Manik lazurit Inada memindai kandelir ruang makan yang berkilau keemasan. Denting pisau dan garpu memenuhi ruangan, diikuti omelan Owena yang sesekali menyambar. Wanita itu meringis.
Empat minggu telah berlalu semenjak Sev memberitahukan segalanya. Setelah Inada mendeklarasikan perang pada dirinya sendiri malam itu, ia dan Sev menghabiskan sepertiga waktu dalam satu hari mendekam di ruang taman kanan-kanak laboratorium, berdiskusi. Pertemuan dari pukul sepuluh malam hingga lima pagi beberapa kali membuatnya lelah, bahkan Owena jadi menanyakannya pertanyaan tak bermutu tentang dirinya dari waktu ke waktu.
Namun malam kemarin adalah malam terakhir mereka melakukan pertemuan. Rencana mereka matang, setidaknya di kepala mereka.
Malam ini, semua kerja keras keluarga Marshy akan tiada.
"Yah," Owena memutar-mutar garpu yang menancap potongan daging asapnya di udara seraya memangku wajah dengan sebelah tangannya, "kapan aku bisa melihat Irida lagi?"
Pria yang ditanya terbatuk, dibalas dengan tatapan sinis sang istri di sisinya. Setelah mengelap sisi mulutnya dengan sapu tangan, pria itu berdeham. "Maaf sayang," ucapannya lemah, "ayah belum tahu kapan tepatnya Irida dapat kaukunjungi. Namun ayah dapat pastikan waktu itu sebentar lagi."
Owena mengangguk pelan. Mulut kecilnya melahap sisa makanan di hadapannya.
"Fokuslah ke sekolahmu, Owena." Nyonya Marshy mengedikkan dagu, menatap gadis kecil di hadapannya dengan alis yang tertekuk. "Adikmu pasti baik-baik saja. Tidak usah mengkhawatirkannya. Jika nilai ujian akhirmu tidak sesuai target, kau akan mengkhawatirkan dirimu sendiri."
Erangan pelan terlepas dari mulut Owena. Inada mengambil cangkirnya, menyesap cairan dingin itu seraya memejamkan mata. Dingin, apa yang akan sangat ia inginkan nanti.
"Tenang, Bu." Inada memasang senyum palsunya. "Aku yakin Owena pasti bisa mengerjakan semuanya dengan baik."
"Sebagaimana semestinya." Wanita berpoleskan riasan wajah tebal itu tersenyum, lebih terlihat seperti seringai bagi Inada.
Kala nyaris seluruh piring kosong, Tuan Marshy meninggalkan ruangan. Tepat setelahnya, Nyonya Marshy beranjak.
"Belajarlah dengan tekun." Wanita itu mengibaskan kipas berbulu hitamnya, mengayunkannya perlahan di depan wajah.
"Baik, Bu." Owena menundukkan tubuhnya, menarik rok gaunnya layaknya tuan putri. Namun setelah wanita itu meninggalkan ruangan, tangannya meraih lengan Inada kasar. "Malam ini aku boleh tidur lebih awal 'kan, Kak?" bisiknya.
"Ya, ya." Inada melepaskan cengkeraman perempuan kecil itu dengan paksa. "Tenang saja, aku pasti menepati janjiku, kok."
Owena melonjak, merentangkan kedua tangannya seraya menahan teriakan bahagia.
Inada mendengkus, terseyum kecil melihat tingkah anak itu. "Mau kuantar ke kam—"
Perempuan kecil itu membanting pintu, meninggalkan wanita bersurai emas itu sendirian.
"Bagus." Wanita itu berbalik. Dilihatnya seorang pria mengambil piring-piring kotor dan menaruhnya ke troli kecil. Inada mengangkat tangannya. "Tuan ... Andre, bukan?"
Bahu pria itu menegang. "Ya, Nona Muda?"
"Apakah kau sendirian lagi malam ini di dapur?"
Pria itu terdiam sebentar, telunjuk dan ibu jari menyentuh dagunya. "Bisa dibilang begitu," balasnya. "Evelyn sudah kembali dari tadi, Ben juga harus segera pulang karena ibunya yang sakit. Yah, cucian sebanyak ini harusnya bisa kutangani sendiri."
"Pukul berapa kau akan pulang?"
"Satu jam dari sekarang."
"Baik." Inada mengangguk. "Hati-hati dalam perjalananmu ke rumah."
Wanita itu dapat mendengar sang pria bergumam keheranan, lalu pamit dengan keadaan meja yang sudah bersih. Inada melangkah ke luar ruangan, menutup pintu ruang makan erat-erat kemudian menarik napas dalam-dalam.
Sesuatu berkecamuk dalam dirinya. Namun bukan amarah seperti yang biasa ia pendam, lebih seperti ... ada gejolak panas yang meronta-ronta di bagian dada dan perutnya. Apa mungkin sebagian dari dirinya takut? Atau ketegangan ini menyebabkan sensasi menggairahkan yang terlalu sulit untuk ia ungkapkan?
Apapun itu, Inada merasa dirinya dapat menguasai dunia. Ya, dunia fantasi kecil yang penghuninya adalah ia, Sev, dan keluarga Marshy yang ganjil itu.
Langkah kecil nan gesitnya memecah udara dingin kediaman Marshy, diselingi napas memburu yang mengembuskan aura kehangatan penuh euforia. Air mata memenuhi pelupuk matanya.
Saat tangannya membuka kenop pintu laboratorium, Sev ada di sana. Inada menghamburkan dirinya pada pemuda itu, memeluknya kencang sekali seakan-akan ia tidak akan menemuinya lagi dalam keadaan bernapas.
Sebuah tangan meraih kepalanya, membelai lembut surai keemasannya. "Nada?"
Tangis wanita itu pecah mendengar pertanyaan itu. "K-kita akan melakukannya malam ini, 'kan?" Inada mendongak, menerima tatapan sosok yang menjadi saksi awal dan akhir tragedi ini. "Sev, apa yang—apa yang akan kita lakukan ini benar, 'kan?!"
Pemuda itu tidak menjawab. Ia benamkan wajah wanita itu ke dadanya, perlahan melangkah ke pintu untuk menutupnya sementara Inada masih di dalam dekapannya.
"Kau tahu jawabannya." Pemuda itu menyampirkan dagunya ke ubun-ubun wanita itu, secara tak sengaja mengendus aroma kayu manis surainya. "Seperti yang kita rencanakan, Nada. Seperti yang kita rencanakan.
"Sekarang, kita menunggu."
Sev menuntun wanitanya ke sofa yang biasa ia gunakan untuk beristirahat, di sisi ruangan lain tak jauh dari pintu utama. Ia membiarkan Inada membasahi kemeja di balik jas laboratoriumnya, memangkunya di atas sofa seraya menatap jam dinding, menunggu waktu itu tiba.