"Namanya Maut," terang Sev saat itu. Dan bagi Inada, kehadiran pria itu merupakan komponen terakhir dari dongeng keluarga Marshy yang penuh tragedi ini.
Berdasarkan penjelasan pemuda berkacamata itu, ia merupakan seorang pria yang bekerja sebagai "penghapus bukti" Tuan dan Nyonya Marshy. Jika dibilang apakah sosok itu sesuai dengan namanya, Sev berkata, "Ia hidup atas namanya—ia menghapus makhluk hidup layaknya setip menghapus goresan pensil."
"Memang siapa saja yang sudah ia ... hapus?" Inada berbisik lirih. Sev memandangnya hampa, bergeming selama beberapa saat, kemudian mengembuskan napas panjang.
"Para pendahulumu," jawab pemuda itu sekenanya, dan intuisi Inada berkata para pendahulu itu merupakan sosok bernama Lavia dan Viderre.
Karena percakapan itulah pagi ini Inada berjalan lambat dengan nampan penuh dengan makanan di tangannya. Ia mencari seseorang untuk diajak bicara, dan tentunya untuk memberi tahu sesuatu tentang buku yang diwanti-wanti gadis kecil kelabu di lantai atas.
Baru semalam ia hendak menyelidiki kediaman Marshy. Ia pikir ia hanya akan menyentuh kulit permasalahannya, tetapi yang ada ia langsung bertemu dengan sang perakit manusia buatan sekaligus sosok yang menghabisi tiap manusia tersebut. Oh, jangan lupa fakta bahwa ia dapat terhapus kapan saja oleh pria itu karena ia juga manusia buatan.
Dan karena itu pula, amarahnya semakin menjadi.
Semalaman ia terjaga. Ia menatap cermin seraya meraba kulitnya, menekan dada untuk merasakan detak jantungnya, mencari cela pada tubuh yang bukan miliknya. Jika benar tubuhnya merupakan gabungan dari beberapa potongan manusia, bukankah seharusnya ada bekas yang menandakan pertemuan dari daging-daging itu? Seperti ilustrasi manusia buatan yang diciptakan abad ke-18 lalu, sekujur tubuhnya penuh dengan jahitan-jahitan.
Namun kulit gadis itu bersih, tidak ada bekas sayatan ataupun jahitan. Apa pemuda itu berbohong? Namun ....
"Astaga." Gadis itu mendesah penat. Kalau dipikir-pikir lagi, apakah ia harus lari dari kediaman ini? Ia belum pernah melangkah keluar dari gerbang kediaman Marshy, memikirkannya saja tidak. Tempat ini nyaris seperti surga baginya: makanan enak, tempat tinggal dan pakaian nyaman, juga ... ah, mau seberapa banyak keuntungan tinggal di tempat ini, jika esoknya kau bisa mati karena melakukan kesalahan, sepertinya tidak menyenangkan.
"Kenapa aku?" lirih gadis itu, diikuti tawa lemas tertuju pada nasibnya. Kala gadis itu telah mencapai pintu ruangan Irida, ia berhenti sejenak. Ia rasakan kehangatan cahaya pagi di tangan dan sebagian wajahnya. Gaun biru keperakannya bergelimang kemilau emas.
Walau mungkin ambang kematian dapat datang kapanpun, ia masih bisa menikmati sebagian dari kehidupan sekarang, bukan? Yah, bisa dibilang ia diberi kesempatan kedua untuk hidup.
Ia tidak akan menyia-nyiakannya. Ada seseorang yang lebih pantas mati dari pada dirinya.
Menyadarinya, gadis itu tersenyum pahit. Dengan berhati-hati, ia meraih kenop pintu dengan sikunya.
"Irida, sarapanmu datang!"
Pintu berderit terbuka. Di antara celahnya, timbul wajah mungil nan bulat dengan sepasang mata yang berbinar. "Pagi, Kak Inada!" seru gadis mungil yang kemudian mempersilakan kakaknya masuk. Inada meletakkan nampan di meja kecil yang telah Irida siapkan di atas kasur. Irida yang tidak sabar terbirit mengikutinya setelah menutup pintu, walau sepertinya ia agak kesulitan karena gaun yang ia kenakan terlalu sempit untuk berlari. Irida langsung duduk di hadapan mejanya, ternganga melihat hidangan yang dibawa. Inada berdeham. "Menu hari ini untukmu: dua telur mata sapi, beberapa sosis—aku ambil agak lebih banyak dari porsi Owena tadi—juga kacang panggang dan jamur." Gadis itu tertawa kecil menatap Irida yang memandang makanan itu seakan-akan di depannya terdapat setumpuk emas batangan. "Jadi, yang mana yang paling kau suka?"
"Aku suka semua!" Gadis kecil itu menepuk tangannya sekali. Ia meraih garpunya, hendak menusuk sosis, tetapi gerakannya terhenti. "Tapi kalau Kakak mau tahu makanan yang paling aku suka ... aku suka marshmallow!"
"Oh, kau pernah memakan marshmallow sebelumnya?" Inada duduk di sampingnya, menyenderkan punggungnya ke salah satu bantal. "Kau suka makanan manis?"
"Aku sangat, sangat, sangat suka makanan manis!" serunya, kedua tangan kini teracung ke atas bersamaan dengan sosis yang telah tertusuk garpu. "Terutama marshmallow, karena marshmallow teman dari beruang joget!"
"Eh? Memangnya apa itu—"
Mendadak sesuatu terbesit di kepalanya. Sebuah buku tergeletak di atas meja, suara ketikan—jemarinya menyalin kisah dalam buku itu dengan beberapa "revisi". Walau lamunan itu terasa sangat singkat, gadis itu dapat merasakan gejolak rasa yang begitu kuat.
"Novel yang diberikan Kak Sev untukku," jawab Irida, memotong lamunan Inada. "Setelahnya aku baca buku pemberian Kak Viderre, tentang monster buatan seseorang bernama Frankenstein. Ceritanya entah kenapa mirip, tapi tidak masalah untukku."
Gadis yang menyimaknya tertawa kecil. "Makanlah, Irida." Inada mengusap pelan kepala anak itu.
Irida terkikik. Kedua tangannya mengambil garpu dan sendrok dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat makan!"
Inada duduk bersila di sisi Irida. Apakah ini waktu yang tepat untuk bertanya-tanya sedikit tentang isi buku itu?
"Irida, biasanya saat kau tertidur, apa yang kau impikan?"
Gadis kecil itu menatap Inada dengan pipi yang penuh dengan kentang tumbuk. Kepalanya ia telengkan ke kanan dan kiri diiringi gumaman, entah ia tengah menikmati sarapannya atau berupaya mengingat mimpi-mimpi apa yang sudah pernah ia alami. "Memangnya kenapa, Kak?" tanyanya, kemudian mengelap sebagian saus di sisi bibirnya dengan punggung tangan.
"Aku hanya penasaran," Inada mengedikkan bahu, "aku nyaris tidak pernah bermimpi. Yang kuingat hanya warna hitam, lalu aku bangun."
Irida terkikik. "Aku sering sekali bermimpi!" serunya. "Aku pernah bermimpi tentang Kakak, tentang Kak Lavia juga Kak Viderre ketika aku merindukan mereka. Juga Kak Sev! Tapi ...." Suara gadis itu semakin kecil. "Mimpi itu biasanya ... seram."