Irida

Sylicate Grazie
Chapter #16

Inada: Öffnen

Ia tidak tahu apa yang ia hadapi. Gadis itu yakin yang ia lihat bukanlah bahasa yang digunakan oleh siapapun. Bagaimana bisa ia memecahkannya? Yang ada sekarang ia merutuki dirinya sendiri. Ia terpaksa mengawas Owena seraya menahan kantuk berlebihannya karena bergadang sampai jam lima pagi. Inada merasa ia bukan tipe orang yang bisa terjaga hingga pagi, tetapi entah kenapa tubuhnya seakan-akan sudah terbiasa dengan kondisi itu.

Dinginnya udara mengundang embun bersemayam di kaca jendela. Ia sempat menyapa seorang pelayan yang tengah membawa nampan berisi sarapan ke atas, sepertinya untuk Irida. Kala ia mencapai ruang makan, baru ada Tuan Marshy yang menatapnya datar. Gadis itu duduk di tempat yang biasa ia tempati, menunggu dua perempuan lainnya.

Canggung, itu yang ia rasakan selama prosesi makan pagi itu. Keluarga itu tidak terlalu banyak bicara, hanya Owena yang terkadang mengeluhkan hal-hal kecil atau menceritakan apa saja yang terjadi di sekolahnya beberapa hari lalu. Kebanyakan tentang dirinya yang mendapat nilai bagus atau ada anak aneh di kelasnya. Sesekali ia menunduk, memastikan buku kode yang ia bawa aman dari percikan makanan. Ya, dia memutuskan untuk membawa bukunya ke manapun ia pergi, memastikan buku itu ada di jangkauannya dan aman dari siapapun. Ia merasa harus melindungi buku itu dari siapapun, kecuali dari sosok yang Irida sebut: Viderre.

Namun ia sadar ia tidak dapat memecahkan kode di dalamnya. Ia perlu pertolongan, dan mungkin ia tahu siapa yang bisa ia minta tolong ....

"Kakak bosan, ya?"

Gadis itu tersentak dari lamunannya. Keduanya—Inada dan Owena yang baru saja keluar dari ruang makan—hendak kembali ke ruang tidur Owena. Dilihatnya Owena yang berjalan beriringan di sisinya, menautkan kedua tangannya di balik punggung. "Kakak bosan di sini," ulangnya, "karena kita membosankan?"

"Kesimpulan dari mana itu?" Inada menyunggingkan sebuah senyum paksa, heran. Owena selalu memberikannya pertanyaan-pertanyaan aneh dalam perjalanan "Jelaskan padaku."

"Yah, kalau bukan Kakak yang bosan, kita yang bosan," jawabnya. Ia memalingkan wajah mungilnya, menatap deretan jendela lorong kediaman Marshy. "Dan sepertinya bukan kita yang bosan, karena Kakak yang diam-diam bertemu dengan Irida di kamarnya."

Langkah Inada terhenti. Tanpa sadar jemarinya meremas buku kode itu hingga jemarinya memutih. "Kau tahu."

"Aku tidak sengaja melihat Kakak saat itu," balasnya lirih. "... Ayo kita ke kamar sekarang, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Kakak lebih paham biologi dibanding matematika, 'kan? Ajari aku itu pagi ini."

Owena melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Inada yang masih membeku di tempat. Gadis itu bergeming. Jika hanya Owena yang tahu ... harusnya tidak mengapa, 'kan? Lagi pula, apa alasannya ia tidak diperbolehkan bertemu dengan Irida? Harusnya itu bukan rahasia yang besar, bukan? Merahasiakan keadaan seorang anak yang memiliki penyakit ganjil dan menguncinya dalam sebuah kamar bukanlah pertanda bahwa keluarga Marshy ingin ....

Sebelum isi kepalanya berisi dengan pikiran-pikiran lain, daun telinganya menangkap suara alunan biola. Gadis itu kembali berjalan, berupaya mencari sumber suara itu. Lagu itu terdengar sangat familiar, mengundang nostalgia asing yang membuncah hatinya.

Kala ia menemukan sebuah pintu di mana alunan itu terdengar makin keras, ia membuka pintunya. Sosok yang memainkan biolanya di dalam ruangan terhenti. Sosok dengan surai biru dongker dan sepasang manik dengan iris hijau yang belum pernah dilihat oleh Inada.

Inada mengerjapkan mata keringnya beberapa kali. Ruangan itu luas, tetapi agak hampa. Hanya terdapat sebuah perapian yang mati, beberapa sofa yang disusun dengan ganjil, dan sebuah piano kecil yang bermandikan cahaya berkas cahaya pagi dari jendela-jendela tinggi. Namun hanya pemuda itu yang kini menjadi pusat perhatiannya. "Siapa ...?"

Sekilas gadis itu dapat melihat pemuda tadi tersenyum. "Inada, ya?" tanyanya lirih. Air mukanya berubah tegang walau senyuman itu tersemat di wajahnya. "Aku Sev. Bisa dibilang dokter bagi penghuni rumah ini."

"Ah, salam kenal, Sev. Aku sudah beberapa kali mendengar namamu, tetapi belum pernah melihatmu sama sekali di rumah ini ...." Inada menghampirinya, menatap biola yang kini hanya beristirahat di bahu pemuda itu. "Kau biasa memainkan biola di sini?"

Pemuda itu mengangguk pelan. Tangannya kemudian teracung, menunjuk baby grand piano di sisi ruangan. "Coba mainkan lagu tadi."

Dahi gadis itu berkernyit. "Apa?" Sebuah tawa canggung terlepas. Tangannya ia kibaskan. "Maaf, maaf, aku tidak pernah memainkan piano sebelumnya. Aku tidak bisa."

"Kau belum coba." Sev tersenyum tipis. "Atau setidaknya, dengarkan permainanku sebentar?"

Inada terdiam sejenak, tetapi akhirnya ia menyetujuinya dengan anggukan kepala. Pemuda itupun menempelkan busur biolanya lagi ke senarnya, menggeseknya hingga tercipta alunan familiar itu lagi. Lagu bertempo lambat di awal, tetapi dapat memukau gadis itu. Yang gadis itu tahu, lagu itu merupakan lagu klasik yang pernah ia dengan beberapa kali di hidupnya. Kini matanya menatap tuts-tuts monokrom di hadapannya. Ia menghampirinya, duduk di bangku kecil piano itu. Matanya terpejam, menikmati lantunan biola itu.

Namun kala matanya terbuka dan menatap tuts-tuts itu lagi, jemarinya menyentuh tuts itu, perlahan menari di atasnya mengikuti permainan biola Sev. Mulut gadis itu ternganga. Ia tidak percaya melihat tangannya bergerak sendiri, seakan-akan tangan itu sudah beribu kali memainkan lagu ini. Sebuah senyum merekah. Sensasi nostalgia itu hangat, memeluk tubuhnya dengan hangat kala memainkan lagu itu.

Ia bertepuk tangan ketika lagu itu berakhir, mengagumi kemampuannya sendiri yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. "Astaga, aku bahkan tidak tahu judul lagunya, tapi—!"

Tepuk tangannya terhenti kalau pandangan mereka berdua bertemu. Air mata bercucuran dari mata Sev. "C-canon," ujar pemuda itu. "Canon ... oleh Pachelbel."

Gadis itu beranjak. "Maaf, apakah aku ...." Ia menggigit bibirnya sendiri, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. "Sev, maaf—"

Pemuda itu mengambil jas putihnya yang sebelumnya tergelepar di atas sofa, kemudian meninggalkan ruangan itu tanpa sepatah kata.

Inada mengembuskan napas berat. 

Wajah pemuda itu ... juga familiar.

{{Jauh di lubuk hati, kau tahu siapa yang kau hadapi}}

"... Jen, apakah kau masih mengingat anak aneh itu?"

Lihat selengkapnya