"Pelan-pelan, Kak Owena!"
Berkali-kali gadis kecil kita terantuk kerikil-kerikil di sekitar pemakaman. Saat itu tengah malam, ia sudah tertidur lelap tetapi kakaknya membangunkannya dengan teriakan, "Bangun Irida, bangun! Atau aku pukul tanganmu lagi!"
Owena tidak menggubris kata-kata Irida. Tangan kecilnya menggenggam erat pergelangan tangan Irida. "Kita harus pergi!" pekiknya. "Jauh dari sini! Secepatnya!"
"Tidak mau!" Irida menyentakkan tangannya, berupaya lepas. Namun yang ada Owena menariknya lebih keras, melewati nisan-nisan setinggi pinggang mereka di malam yang sunyi. Irida menggerutu. "Aku mau pulang."
"Irida."
Suara itu tegas, membuatnya terpaksa mendongak untuk melihat wajah kakaknya. Kedua gadis kecil yang tadinya berlari entah dari apa mendadak berhenti.
"Kau tahu tidak apa yang terjadi di rumah saat ini?"
Irida menatap tangan Owena yang mencengkeram erat tangannya. Menyakitkan.
"Tidak," jawab anak itu lirih. "Tapi ayo kita pulang, atau ibu akan memarahi kita!"
"Kak Inada membakar ibu."
"... Apa?"
Mendadak gadis kecil itu terjatuh, terduduk di atas tanah. Tatapan Owena terlihat terlalu meyakinkan. Maniknya berkaca-kaca kala empat kata itu melayang keluar dari mulutnya.
"Kakak... bohong, 'kan?"
Owena menggelengkan kepalanya kasar. Ia mengulurkan tangan ke adiknya, mengajaknya berdiri Mulutnya terbuka pelan. "K-kita pergi. Ayo."
Irida meraih lengan itu, berdiri kemudian memeluk Owena.
"Aku akan terus temani Kakak," ujarnya lirih. "Maaf karena aku sakit, aku tidak bisa temani Kakak. Aku janji sekarang aku akan terus temani Kakak. Selamanya."
"... Ayo kita pergi." Mendorong tubuh kecil adiknya pelan. "Kita cari tempat untuk tidur, tapi jangan di rumah."
"Ah," Irida merentangkan tangannya semangat, "bagaimana kalau sekolah Kakak?"
"Kenapa kau sangat berenergi, sih? Padahal baru tidur beberapa jam." Owena mendengkus, tetapi ia bersyukur bisa ditemani Irida saat ini. Ia genggam lagi lengannya, kemudian berjalan lamban menuju gerbang besi tinggi tak jauh dari tempat keduanya, jalan keluar. "Sekolahku jauh, jauuuuh sekali dari sini, tahu! Bisa-bisa matahari sudah terbenam lagi jika kita berjalan ke sana."
Irida terkesiap. "Sejauh itu?!"
Sang kakak terkikik. "Aku bercanda."
Gerbang di hadapan mereka terbuka sebagian, yah, setidaknya cukup untuk dilewati kedua gadis kecil itu. Irida berbalik, menatap titik di mana mereka keluar dari kediaman Marshy. "Dari mana Kakak tahu ada lorong rahasia di perpustakaan?"
Owena menarik lengan Irida lagi, menggandengnya menyusuri jalan raya beraspal, menuju dataran yang lebih rendah dari pemakaman umum itu. "Karena rahasia, aku tidak boleh memberitahumu," jawabnya lirih. "Aku tahu karena aku pintar, itu saja."
"Ah, untungnya kakakku Owena yang pintar!" Irida memutarkan tubuhnya, memaksa Owena berhenti sebentar dan mempersilakan adiknya itu berdansa balet kecil dengan tangannya. "Tapi, tapi," Irida mengecilkan suaranya, "kapan kita akan pulang lagi?"