Gadis bersurai emas itu melangkahkan kakinya selembut mungkin. Keheningan malam menjadi satu-satunya entitas yang menemani sang gadis, diikuti puluhan buku yang bertengger di rak-rak tinggi perpustakaan. Ruangan besar tetapi menyesakkan itu temaram, membuat Inada mempertanyakan dirinya sendiri, apakah ia harus melakukan ini?
Dengan buku kode yang terbuka di tangan kanannya, ia mengikuti petunjuk dari sosok bernama Viderre itu. Ia berjalan lurus dari pintu masuk perpustakaan hingga ujung ruangan. Ia mengangkat tangannya, menghitung susunan buku, buku ke-5 dari kanan, ke-4 dari atas. Setelah ia menyentuh buku yang dipinta, ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghitung lagi. Keraguan menyelimuti dirinya. Bagaimana jika tidak terjadi apa-apa? Atau lebih buruk, sesuatu akan terjadi?
Gadis itu menarik buku tersebut. Sebuah dentuman pelan terdengar, memaksa gadis itu menahan pekikannya. Matanya membulat kalau rak di hadapannya berpindah, mengungkapkan mulut lorong yang terlihat dalam.
"Siapa di sana?!"
Gadis itu menahan napasnya. Derap langkah mendekatinya. Tanpa banyak pikir gadis itu menyusup ke dalam lorong, berlari dari ketakutan yang bahkan tidak ia ketahui. Napasnya memburu. Ia mendongakkan kepala, melihat sumber cahaya di ujung lorong dan memaksa tungkainya berlari lebih cepat. Namun nahas, yang ditemuinya bukanlah pintu keluar, tetapi pintu jeruji tua yang berkarat.
Air mata memenuhi pandangannya. Lengan yang memeluk bukunya kini mati rasa, begitu pula kakinya. Kala ia berbalik, sosok yang ia takuti sudah sedekat mata memandang. Menyadari hal itu, seluruh energi dalam tubuhnya terhisap keluar, menjatuhkan tubuh kurusnya ke bebatuan berlapis tanah lembap lorong.
"Maafkan aku," suara gadis itu bergetar, "maaf, maaf, maaf, maaf ...."
Semakin dekat sosok itu dengan dirinya, semakin kabur pandangan sang gadis. Ketakutan kini mencekik lehernya, membawanya alam bawah sadar.
Namun samar-samar, ia mendengar teriakan, "Nada!" di telinganya.
{{ Bersembunyi di balik kegelapan, kebenaran menunggu }}
Nada melangkah keluar dari taxi dengan wajah datarnya. Ia mengerjap beberapa kali, risih dengan terpaan angin diikuti bulir hujan yang menyambut dirinya di depan cafe. Sesungguhnya cuaca hari ini membuatnya ingin segera kembali ke rumah, tetapi janji adalah janji. Ia akan menemui pemuda itu sekarang.
Kala ia mendorong pintu, ucapan selamat datang terdengar. Namun wanita itu tidak memberikan balasan. Yang ada kepalanya menoleh ke segala arah. mencari sosok bersurai biru di antara kerumunan manusia di dalam cafe.
Netranya menangkap sebuah tangan yang terangkat di salah satu sisi ruangan. Di situ, pemuda dengan kacamata bertengger di hidungnya menunggu. Nada memberikannya seulas senyum tipis kemudian menghampirinya.
"Maaf jika aku membuatmu lama menunggu," Nada meletakkan tas selempangya ke sofa, "tetapi kita belum pernah bertemu sebelumnya, bagaimana kau bisa tahu ini aku?"
Pemuda itu mengedikkan bahu. "Jarang ada gadis pirang di wilayah ini," balasnya lirih, "lagi pula, aku masih ingat kok orang yang selalu memainkan piano di sini. Beberapa kali aku melihatmu saat kuliah dulu, aku yakin kau tidak sadar—"
"Aku sadar," sela Nada, senyumnya melebar. "Kuharap kau menikmati permainannya, tetapi sekarang kita bertemu bukan untuk itu, Kak Sev."
Lelaki itu, Sev, mengangguk. "Benar, maafkan aku." Ia berdeham sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku yakin aku sudah mengirimkan surel mengenai detil penelitian ini dan ... kau masih ada beberapa pertanyaan?"
"Tentu saja, aku punya banyak pertanyaan." Nada menyilangkan tangannya di depan dada. "Ada beberapa pernyataan yang terlalu, maaf jika aku lancang, mencurigakan. Namun mengetahui Kakak merupakan asisten dari Pyotr Marshy, aku jadi berpikir beberapa kali."
Sev memaksakan sebuah senyum. "Sepertinya itu berlaku pada semua orang," balasnya. "Bagian mana yang membuatku curiga?"
"Hm, seperti ...." Nada menolehkan kepalanya ke luar jendela cafe, berupaya mengingat beberapa kalimat yang membuatnya heran semalam. "Kenapa ... salah satu poinnya menyatakan kita tidak diperbolehkan membawa barang elektronik apapun, bahkan ponsel?"
"Itu aturan dari keluarga Marshy sendiri," terangnya. "Awalnya aku juga bingung. Ketika kau memijakkan kaki di kediaman mereka, tempat kita meneliti nanti, rasanya seperti dibawa kembali ke masa lampau. Mereka seperti hidup di Inggris abad ke-19 karena furnitur atau pakaian yang mereka kenakan. Namun lama-lama kau akan terbiasa."
"Namun ... hm, aku tidak masalah, sih." Nada menghela napas panjang. "Aku tidak perlu memberi kabar pada waliku, sepertinya."
Sev sempat mengernyit saat sang wanita menyebut kata wali. "Kau bisa mengirimkan surat," balasnya.
"Ah, itu yang ingin kutanyakan selanjutnya." Nada menatap manik pemuda itu dalam-dalam. "Mengapa kita ... tidak diperbolehkan untuk keluar dari kediaman mereka sebelum penelitian selesai? Maksudku, bisa saja kita selesai beberapa tahun lagi, bukan?"
"Akan butuh waktu untuk menjawab pertanyaan itu." Pemuda itu mengacungkan tangan, memanggil salah satu pelayan. "Kau suka kopi? Akan kutraktir."
Senyum pemuda itu ramah, tetapi Nada tahu ada sesuatu di baliknya.