati-hatilah denganku, Kak!"
Inada menggulingkan tubuhnya ke ujung kasur kemudian duduk memunggungi Irida. Langit terlihat gelap di balik jendela, jauh lebih gelap dibanding saat ia baru memasuki ruangan ini. Inada beranjak.
"Jangan lupa sikat gigi, Irida." Ia memutari kasur, tangannya mengambil nampan tadi dan menatap Irida yang menatapnya sendu.
"Kakak akan ke sini lagi, 'kan?" tanyanya, lirih. Kedua tangan dengan jemari yang bertautan satu sama lain ia letakkan di depan dadanya, memohon. "Irida ... boleh minta tolong sesuatu?"
"Membawakanmu buku?"
Perempuan kecil itu menoleh ke kanan dan kirinya, seakan-akan ada sepasang telinga dan mata yang mengawasi dirinya. Ia menatap manik Inada dalam-dalam. "Buku khusus. Jangan sampai ada siapapun yang menemukannya!"
Inada menaikkan sebelah alisnya. "Hm, buku apa itu, Irida?"
Irida menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," bisiknya polos. "Ada seseorang yang meminta Irida menemukannya. Katanya, buku itu ada di laci meja Kak Viderre. Kakak tahu kamar Kak Viderre?"
"Viderre ...?" Ia mengernyitkan dahi, berusaha mengingat apakah nama itu pernah ia dengar atau tidak. "Tidak, aku bahkan belum pernah mendengar namanya."
"Kamar Kak Viderre itu ...." Irida mengelus-elus dagu mungilnya. "Kalau tidak salah ada di lantai dua, di pojok sisi kanan tangga. Kakak pernah ke sana?"
Inada mengangguk. "Aku tahu, aku tahu ... mungkin besok akan kucek dan kuberikan padamu. Baik?"
Irida tersenyum dari telinga ke telinga. "Terima kasih banyak, Kak La—Inada!" serunya. "Kakak yang terbaik!"
Gadis itu tersenyum kecut hingga ia melambaikan kedua tangannya di ambang pintu. Kini ia tinggal mengembalikan nampan itu ke dapur dan kembali ke kamarnya ... kamar yang Irida sebut sebagai kamar Viderre sebelumnya.
{{Semuanya terasa begitu dekat, tetapi sangat jauh}}
Gadis bersurai keemasan itu mengemut permen karetnya dengan serius kala matanya terpaku pada ponsel pintarnya kala sikutnya menekan buku dengan lusinan kata latin dan gambar anatomi di dalamnya. Namun tiba-tiba sebuah tangan mendorong bahunya, diikuti bisikan, "Itu orangnya, itu orangnya!"
Inada mencebik, menggerutu, "Berisik, aku penat!"
"Astaga, Nada, aku serius. Lihat, Jen sudah berjalan ke arahnya!"
Inada meletakkan ponselnya ke meja, menatap salah satu temannya dengan wajah bersemu merah mendekati pemuda bersurai dongker. Lelaki itu baru saja selesai membayar makanannya di salah satu stan makanan kantin. Ketika ia menyadari seorang gadis mendekatinya, sebuah senyuh merekah di wajahnya.
Kedua orang itu berbincang selama beberapa menit. Kerjapan mata yang cepat, payudara yang mengusung ke depan ... Inada membuang muka, tidak ingin melihat aksi itu. Tak lama, dua buah tangan menggebrak meja mereka.
"Dia. Tidak. Mau. Memberikanku. Nomornya."
Inada mendengkus. Ia nyaris tertawa hingga ia mendongak dan mendapatkan tatapan kesal dari kawannya itu. "Apa?" senyumnya, "Apa yang dia katakan padamu?"